PENGUMUMAN: Dibuka pendaftaran bakal calon anggota DPRD Kabupaten Tegal, mulai 1 Januari s/d 28 Februari 2013. Info: Hubungi DPC PPP Kabupaten Tegal, telp.(0283)3275717 | Eko Mahendra Ridho

Follow Us

HEADLINE NEWS

DPC PPP Kabupaten Tegal ©2008-2012 All Right Reserved. Diberdayakan oleh Blogger.
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan

Lanskap Baru Politik 2014

21 Januari 2013

Oleh: Muhammad Qodari*
Hasil rapat pleno KPU soal verifikasi faktual parpol peserta Pemilu 2014 diperkirakan meloloskan 10 partai dari 34 yang mendaftar ke KPU (Kompas, 8/1). Ke-10 partai itu adalah PAN, Demokrat, PDI-P, Hanura, Gerindra, Partai Golkar, PKB, PKS, PPP, dan Nasdem.

Bagi yang optimistis, lolosnya 10 parpol untuk Pemilu 2014 membuka lanskap baru politik Indonesia ke depan. Lanskap pertama, harapan bahwa pilihan masyarakat akan lebih berkualitas karena jumlah partai jauh lebih sedikit daripada sebelumnya. Bandingkan jumlah parpol peserta Pemilu 2014 dengan Pemilu 1999 yang 48 parpol, 2004 (24), dan 2009 (38).

Pilihan yang sedikit ini diharapkan kondusif untuk masyarakat membuat pilihan berkualitas. Apalagi 9 dari 10 parpol yang lolos adalah partai lama yang sudah dikenal kiprahnya, baik di legislatif, eksekutif, di media, maupun di masyarakat. Jadi, masyarakat punya catatan tentang kinerja mereka. Pemilu 2014 akan menjadi hari penilaian bagi parpol-parpol tersebut.

Harapan yang lebih berkualitas juga diharapkan terjadi untuk level calon anggota legislatif (caleg). Berkurangnya jumlah partai secara signifikan secara dramatis juga mengurangi jumlah caleg.

Lanskap berikutnya, kemungkinan perubahan wajah politik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Saat ini terjadi perbedaan situasi antara konstelasi politik di pusat (DPR) dan di daerah (DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota). Jika di pusat hanya ada 9 partai politik, di daerah jumlah parpol jauh lebih banyak sehingga lebih ”hiruk-pikuk”. Di DPRD 2009, jumlah parpol lebih banyak sebagai kombinasi dari tiadanya ambang batas parlemen untuk masuk DPRD dan jumlah peserta pemilu 38 parpol. Akibat tak ada ambang batas parlemen untuk DPRD, tak ada kursi DPRD yang ”hangus” seperti terjadi di DPR.

Pasca-keputusan Mahkamah Konstitusi, aturan Pemilu 2014 hanya memberlakukan ambang batas di tingkat nasional seperti pada 2009 (sebelum keputusan itu ambang batas juga berlaku di tingkat daerah). Namun, dengan jumlah peserta pemilu yang hanya 10 parpol, jumlah parpol di DPRD juga tidak akan lebih dari 10. Ini membuat komposisi parpol di DPRD kurang lebih akan sama dengan DPR. Perbedaannya pada posisi dan jumlah kursi sesuai daerah masing-masing.

Skeptisisme
Jika analisis di atas menampilkan kemungkinan perubahan dan harapan pada Pemilu 2014, bagian berikut menampilkan kekhawatiran dan skeptisisme. Skeptisisme pertama adalah kinerja DPR hasil Pemilu 2014. Disinyalir salah satu sebab rendahnya produktivitas legislasi DPR akibat jumlah partai dan fraksi yang terlalu banyak di Senayan.

Salah satu solusinya mengurangi jumlah partai dan fraksi di DPR dengan ambang batas parlemen. Namun, ambang batas 3 persen yang ditetapkan untuk Pemilu 2014 (naik 0,5 persen dibanding Pemilu 2009) diduga tidak akan mampu mengurangi jumlah parpol di DPR secara signifikan. Bahkan, bukan mustahil jumlah parpol di DPR justru naik dari 9 ke 10 parpol, dengan asumsi 9 partai lama dan satu partai baru (Nasdem) semua mendapat suara di atas ambang batas. Kemungkinan ini besar karena Hanura sebagai partai ”bontot” dalam Pemilu 2009 meraih suara di atas 3 persen pada pemilu itu. Sementara Nasdem telah menembus suara di atas 3 persen dalam aneka survei akhir-akhir ini.

