PENGUMUMAN: Dibuka pendaftaran bakal calon anggota DPRD Kabupaten Tegal, mulai 1 Januari s/d 28 Februari 2013. Info: Hubungi DPC PPP Kabupaten Tegal, telp.(0283)3275717 | Eko Mahendra Ridho

Follow Us

HEADLINE NEWS

Poci dan Peci

29 Agustus 2008


Oleh : Eko Mahendra*

Poci. Siapa yang tidak kenal dengan satu benda antik ini. Terlebih bagi wong Tegal yang begitu akrab dengan poci. Ya, poci kuwe wis lumrah ana neng warung-warung neng wilayah Tegal. Bahkan untuk sebagian kalangan, ada yang memiliki tempat minum teh yang terbuat dari tanah ini di rumah mereka. “Wedange gula batu, jajane alu-alu, nganti lali karo mantu”, demikian kira-kira satu ungkapan sederhana untuk menggambarkan betapa nikmatnya minum teh dalam suasana santai sambil slonjor atawa lemprakan.

Malam Jum’at lalu, penulis berkesempatan “nongkrong” di sebuah warung. Letaknya tak jauh dari kota Banjaran, Tegal. Angin semilir berhembus pelan namun cukup menggigit. Bahkan meski tebal, jaket obralan yang aku beli di pasar Senggol itu masih bisa ditembus angin dingin malam itu. Beberapa orang yang tengah duduk di sana, juga turut merasakan angin “ketiga; sebutan untuk musim kemarau bagi warga Tegal.

Malam itu, sesuatu selain apa yang tersaji di meja warung agaknya menjadi tidak penting; bahkan mungkin diabaikan. Ya, di meja itu hanya tersaji keripik emping, kerupuk kulit, gorengan tempe mendoan, kerupuk rambak, dan kecap yang berteman dengan cabe. Lho..., kok ora penting? Ya, karena di sana tidak disertakan daftar nama-nama calon Bupati Tegal atawa Walikota Tegal, atau mungkin koran yang membicarakan deal-deal baru tentang siapa yang akan bertarung memperebutkan kursi “Raja Tegal” nanti.

Semerbak asap sate mulai berjejal masuk ke dalam warung. Sepertinya sate pesananku tengah digarap. Sambil menunggu sajian sate kambing, aku menikmati secangkir teh bersama si poci yang bentuk dan teksturnya aku perhatikan dengan seksama. Di tengah keasyikan menikmati imajinasiku pada poci itu, aku dikagetkan oleh tegur sapa pemilik warung, Mbah Tarmo.

“Sekarang sudah jarang orang yang mau tahu, apa itu poci.” Lelaki paruh baya yang puluhan tahun berjualan sate ini seperti mengerti apa yang sedang aku gelisahkan. Maka tanpa pikir panjang lagi aku pun memburu dengan tanya.

“Memang ada apa dengan poci ini, Mbah?” Sambil membersihkan gelas dengan lap kotak-kotak yang sudah agak kumal itu, Si Mbah kembali angkat bicara, “Ya…lihat saja bentuknya. Dibuat dari tanah liat, bentuk sangat sederhana, tapi unik.”

“Lalu apa istimewannya poci dibuat dari tanah liat, Mbah?” “Poci itu sudah melewati masa pembakaran. Warnanya yang merah kecoklatan, mengingatkan pada warna umur kita. Tanah liat itu nurut. Karena unsur airnya banyak. Orang kalau banyak airnya pasti gampangan lan ora kaku, ora atos.”

Sambil nyruput teh poci gula batu dan terus menyimak pembicaraannya, Mbah Tarmo kembali meneruskan penjelasannya. “Tapi, supaya tanah dapat bertahan lama dalam bentuk yang diinginkan, dia harus dibakar, sepeti bata, genting, juga gentong. Setelah dibakar, tanah liat itu menjadi kuat.” Aku cukup kaget dengan penjelasan pemilik warung itu. Rasa penasaran menyerbu pikiranku. Tapi belum lagi aku mengajukan pertanyaan, 20 tusuk sate kambing tersaji di hadapanku.

Monggo, Mas”, ujar si pelayan sopan. Setelah beberapa tusuk sate disantap dengan paduan bumbu kecap, aku kembali berucap. “Mbah, kenapa poci menggunakan tanah, ya?” “Mungkin dulu bahan yang paling mudah itu tanah. Tapi orang tidak tahu kalau tanah sebenarnya dapat menyerap racun.”

