Jakarta - Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) III PPP yang digelar Jumat-Sabtu (15-16 April 2011) ini memiliki peran strategis menyongsong Muktamar VII pada Juni atau Juli 2011 ini. PPP harus berpikir keras menghadapi ancaman kelapukan partai berlambang ka’bah ini.
Prestasi PPP sejak pemilu pasca reformasi 1998 hingga Pemilu 2009 lalu mengalami tren penurunan suara signifikan. Dalam Pemilu 1999, PPP memperoleh suara 10,7%, Pemilu 2004 turun ke 8,15% serta Pemilu 2009 justru terjun bebas dengan memperoleh suara 5,32%.
Banyak analisa tentang tren penurunan suara PPP pasca reformasi ini. Salah satunya, tudingan atas tren politik pragmatis baik para pelaku politik maupun konstituennya. Budaya politik pragmatis tidak memberi angin segar kepada partai politik yang cekak dana tak terkecuali PPP. Analisa ini cenderung menyalahkan pihak lain.
Wakil Ketua Umum DPP PPP A Chozin Chumaedy menyebutkan selain persoalan pragmatisme politik, PPP juga terancam dengan ketidaksiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menghadapi kompetisi.
“PPP terpaku dengan kebanggaan identitas Islam, namun tidak cepat di-breakdown dalam program nyata di masyarakat,” ujarnya kepada INILAH.COM melalui saluran telepon di Jakarta, Jumat (15/4/2011).
Chozin juga memaparkan, momentum Mukernas III yang di antaranya mengagendakan percepatan muktamar diharapkan mampu menelorkan pemimpin PPP yang kharismatik. Dia mengakui, konstituen PPP yang berbasiskan masyarakat tradisional, memerlukan pemimpin yang memiliki daya pikat kuat. “Tetapi tidak hanya pemimpin kharismatik, namun juga ditopang kolektifitas kepemimpinan serta manajerial yang bagus,” paparnya.
Dihubungi terpisah, anggota Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) Lukman Hakiem menilai sumber persoalan di partai Islam ini sejatinya terletak di internal PPP. Dia menyebutkan dua hal yang menyebabkan PPP dalam ancaman ditinggal para konstituen.“PPP tidak cepat merespon perubahan zaman serta hilangnya integritas kader,” bebernya.
Mantan Staf Khusus Wakil Presiden Hamzah Haz ini menilai, kader PPP saat ini dalam berpolitik hanya sekadar mencari kekuasaan. “Akhirnya memunculkan kader yang tidak memiliki integritas minus ideologi. Berpolitik hanya sekadar berpolitik,” kritiknya.
Lukman menyebutkan membutuhkan waktu lama bagi PPP untuk mencari figur pemimpin yang memiliki integritas. Karena fenomena demikian, lanjut Lukman telah menggejala di semua tingkatan struktur partai.
“Harus ditemukan pemimpin yang memiliki integritas yang punya ideologi. Itu yang harus ditemukan. Kalau tidak, apa bedanya PPP dengan partai lainnya. Pada akhirnya, hanya tanda gambar saja yang membedakan PPP dengan partai politik lainnya,” kritik Lukman.
Ancaman kelapukan yang mewabah PPP ini bukanlah pepesan kosong. Hasil pemilu pasca reformasi menjadi fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Kiprah Ketua Umum PPP Hamzah Haz dan Ketua Umum PPPP Suryadharma Ali selama era reformasi ini, nyatanya tak membantu partai ini selamat dari gilasan zaman.
PPP harus berani melakukan lompatan politik yang fundamental meski tetap terukur sebagaimana khittah perjuangan yang dipilih. Salah satunya reorientasi perjuangan partai, reformulasi gerakan partai, serta restrukturisasi kepengurusan secara mendasar. Jika tidak, tantangan Pemilu 2014 dengan batas ambang keterwakilan parlemen di atas 2,5% bisa saja PPP benar-benar lapuk dan tergerus. (Inilah.com, 15 April 2011)