Skeptisisme berikutnya soal wajah politik nasional Indonesia secara umum di masa yang akan datang. Mafhum diketahui banyaknya kekecewaan masyarakat terhadap kinerja parpol, politisi, dan aneka lembaga pemerintahan. Kenyataan bahwa 9 dari 10 parpol yang lolos pemilu adalah partai lama dapat ditafsirkan: wajah politik Indonesia ke depan tidak akan berubah banyak karena aktornya secara garis besar yang itu-itu saja. Termasuk peta calon presiden yang notabene akan keluar dari parpol-parpol tersebut di atas.

Sekarang, bagaimana cara menjawab potensi kekecewaan tersebut di atas? Soal ambang batas tidak mungkin diubah. Karena itu, harus diterima kemungkinan jumlah parpol di DPR tetap 9 atau malah jadi 10. Berdasarkan pengalaman pemilu di era Reformasi, memang angka ambang batas yang bisa memangkas jumlah parpol di DPR adalah minimal 5 persen. Solusinya adalah memperbaiki mekanisme pembahasan UU di DPR dan di tiap parpol agar target legislasi dapat tercapai.

Adapun solusi kekecewaan terhadap parpol di masa depan secara inheren terkandung dalam mekanisme demokrasi itu sendiri. Dalam demokrasi diharapkan terjadi proses reward and punishment (hadiah dan hukuman) dari masyarakat terhadap peserta pemilu dan selanjutnya proses belajar dan memperbaiki diri dari para peserta pemilu itu terhadap kesalahannya. Saya meyakini mekanisme hadiah dan hukuman itu berlaku dalam politik Indonesia. Buktinya PDI-P yang menang Pemilu 1999 bisa kalah di 2004, sedangkan Partai Golkar yang menang di 2004 kalah di 2009, sementara hasil survei menunjukkan dukungan terhadap Demokrat yang menang Pemilu 2009 turun.

Tentang calon presiden 2014, ada tiga langkah untuk memunculkan alternatif wajah calon pemimpin nasional. Pertama, menurunkan aturan presidential threshold (ambang batas capres) Pemilu 2009 yang mencapai 20 persen suara dan/atau 25 persen kursi. Pilihan yang mudah adalah ”menyamakan”-nya dengan ambang batas parlemen, yakni 3 persen, untuk mengajukan pasangan calon sendiri. Namun, melihat pengalaman politik selama ini, agaknya angka itu akan bertemu di tengah, yaitu di rentang 10 persen-15 persen. Kedua, partai membuka kesempatan kepada tokoh-tokoh muda untuk tampil sebagai calon. Ketiga, partai membuka pintu bagi tokoh-tokoh di luar partai.

Agamis vs Nasionalis
Lepas dari harapan dan skeptisisme terhadap calon peserta Pemilu 2014, jumlah peserta yang 10 sebetulnya kian mendekati opini masyarakat. Paling tidak ini terungkap dari hasil berbagai survei, di antaranya survei oleh Indo Barometer pada Juni 2008 dan Agustus 2010.

Secara ideologi, 10 partai peserta pemilu juga cukup mencerminkan konstruksi ideologi parpol di Indonesia yang kerap dibagi dalam dua spektrum. Untuk spektrum partai agamis/berbasis massa agama versus nasionalis/sekuler, ke-10 partai itu dapat dibagi dalam partai agamis (PKS, PPP, PAN, PKB) dan nasionalis (PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Gerindra, Hanura, Nasdem).

Dalam spektrum partai agamis, ada dua subspektrum, yakni agamis Islam dan Kristen. Subspektrum agamis Islam bisa dibagi lagi dalam sub-subspektrum agamis Islam modernis dan agamis Islam tradisionalis. Adapun yang hilang dalam 10 parpol peserta Pemilu 2014 adalah wakil dari subspektrum agamis Kristen.

Sementara untuk spektrum partai nasionalis, dapat dibagi lagi dalam subspektrum kanan/developmentalis versus kiri/ populis. Tentu penggolongan ini relatif dan dapat diperdebatkan. Akan tetapi, pesannya adalah: walau jumlah partai peserta pemilu menurun jauh dibandingkan 2009, sebetulnya cukup mewakili spektrum ideologi politik yang ada.

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Indo Barometer.

PPP Lebih Optimis Menyongsong Pemilu 2014

20 Januari 2013


Oleh: RACHMAD YULIADI NASIR*
Pada waktu menjelang akhir tahun 2012, hasil Survei CSIS menempatkan PPP di atas PKS, PAN, PKB, Nasdem, dan Hanura. Survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menemukan bahwa elektabilitas Partai Golkar di posisi teratas. Sementara, posisi kedua ditempati PDIP, dan menyusul Partai Demokrat pada urutan ketiga.

