Oleh: Eko Mahendra*
Dalam wacana kebangsaan, berbagai fenomena yang muncul belakangan ini dapat dinilai sebagai wujud ketidakpastian pemerintah dalam mengayomi rakyat. Tak heran bila rakyat kemudian dengan sederhana menilai bahwa kebijakan-kebijakan apapun yang digelontorkan pemerintah tidak akan mampu memberikan jalan keluar terhadap berbagai problem kebangsaan. Lebih spesifik lagi, rakyat menilai bahwa program-program pemerintah dalam berbagai bentuknya sama sekali tidak menyentuh problem mendasar dari krisis multideminsi yang selama ini menggerogoti. Rakyat hanya akan menilai dengan simpel; bahwa kenaikan BBM, kelangkaan sembako, jaminan keamanan dan sebagainya merupakan bukti sederhana dari ketidakpastian itu.
Asumsi rakyat terhadap pemerintah, sama nilainya terhadap para selebriti yang sering tidak jelas bermain peran dalam akting-akting mereka. Alih-alih, rakyat hanya akan mengikuti hembusan kemana angin berlalu. Seperti putaran iklan atau papan reklame yang menggiurkan, reality show yang kian jauh dari realitas, atau sinetron yang tak mengerti keadaan masyarakat, hingga gosip-gosip memuakkan yang terus silih berganti.
Di tengah kebingungan dan kesimpangsiuran ini, sesungguhnya dalam hati rakyat masih memiliki setitik harapan. Ketidakpastian pemerintah yang seolah menjadi lazim itu sesungguhnya tetap diharapkan perubahannya. Ternyata rakyat masih menggeliat. Itu terlihat dari kecenderungan pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) di sejumlah daerah dimana para pemilih kemudian menjatuhkan pilihannya kepada wajah-wajah baru. Alasannya sederhana; rakyat menginginkan perubahan! Tapi benarkah perubahan (baca: pembaruan) selalu identik dengan wajah baru? Lagi-lagi hanya rakyat yang bisa menjawab.
Kabupaten Tegal dengan jumlah penduduk kurang lebih 1,5 juta jiwa ini, merupakan bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia yang bersama-sama daerah lain tengah mengupayakan perubahan. Perubahan yang dimaksud tentu saja perubahan progressif yang konstitusional, dalam pijakan demokratisasi yang jujur, sejajar, dan terbuka. Perubahan ini akan menuntut kesungguhan pada seluruh entitas dan komponen-komponen penting masyarakat dan pemerintah daerah Kabupaten Tegal. Artinya, perubahan progressif di kabupaten beribukota Slawi ini tidak mungkin terwujud kecuali seluruh komponen masyarakat dan pemerintah terlibat aktif sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing.
Belakangan ini sudah menjadi berita terbuka, tidak lama lagi rakyat Slawi akan menyelenggarakan satu “Selamatan Demokrasi”. Selamatan Demokrasi yang akan diikuti oleh 1.113.826 orang pemilih terdaftar ini (dimungkinkan akan bertambah), diselenggarakan demi memilih pemimpin yang akan memikul amanat rakyat Slawi lima tahun kedepan (sumber: KPUD Kab. Tegal, per 2008). Perhelatan ini tentu saja bukan pekerjaan sederhana. Dibutuhkan keseriusan dan kesiapan penyelenggaranya, misalnya saja KPUD. Namun anggapan bahwa peran Pilkada semata-mata hanya tugas KPUD adalah keliru. Karena dalam Pilkada sesungguhnya bukan semata-mata mencari dan menemukan pemimpin, tapi yang lebih penting dari semua itu adalah pembelajaran politik kepada masyarakat luas.
Bukan Sekedar Pilkada
Sudah saatnya masyarakat Slawi meyakini bahwa ini bukan sekedar Pilkada—pemilihan kepala daerah—belaka. Pilkada langsung yang pertama kali di Kabupaten Tegal ini diharapkan dapat menjadi media komunikasi politik massa, silaturrahmi eksponen-eksponen politik daerah Kabupaten Tegal, sekaligus juga sebagai bahan penjajakan kekuatan dan ketahanan masyarakat Slawi dalam memahami kepemimpinan daerah. Lebih dari itu semua, Pilkada idealnya dapat menjadi bukti dari kesungguhan masyarakat Tegal untuk melanjutkan agenda nasional, yaitu otonomi daerah secara cerdas, terbuka dan santun.
Bila perlehatan Pilkada menjadi media pembelajaran politik bagi rakyat, mestinya jauh-jauh sebelumnya berbagai pihak yang akan terlibat dalam Pilkada sudah mulai menyingsingkan lengan baju secara terbuka. Mestinya rakyat jangan dibuat menunggu-nunggu siapa sesungguhnya calon pemimpin yang akan dipilih. Rakyat juga mempunyai hak untuk mengetahui siapa, dari mana, dan latar belakang calon pemimpinnya. Dari sana rakyat akan mulai mempelajari, menilai, dan akhirnya menentukan pilihan tepat terhadap calon. Jangan karena masalah tarik ulur kepentingan golongan tertentu kemudian imbasnya ternyata justu merugikan rakyat. Seolah rakyat tidak diberikan kesempatan untuk mempelajari calon-calonnya. Ibarat pemutaran film, penonton sudah sejak awal diberi kesempatan untuk melihat slide show, iklan, bahkan jumpa pers. Bukankah kita bisa membayangkan kualitas sebuah film bila sebelumnya kita sudah mengenal totalitas karakter si aktor?