Untuk jawaban yang ini aku tidak begitu tersentuh, karena seperti mengada-ada, i..loken? Tapi entahlah, mungkin saja benar siapa yang bisa menduga. Toh belum ada riset atau penelitian tentang kegunaan poci. Aku kembali menyantap. Tapi tiba-tiba dengan raut yang cukup serius, pemilik warung agak mendekat dan kembali berceloteh.
“Cobalah renungkan lebih jauh lagi poci itu. Gagangnya kecil mungil seperti mengingatkan agar kita harus memegang poci dengan hati-hati. Karena bila tidak hati-hati bisa patah. Memegang poci dengan hati-hati maksudnya, ya dengan hati. Bukan dengan nafsu. Ini seperti gambaran rakyat. Rakyat kan ibarat tanah liat yang bisa dibentuk dan diatur apa saja oleh rajanya. Tapi poci yang terbuat dari tanah ini juga punya keterbatasan.

Wah, kelihatannya obrolan ini sudah mulai jauh meninggalkan warung sate. Ini jauh lebih penting dari loby-loby politik yang akhir-akhir ini sedang memanas di Slawi maupun Kota Tegal.

“Begini ya, Mas. Sebentar lagi kan, wong Tegal akan bersama-sama menggelar hajatan bersama; Pilkada. Berbagai harapan dari rakyat tentu beragam. Tapi prinsipnya sama, memilih sosok pemimpin yang akan mengembalikan harkat dan martabat warga Tegal ke depan. Poci itu dari tanah. Kita tidak tahu tanahnya dari mana. Mungkin tanah yang selama ini sering kita injak-injak. Tapi karena sudah dibakar, sekarang poci itu ada di atas meja. Dia sudah mulia!

“Luar biasa, Mbah kok bisa sampai berpikir begitu”, aku berusaha memuji dengan segenap hati yang tulus.

“Alah begitu saja, kok. Apa sih hebatnya.” Si Mbah agak malu. Tapi belum aku menghela nafas karena rasa pedas dari sambel cabe, dia kembali bersuara.

“Saya sebagai wong cilik, sebagai warga Tegal yang bekerja menjual seperti ini punya harapan sederhana.”
Saya sejenak berhenti. Terkesiap dan memandang serius wajahnya. “Memang apa harapan, Mbah?”

“Sebagai rakyat Kabupaten Tegal, Mbah bermimpi, bupati Tegal nanti itu yang tau persis makanannya orang Tegal. Jangan mentang-mentang sudah jadi bupati, terus duitnya banyak, tapi tidak ingat dengan makanan khas Tegal. Bupati kita harus tahu nasi Lengko. Harus tahu kalau nasi Lengko itu menggunakan tahu Tegal, tauge, kol dengan bumbu sambal kacang ditabur kecap. Bupati kita juga harus tahu kacang asin atawa kacang klitik. Harus tahu juga Latopia, Tahu Siwil (remeh), nasi Ponggol, sambal goreng tempe, ikan asin, tempe mendoan, kerupuk, kupat Glabed, Sate Bukur atawa Sate Sadel. Terus jangan lupa juga dengan Serabi Miring, Kontol Pesok, Kocen, Martabak, kacang bogares, pilus, mirong, dan terutama teh poci!”

Aku jadi bingung kenapa si Mbah begitu antusias menyebutkan nama-nama makanan khas Tegal. Seperti iklan wisata kuliner saja. “Memang kenapa, Mbah? Kenapa syarat bupati Tegal itu harus tahu makanan khas Tegal?”

“Lho, iya dong. Malah, bupati kita harus bisa membuatnya sendiri dan mengerti benar bahan-bahan makanan itu dari apa. Supaya bisa tahu, apa sebenarnya kebutuhan rakyatnya. Orang Tegal itu harus lapang, jembar seperti tegalan. Tegalan itu bersifat terbuka dan menerima semua pihak. Tapi orang Tegal juga harus tegel! Tegel untuk menindak yang salah, tegel untuk menindak maling-maling; tidak peduli dia itu siapa. Itu namanya tegel. Tapi orang Tegal itu harus ora tegel (tidak tega) kalau melihat rakyatnya menderita dan kekurangan. Kalau tidak begitu, jangan kaget bila nanti kita semua jadi tugel (terpotong). Tugel generasi, tugel kesejahteraan, bahkan tugel gulune (mati).”