Peneliti CSIS, Philips Vermont, mengemukakan bahwa partai Golkar mendapat 18 persen suara, sementara PDIP 11,6 persen dan disusul partai Demokrat mendapat 11,1 persen. Sementara partai lainnya, seperti Gerindra mendapat 5,2 persen, PPP mendapat dukungan sebanyak 3 persen, PKB 2,8 persen, PKS 2,2 persen, PAN 2 persen.

Partai baru seperti Nasdem mendapat 1,6 persen. Perolehan Nasdem itu lebih tinggi dibandingkan dengan partai Hanura yang mendapat suara 1,5 persen.

Survei yang dilakukan pada 6-19 Juli 2012 di seluruh provinsi di Indonesia kecuali Papua. Wawancara tatap muka dilakukan di 32 provinsi, Papua saat itu dalam keadaan tidak kondusif, banyak penembakan dan lain-lain, secara statistik juga sangat kecil.

Survei ini dilakukan dengan jumlah sampel 1.480. Dengan margin error 2,55 persen dan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Pemilihan responden ini dilakukan secara acak bertingkat, mulai dari kelurahan, RT dan kepala keluarga. Dengan perbandingan sampel desa-kota sebanyak 50-50 persen sesuai dengan data BPS terbaru 2011.

Dengan data begitu PPP sangat optimis masuk 5 besar pada pemilu 2014 nanti. Beberapa waktu yang lalu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menggelar hari lahir (Harlah) ke-40. Peringatan hari lahir ke-40 PPP yang dipusatkan di GOR Jatidiri Semarang. Acara ini menjadi momentum untuk memperkokoh PPP sebagai rumah besar umat Islam.

Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dalam pidato politiknya mengatakan, resepsi peringatan Harlah 40 Tema Harlah ke-40 PPP sengaja dipilih “Memperkokoh Rumah Besar Umat Islam” sebagai ekspresi akan kebutuhan kebersamaan dan keterbukaan PPP kepada seluruh komponen politik Islam.

Dengan tema tersebut, PPP mengajak seluruh komponen politik Islam yang masih terserak di berbagai tempat, untuk bersatu di bawah naungan panji-panji pemersatu umat Islam yaitu ka’bah yang mulia serta menjadi momentum untuk mengembalikan kepercayaan umat pada Pemilu 2014

Dipilihnya tempat harlah di Semarang, Jawa Tengah dimaksudkan untuk memastikan kesiapan struktur dan tim pemenangan PPP Jawa Tengah dalam  Pemilu 2014 mendatang. Untuk memastikan kesiapan seluruh struktur di semua tingkatan khususnya di Jawa Tengah, sebagaimana target lumbung suara PPP di Jatim, Jateng dan Jabar.

Di Jakarta sendiri peringatan harlah PPP berlangsung dengan cara yang sangat sederhana, hanya dengan potong tumpeng dan memberi santunan bagi 100 oranng anak yatim piatu. Tidak tampak para petinggi partai karena semua sedang sibuk pergi ke daerah menemui pemilihnya. Mereka hanya berdoa semoga PPP menang dalam pemilu 2014.

Setelah pengundian nomor urut di KPU pusat Jakarta, Senin siang, 7 Januari 2013, di peroleh nomor urut 9. hal ini merupakan salah satu keberuntungan bagi PPP karena semua partai sangat menginkan memperoleh nomor urut 9. Setelah itu tentu saja PPP langsung mencetak bendera partai beserta nomor urut 9 yang didapatnya, serta atribut partai lain seperti umbul-umbul dan segera di sosialisasikan kepada masyarakat.

* Penulis adalah Kompasianer, Pemerhati Masalah Politik dari Gempol

Bid'ah Politik

17 Januari 2013


Oleh: HA. Chozin Chumaidy*

Politik pada hakekatnya adalah suci dan luhur. Karena merupakan norma, nilai dan aturan yang ditujukan untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi demokratis, berkeadilan, bermartabat sesuai dengan falsafah yang dianut oleh masyarakat dimana politik itu dijalankan.

Akan tetapi akhir-akhir ini politik menjadi sasaran kritik yang sangat tajam dari masyarakat, sebagai akibat prilaku menyimpang dari para pelaku politik itu sendiri, baik mereka yang bergerak dibidang legeslatif, eksekutif maupun yudikatif, bahkan juga dimasyarakat luas disaat mereka bersentuhan dengan aplikasi politik itu sendiri, seperti Pemilukada, Pileg dan Pilpres. Dimana politik tidak menunjukkan wajahnya yang bermoral, santun, dengan ekspresi dan semangat kejuangan untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat serta prilaku yang berkeadaban yang disinari dengan nilai-nilai luhur bangsa dan keyakinan agama yang suci.