Dari kegelisahan di atas, demi memuluskan jalan Pilkada Kabupaten Tegal ke depan, penulis menilai ada 4 (empat) hal yang perlu dicermati dan direnungkan bersama: Pertama, masyarakat Slawi dengan latar belakang yang beragam namun memiliki tradisi paguyuban dan religi yang kokoh, sesungguhnya dapat menjadi potensi besar dalam menghadapi hajatan akbar ini. Inilah pesta demokrasi wong Slawi. Dengan demikian, sudah sejak awal masyarakat Slawi harus memiliki keyakinan bahwa Pilkada adalah untuk kita, untuk semua rakyat Slawi, bukan untuk segelintir orang atau kelompok.
Kedua; Menjadi pemimpin Kabupaten Tegal merupakan hak dari setiap individu warga Slawi. Untuk itu bagi siapa pun yang memenuhi syarat dan serius ingin mencalonkan diri sudah sepatutnya melakukan langkah-langkah kongkrit bagi dirinya, juga bagi masyarakat. Bagi pribadi yang benar-benar serius mencalonkan diri, semestinya sudah secepatnya memperkenalkan diri; terutama tentang sosialisasi visi-misi sekaligus langkah-langkah strategis dalam menyejahterakan masyarakat Slawi. Lebih jauh lagi, setiap calon diharapkan dapat menunjukkan i’tikad baik kepada semua pihak. Meskipun dalam hal ini akan terkesan kontraproduktif dengan agenda kampanye yang belum digelar, namun justru inilah tantangan yang harus dijawab oleh setiap calon untuk dapat mengkomunikasikan setiap gagasan-gasan konstruktifnya terhadap Kabupaten Tegal.
Dalam komunikasi politik, rival tidak selalu diartikan sebagai musuh yang harus dijatuhkan dengan berbagai cara. Bahkan bila perlu dengan cara-cara kotor yang sangat tidak mencerminkan tradisi masyarakat Tegal yang biasa blak-blakan (transparan), namun tetap tepo seliro (toleransi), dan unggah-ungguh (etika). Artinya, sejak awal upaya black campagne sudah semestinya dihindari karena sangat tidak mencerdaskan publik. Di sinilah kemudian media dialog terbuka yang melibatkan semua pihak (baca: calon), yang diselenggarakan oleh berbagai komponen masyarakat Slawi, akan menjadi media alternatif bahkan mencerdaskan semua pihak. Untuk poin kedua ini, yang lebih utama adalah keujujuran dari setiap calon untuk introspeksi dan membaca diri, apakah dirinya memang pantas dan layak mengemban amanat rakyat Slawi.
Ketiga; Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai lembaga penyelenggara pemilu di daerah, sudah sepatutnya segera memberikan sosialiasi kepada publik tentang arti penting Pilkada sebagai agenda rakyat dalam menentukan langkah-langkah ke depan. Pemungutan suara yang sedianya akan dilaksanakan 26 Oktober 2008 mendatang mestinya sudah selayaknya didengungkan kepada masyarakat Slawi, melalui media-media informatif yang dimiliki pemerintah Kabupaten Tegal. Berdasarkan Surat Keputusan KPUD Kabupaten Tegal Nomor 6 Tahun 2008, sosialisasi Pilkada telah dibuka sejak 19 Maret 2008 hingga 15 November 2008 mendatang.
Namun realitasnya, kita dapat menyaksikan bahwa gaung Pilkada di Kabupaten Tegal terkesan adem ayem saja. Ini berbeda dengan Kota Tegal yang sudah cukup hangat menampakkan hiruk-pikuk hajatan demokrasinya.
Pada poin ketiga ini kita akan bertanya-tanya. Apakah sebenarnya yang sedang terjadi? Kebuntuan komunikasi politik, tarik ulur kepentingan, atau ketidaksiapan pihak-pihak yang nantinya akan terlibat? Bila ini dibiarkan justru akan menjadi laten, dan jangan kaget bila di ujung agenda akan terjadi konflik horisontal yang tentu saja sangat tidak kita harapkan. Pilkada Kabupaten Tegal, sepatutnya segera disosialisasikan dengan baik oleh KPUD bersama jajaran pemerintah Kabupaten Tegal agar tercipta suasana kondusif.
Keempat, kesiapan semua pihak untuk bersama-sama meredam dan tidak menciptakan konflik. Sudah menjadi catatan bersama, Pilkada di sejumlah daerah selalu menyisakan konflik dan pertentangan. Biasanya kasus-kasus yang muncul berangkat dari minimnya pemantau Pilkada, mepetnya pembentukan Panwas, PPK, PPS, dan KPPS. Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah pengawasan terhadap praktik money poltics, transparansi dana kampanye, dan kesiapan partai untuk menjaga masanya agar tidak melakukan tindak pengrusakan simbol-simbol tertentu. Semua hal tersebut kiranya dapat dipersiapkan dengan baik sejak awal sehingga tidak terjadi sebagaimana di sejumlah daerah lain.
Selain keempat poin di atas, yang lebih penting lagi adalah kesiapan semua pihak untuk menerima berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Dalam Pilkada tak selalu bermuara pada masalah menang-kalah. Tapi bagaimana semua pihak dapat memberikan kontribusi, mendukung, menentukan dan akhirnya menerima siapa pun yang tampil. Tentu saja kesadaran untuk tetap kritis harus tetap dijaga. Marilah kita bersama-sama introspeksi diri sebelum mengintrospeksi pihak lain (hasibu anfusakum qabla an tuhasabu...). Semoga. (Radar Tegal, 14 Mei 2008)
*Penulis adalah pemerhati politik Kabupaten Tegal, tinggal di Pangkah.