Aku baru sadar. Mungkin yang dimaksud bupati ke depan haruslah peka dengan kondisi rakyatnya. Betapa rakyat mendambakan sosok pemimpin yang bukan hanya pinter ilmunya, tapi juga peka pada sesama.

“Dan kalau perlu, bupati nanti harus bisa ngimami tahlil, bisa manakiban, bisa main Balo-Balo, bisa marhabanan, mahir main Sodor, Petak Umpet, Cing-Cing Mong, Koboy, Balapan Sendok, Rog Rog Asem, Hong Hongan, pokoknya semua dolanan warga Tegal. Kalau ada calon bupati yang seperti itu, pasti saya pilih! Jangan cuma bisa main komputer, sama handphone! Itu sih, cucu saya juga bisa.”

“Kenapa saya bilang harus bisa marhabanan, bupati Tegal itu selain tahu poci juga harus pakai peci. Dia harus mengerti kalau kita hanya makhluk ciptaan-Nya yang harus sujud kepada-Nya.

Sepertinya persyaratan calon bupati Tegal yang ditawarkan pemilik warung semakin komplit. Bukan hanya poci yang harus dipahami, tapi dia juga memiliki kesadaran terhadap peci yang dikenakannya. Peci bukan hanya sekedar alat penutup kepala yang bisa digunakan ketika marhabanan, atau sembahyang, tapi peci merupakan simbol akan amanah yang diberikan Allah kepada kita.

Angin malam nan dingin seakan tak terasa lagi. Mataku melek dan hatiku trenyuh dengan khutbah singkat dari guru baruku, si tukang sate. Seandainya saja ungkapan tukang sate ini didengar mereka yang pinter, mungkin sudah jadi buku tentang falsafah Tegal. Lagi-lagi, sebelum aku berpamitan, dia memintaku untuk sejenak mendengarkan satu kisah darinya.

Suatu hari, seorang bijak ditemani anaknya berjalan-jalan ke suatu tempat. Sampailah mereka di sebuah perkebunan dengan pohon-pohon yang indah, bunga-bunga yang harum, dan buah-buah yang ranum. Ada sebuah pohon kecil di pinggir jalan yang condong karena ditiup angin. Ujungnya hampir menyentuh tanah. Bapak yang bijak itu berkata kepada anaknya,

"Anakku, lihatlah pohon yang miring itu. Kembalikan ia kepada keadaan semula."

Anaknya pun bangkit menuju pohon itu. Dengan mudah dia berhasil meluruskannya. Lalu keduanya berjalan lagi. Sekarang, keduanya sampai di sebuah pohon besar, batang-batangnya banyak yang bengkok. Bapak itu berkata kepada anaknya,"Anakku, lihatlah pohon ini. Betapa ia sangat memerlukan orang yang mau berbuat baik kepadanya untuk meluruskannya. Menghilangkan aib yang menodainya, dan menaikkan harganya di depan orang-orang yang memandangnya. Kesanalah, lakukanlah apa yang kamu lakukan pada pohon sebelumnya."

Anaknya tersenyum terheran-heran. Dia menjawab, "Ayah... aku bukan tidak mau berbuat baik. Hanya saja pohon itu tidak mungkin diluruskan, karena usianya yang sudah tua. Itu mungkin bisa dilakukan saat ia masih muda. Kalau sekarang, mana mungkin?"

Bapak bijak itu mengagumi anaknya. Dia bahagia melihat anaknya yang cerdas dan bisa menjawab dengan tepat. Dia berkata, "Kamu benar, anakku. Siapa yang tumbuh di atas sesuatu, maka ia menjadi tabiatnya. Beradablah sejak kecil, niscaya adab itu selalu menemanimu sampai kamu dewasa."

Kemudian keduanya pulang dan bapak bijak itu melantunkan syair, "Budi pelajaran pekerti itu berguna bagi bocah di masa kecilnya. Tapi bila datang masa dimana kepala telah beruban, ia tidaklah berguna. Sesungguhnya jika kamu meluruskan ranting, maka ia bisa lurus. Sementara kayu, tidaklah mungkin kamu bisa meluruskannya. "

“Mbah, matur suwun. Terima kasih satenya, terima kasih juga poci dan pecinya. Saya pamit, wassalam.”***) (Wacana Radar Tegal, 3 Agustus 2008)

*Penulis adalah kader PPP Kabupaten Tegal
Bagikan:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright 2008-2013 DPC PPP Kabupaten Tegal | Design by Eko Mahendra Ridho | Powered by Blogger.com.