Politik tansaksional dewasa ini tengah menghiasi wajah politik bangsa, kedaulatan rakyat telah tergeser dengan “kedaulatan uang”. Dan fenomena yang sangat memprihatinkan telah merobek moralitas dan jatidiri bangsa, dimana secara vulgar masyarakat menyatakan “wanipiro” (berani bayar berapa-bhsjawa), disaat mereka diajak untuk mempergunakan hak pilihnya, dimana hal itu merupakan salah satu hak-hak dasar yang dimiliki oleh rakyat, hak politik yang sangat esensial untuk menentukan masa depan bangsa. Hal itu diucapkannya dengan enteng seperti menukar barang mainan, yang bias ditukar dengan mudah dan murah. Secara tidak sadar mereka telah melakukan penyimpangan terhadap makna dan prilaku politik.

Sebagaimana diketahui bahwa Politik transaksional itu terjadi, adalah merupakan buah dari pragmatism politik, sebagai akibat logis dari tercerabutnya ideology politik dari partai politik, serta sirnanya moralitas politik dari para pelaku politik. Secara transparan dapat kita ikuti, pada proses pemilukada, dimana seorang calon kepala daerah dituntut untuk menyediakan biaya yang sangat besar, konon hingga sampai puluhan milyar, dan untuk calon anggota legeslatif, diperlukan dana sampai satu-dua milyar. Memang kita bias memahami bahwa untuk proses pencalonan seseorang baik untuk calon kepala daerah maupun anggota legeslatif, diperlukan infra struktur seperti baliho, spanduk, poster, sebagai alat kampanye, dan juga pertemuan-pertemuan terbuka maupunt ertutup, sebagai media kampanye. Akan tetapi dengan sampai menghabiskan dana puluhan milyar itulah yang menjadi tanda Tanya besar.  Barang kali dapat dipastikan bahwa dana besar itu diperlukan untuk “membayar” pemilih, atau “membeli” suara. Yang dalam bahasa agama adalah “risywah” atau suap.

Syeh Muhammad Yusuf Qordhowi dalam bukunya “Al-Halal wal haram fil Islam” menyatakan bahwa suap adalah salah satu bentukperbuatan yang diharamkan dalam Islam, dan dilaknat oleh Allah danRasul-Nya, sebagaimana Sabda Rasulullah : “Allah melaknat penyuap dan yang menerima suap”(HR.Ahmad, Tarmidzi, dan Ibnu Hibban), bahkan orang yang menfasilitasi terjadinya suap juga termasuk yang dilaknat. “Rasulullah melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara suap” (HR. Ahmaddan Hakim).

Padahal politik dalam prespektif Islam, adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan, tugas amarma’ruf nahi munkar, tugas merubah kehidupan masyarakat menuju masyarakat yang ber-iman, ber-ahlaqulkarimah, untuk membangun tatanan social yang rukun, damai, saling mengormatidan menghargai, dengan landasan tuntunan ilahi.

Dengan demikian politik sejatinya adalah implementasi dari da’wah, khususnya da’wahsiyasiyah, yaitu mengajak masyarakat untuk berbuat dan berlomba meraih kebajikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar prespektif itulah, maka politik harus dilandasi dengan nilai-nilai Al-Amanah(pertanggungjawaban), Al-Khuriyyah (kebebasan), dan Al-Ukhuwwah (persatuan). Nilai Al-Amanah, maka politik harus memiliki dimensi pertanggung jawaban, tidak hanya kepada masyarakat, akan tetapi kepada Allah swt, karena politik sebagai perwujudan tugas manusia sebagai khalifahfil-ardh. Nilai Al-Khuriyyah, maka politik harus berdimensi membebaskan masyarakat dari kedloliman, ketidak adilan dan penistaan serta kemiskinan dan kebodohan. Nilai Al-Ukhuwwah, maka politik harus memperkuat persatuan bangsa, memperkokoh kebersamaan, bukan merusak dan memecah belah umat. Apalagi sampai menghancurkan NKRI.

Tiga nilai itulah yang akan menghantarkan politik menjadi bermakna dan terjaga keluhuran dank esuciannya, yang selanjutnya dapat memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan Negara, dengan kata lain politik menjadi fungsional, merubah dan membangun masyarakat menjadib aik, maju, mandiri dan sejahtera, menujumasyarakatmadani yang marhamah.

Praktek risywah atau politik transaksional, jelas bertentangan dengan nilai syariat, merusak moralitas bangsa, menghancurkan nilai idealism masyarakat, dikerdilkan wawasan kebangsaannya, serta mendegradasi system dan nilai politik yang suci dan luhur. Politik transaksional adalah merupakan bid’ahpolitik yang harus kita cegah dan kita hindari.[cc].

*Penulis adalah Ketua Mahkamah Partai DPP PPP/Mantan Anggota DPR RI.

Perlunya Reformasi Jilid II


Oleh : HA.Chozin Chumaidy*

Muqoddimah
Reformasi 1998 pada hakekatnya adalah upaya bangsa Indonesia  untuk melakukan perubahan menuju penyelenggaraan Negara yang lebih demokratis, transparan, dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya jaminan kebebasan berpendapat. Upaya ini dilakukan sebagai koreksi terhadap penyelenggaraan Negara dalam era orde baru, dan sekaligus untuk mendekatkan bangsa Indonesia pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana yg diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Butir-butir reformasi dirumuskan dalam 6 (enam) hal pokok yaitu, Amandemen UUD 1945, Penghapusan Dwi-fungsi ABRI, Penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (Otonomi daerah), Mewujudkan Kebebasan pers dan Mewjudkan demokrasi.

Empat belas tahun sudah reformasi ini berjalan, dan sudah banyak hal-hal positif kita hasilkan, khususnya dalam penataan kehidupan politik, pembangunan demokrasi, Reposisi dan restrukturisasi TNI, Kebebasan pers, Otonomi daerah, Perlindungan HAM serta Pemberantasan KKN. Walaupun secara sadar juga harus kita akui bahwa keberhasilan tersebut masih belum memenuhi harapan masyarakat seseuai dg akseptasi masyarakat terhadap gerakan reformasi yang seharusnya dapat melakukan perubahan secara total dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang lebih baik secara kualitatif sesuai dengan arah reformasi itu sendiri.

Realitas Reformasi
Prof. Dr. Eko Prasojo mengatakan bahwa: “reformasi harus dibedakan dengan perubahan. Perubahan tidak selamanya menghasilkan perbaikan-perbaikan, sebagaimana diharapkan diawal, sedangkan reformasi adalah perubahan yang dikehendaki (intended change) dalam suatu kerangka kerja yang jelas dan terarah (Reformasi Kedua, Salemba Humanika, Jakarta, 2009).

Ada terkesan bahwa gerak langkah reformasi saat ini masih dalam batas “kulit” belum menyentuh pada isinya. Seperti misalnya Pembangunan demokrasi masih terbatas pada prosedural, Otonomi daerah terbatas pada pembagian kekuasaan dan jabatan didaerah, Penataan  system pemerintahan baru terbatas pada pembentukan lembaga-lembaga baru, dan perkuatan posisi lembaga legeslatif dihadapan Presiden.  Pembangunan system politik, baru nampak pada kebebesan mendirikan partai politik dan Pemilu langsung oleh rakyat baik dalam Pilpres, Pemilukada maupun Pemilu legeslatif.  Pendirian partai politik hanya diorientasikan untuk perebutan jabatan dan kekuasaan, belum pada perkuatan fungsi-fungsi partai politik itu sendiri, khususnya dalam relasinya dengan masyarakat baik dalam pendidikan politik maupun mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Dr. Syarif Hidayat, MA.APU (LIPI), bahwa “dilihat dari prespektif relasi Negara dan masyarakat, sangat jelas terlihat bahwa dalam kurun waktu 10 tahun pertama (1998-2008), proses reformasi di Indonesia, cenderung lebih banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun institusi Negara. Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas Negara, relatif belum mendapat perhatian yang seimbang.” (Reformasi Setengah Hati, Taraju, Jakarta 2010).

Sehingga perjalanan reformasi ada yang terkesan  mandeg, seperti reformasi birokrasi, jalan ditempat,seperti pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, kebablasan, seperti pelaksanaan demokrasi, dan pemilu langsung oleh rakyat. Tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, seperti perlindungan terhadap HAM, Tidak fokus, seperti pelaksanaan otonomi daerah.

Jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada bulan Mei 2012, menyimpulkan bahwa sebagian besar responden (57,4%) menyatakan reformasi tidak berhasil, hanya 36,2% yang menyatakan berhasil.

Bidang-bidang yang dinilai telah memenuhi tuntutan reformasi adalah kebebasan berpolitik antara lain kebebasan mendirikan partai (65%), kebebasan berekspresi lewat media massa dan demontrasi  (68,2%), sebaliknya yang dinilai belum memenuhi tuntutan reformasi adalah penanganan kasus-kasus korupsi/KKN (84,8%), belum terjangkaunya kebutuhan pokok masyarakat (88,0%).

Walaupun demikian sebagian besar responden (70%) menilai gerakan reformasi masih diperlukan untuk mengubah kondisi bangsa. Gerakan ini harus dibangun bersama melibatkan seluruh komponen bangsa. Dan 49% yakin masih ada tokoh-tokoh yang bisa menggerakkan dan melanjutkan cita-cita reformasi.

Ada beberapa langkah reformasi yang patut kita cermati dan kita evaluasi, serta dicarikan solusinya, sehingga kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masih tetap dalam konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan landasan UUD 45 dan Pancasila dengan semangat menuju Indonesia yang sejahtera, adil dan mandiri. Butir-butir reformasi tersebut antara lain yang berkaitan dengan :

Lembaga Perwakilan
Saat ini distruktur ketata negaraan ada dua lembaga perwakilan, yaitu DPR.RI dan DPD. DPR RI merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan faham politik rakyat, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keaneka ragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah, dan dimaksudkan untuk :

Pertama, memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.

Kedua, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daearh dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan Negara dan daerah.

Ketiga, mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.(lihat Panduan pemasyarakatan UUD Negara  Republik Indonesia Tahun 1945, Setjen MPR, Jakarta 2008).

Kalau dilihat dari kelembagaannya, kita menganut system perwakilan “dua kamar” atau dengan istilahbicameral. Akan tetapi kalau melihat fungsi DPD yang terbatas, sebagaimana diatur dalam pasal 22D UUD 45 yaitu, Mengajukan RUU tertentu kepada DPR, Ikut membahasan RUU tertentu, dan Melakukan pengawasan pelaksanaan UU tertentu yg hasilnya disampaikan kepada DPR, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya kita menganut system perwakilan unicameral. Bahkan ada yang memakai istilahsoft-bicameral.

Relasi antara DPR dan DPD harus diselesaikan, setidaknya kita mengkaji kembali system yg telah ditetapkan dalam UUD 45 (amandemen ketiga), tentang lembaga perwakilan yang kita anut. Karena kondisi seperti saat ini mengakibatkan in-effisiensi dan pemborosan anggaran Negara. Alternatifnya memberikan perkuatan fungsi DPD atau DPD dihapus atau dikembalikan lagi pada system Utusan Daerah.

Sistem Presidensial
Sistem pemerintahan presidensial (UUD 45 pasal 4) sering dihadapkan  dengan system multi partai. Menurut studi kasus di Amerika latin, (1994) menyatakan bahwa presidensialisme yang diterapkan diatas konstruksi politik multi partai, cenderung melahirkan konflik antar lembaga presiden dengan parlemen, serta akan melahirkan demokrasi yg tidak stabil. Hal ini karena adanya dual legitimacy, dimana kedua lembaga tersebut sama-sama dipilih rakyat. Dari 31 negara didunia sejak tahun 1967-1992 yang dinilai stabil demokrasinya, tidak ada satupun yang menganut system presidensial berbasis multi partai ekstrim.

Maka berdasarkan hal tsb di Indonesia pada setiap lima tahun, menjelang Pemilu selalu dilakukan perubahan UU Pemilu dan Partai Politik,atau bongkar pasang UU  untuk merumuskan kembali system pemilu dan untuk “merampingkan” partai politik agar sinergi dengan system Presidensial. Dan hal ini senantiasa meramaikan opini public.dan tidak jarang menyita pemikiran bangsa hanya untuk berkutat masalah politik, dengan mengabaikan  permasalahan peningkatan kesejahteraan rakyat  Padahal pelembagaan system multi partai di Indonesia menurut pandangan kami, sulit untuk dihindari, karena ada tiga factor yang dominant, yaitu (a) tingginya tingkat pluralitas masyarakat (suku, ras, daerah dan agama), (b) sosiokultural masyarakat, (c) desain system pemilu (proporsional).

Untuk terciptanya efektifitas pemerintahan presidensiel, sebetulnya tidak terletak pada system multi partai yg sering dijadikan alasan  “penghambat”, akan tetapi sebetulnya banyak tergantung padakarekter presiden yg sedang berkuasa. Memiliki ketegasan dan kelugasan sikap ataukah penuh keraguan dan sering kompromistis. Atau dapat juga justru yg harus dirampingkan  adalah Fraksi di Parlemen, yaitu dg dibatasi jumlah fraksinya, bukan jumlah partai peserta pemilunya, agar demokrasi dan kebebasan berpartai tetap terjamin, proses politik lebih efisien dan stabil. Dengan konstruksi presidensiel seperti ini, maka proporsi politik presiden untuk mengurus kesejahteraan rakyat jauh lebih besar ketimbang disibukkan urusan negoisasi dengan partai politik.

Otonomi Daerah
Salah satu agenda reformasi adalah penyelenggaraan otonomi daerah, yg pada awal reformasi dirumuskan dalam UU 22 Tahun 1999. dengan memberikan kewenangan yang luas kepada daerah mencakup kewenangan dlm seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangn dlm bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal,  serta agama.

Otonomi yg pada hakekatnya adalah desentralisasi, khususnya dalam bidang politik dan ekonomi, dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran fungsi DPRD. Sehingga otonomi secara utuh berada di Kabupaten/Kota, sedangkan di Propinsi otonomi terbatas. Format otonomi seperti ini dalam perjalanannya melahirkan “power”daerah yang berlebih, sehingga memunculkan raja-raja kecil didaerah, bahkan terasa ada aroma federal dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya pendulum desentralisasi yang terlalu kekanan, kedaerah Kabupaten/Kota, ditarik ketengah, dengan dilakukannya perubahan UU No. 22 Tahun1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang pendulumnya cenderung terlalu kekanan, sentralisasi kembali. Format otonomi daerah menganut system “dua jenjang” di Kabupaten/Kota dan di Provinsi. Tarik menarik antara daerah Kabupaten/Kota dan Propinsi masih terus terjadi, bahkan kadang-kadang tumpang tindih. Kedepan perlu dirumuskan kembali format otonomi, yang tetap memberikan keluasan kewenangan kepada daerah dengan tidak menggoyahkan Negara kesatuan. Sebagai alternatif sebaiknya otonomi itu hanya satu jenjang bisa ditingkat propinsi atau ditingkat kabupaten-kota.

Disamping itu, ada juga otonomi khusus yaitu Propinsi Aceh dan Propinsi Papua dan Papua Barat, yg memiliki kekhususan aturan, yg berbeda dengan daerah-daerah lain walaupun tetap dlm NKRI.Namun bukan berarti tanpa permasalahan.

Pemilukada Langsung
Pemilihan kepala daerah bisa melalui dua cara, dipilih lewat lembaga perwakilan rakyat (DPRD) atau dipilih langsung oleh rakyat. Konstitusi kita tidak secara tegas menentukan cara pemilihan kepala daerah. Didalam UUD 45 hanya disebutkan “dipilih secara demokratis” (pasal 18 ayat 4).

Sejalan dengan semangat reformasi dengan agenda otonomi daerah yang salah satu perwujudannya adalah perkuatan fungsi dan wewenang DPRD, maka UU 22 Tahun 1999 menetapkan pilkada dipilih lewat DPRD. Akan tetapi selanjutnya terjadi distorsi pelaksanaan kewenangan DPRD sehingga Pilkada tidak lagi mencerminkan kehendak sejatinya dari masyarakat, hal ini karena telah terjadi “perselingkuhan” antara DPRD dengan calon kepala daerah dengan melakukan tindakan yg tidak terpuji yaitu suap dan money-politic.

Untuk menghindari politik uang dan keinginan agar semua pejabat public dipilih langsung oleh rakyat, maka Pilkada dialihkan pemilihannya dari DPRD ke “pasar bebas” yaitu langsung oleh rakyat. (UU 32 Tahun 2004) Akan tetapi rupanya sejak Pilkada dipilih langsung, politik uang bukannya dapat dihindari dan dihapus, akan tetapi justru semakin menyebar dan meluas keseluruh polosok masyarakat didaerah dimana Pilkada diselenggarakan. Bahkan sering juga terjadi konflik social yang melibatkan masyarakat secara luas. Dengan demikian demokrasi telah tercederai, dan Pilkada menjadi tidak efisien, penuh dengan kekerasan serta  menghabiskan uang Negara yang sangat besar.

Saatnya sekarang Pilkada dikembalikan ke DPRD, untuk menyelamatkan masyarakat dari kerusakan moral, kehancuran karekter, serta menjaga” keluhuran” esensi demokrasi, serta tetap terpeliharanya kehidpan social yang harmonis. Pilkada melalui DPRD sebetulnya hanyalah memindahkan ruang demokrasi, dari pasar bebas dimasyarakat, keruang DPRD. Kedua-duanya tetap demokratis, yang satu demokrasi langsung dan yang satunya lagi demokrasi perwakilan. Memang tidak menjamin bahwa pilkada melalui DPRD akan “bersih” dari politik uang, oleh karenanya menjadi tanggung jawab bersama, untuk mengawasinya secara ketat. Begitu dijumpai ada politik uang dan suap, maka saat itu juga calon kepala daerah didiskualifikasi, dan anggota DPRD yang bersangkutan dipecat (diganti antar waktu/PAW).

Hukum, Ekonomi, dan Administrasi Publik
Reformasi harus menyentuh berbagai aspek pembangunan. Pada dasarnya terdapat tiga aspek yang saling bertautan, sebagai aspek fundamental, yaitu aspek politik, hukum dan administrasi public, yang dalam istilah Dr. Sofian Effendi adalah administrasi pemerintahan. Menurut Dr. Sofian effendi (UGM) “kecenderungan system pemerintahan yang semakin demokratis, dan system ekonomi nasional yang bebas, memerlukan system administrasi pemerintahan yang berkapasitas tinggi, transparan dan akuntabel” (Reformasi tata kepemerintahan, Gajahmada University Press, Jogjakarta, 2010).

Reformasi birokrasi, reformasi administrasi pemerintahan dan Penegakan hukum serta pelaksanaan politik-ekonomi yg berbasis pada semangat kekeluargaan, diperlukan pembahasan secara khusus. Dan kami yakin banyak yang harus dievaluasi, dikaji, karena terdapatnya penyimpangan atau lepas dari tujuan strategis reformsi 1998.

Penutup
Reformasi yang jalan ditempat, apalagi  adanya penyimpangan arah reformasi, hal itu  tidak boleh terjadi. Reformasi harus terus berjalan, akan tetapi memerlukan arah dan konsep yang jelas menyeluruh dan berkesinambungan.Reformasi bisa gagal disebabkan dua hal, pertama deficit komitmen politik para penyelenggara Negara, dan kedua ketiadaan arah pertumbuhan reformasi yang jelas dalam satu cetak-biru yg disepakati semua komponen bangsa. Tahun 2014 Pemerintahan SBY-Boediono berahir. Kita memerlukan Reformasi jilid II sebagai kelanjutan, pengembangan dan pelurusan pelaksanaan Reformasi 1998.

*Penulis adalah Ketua Mahkamah Partai DPP PPP

Meneladani Peristiwa Fusi Partai Islam Menjadi PPP


 
Dalam dimensi sejarahnya nampak bahwa kelahiran partai politik berkaitan erat dengan proses perubahan sosial, politik, ekonomi dan budya dalam masyarakat.

Kehidupan kepartaian di Indonesia berakar pada sejarah sosial dan politik Indonesia di awal abad ke – 20 di kala bangsa Indonesia masih berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Sejarah mencatat bahwa Syarikat Islam (SI) merupakan cikal bakal partai politik yang telah menaburkan benih nasionalisme menjadi suatu negara Indonesia yang merdeka.

Oleh karena itu sejak zaman kolonial Belanda kekuatan politik Islam selalu muncul ke permukaan walaupun kadar dan bobotnya berbeda di setiap kurun waktu.

Dalam konteks Islam dan politik Indonesia sejarah juga menunjukkan dua kecenderungan yang menonjol, pertama partai-partai selalu bergelut dengan batang tubuhnya sendiri yang kunjung selesai. Kedua, partai-partai Islam relatif selalu terlibat dalam konflik dan konsensus dengan pihak pemerintah baik ketika zaman konolial Belanda dan Jepang maupun Indonesia. Dimana pada akhirnya pihak kekuatan partai Islam tunduk pada kendali politik pemerintah tersebut.

Walau pada suatu waktu partai Islam bisa mewarnai keputusan politik tanah air, tapi lebih sering menjadi objek politik yang fungsinya tidak lebih dari sekedar pelengkap penyerta bahkan hanya menjadi pelengkap penderita.

Ada peristiwa menarik yang patut diteladani oleh generasi muda Islam sekarang dan akan datang. Yaitu peristiwa ketika rezim Orde Baru melakukan restrukturisasi organisasi sosial politik yang menggerakkan sejumlah tokoh melakukan pendekatan untuk menyamakan persepsi dan mengadakan kesepakatan bersama.

Maka pada tanggal 5 Januari 1973 empat partai politik Islam yaitu, NU, Parmusi, PSII dan Perti bersepakat memfusikan kegiatan politiknya dalam suatu wadah. Keempat partai politik Islam tesebut masing diwakili oleh KH. DR. Idham Chalid (NU), HMS Mintaredja, SH (Parmusi), H. Anwar Tjokroaminoto (PSII), dan KH. Rusli Halil (Perti).

Dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab serta tekad untuk membina masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT telah sepakat untuk berfusi ke dalam satu wadah yang bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sejatinya peristiwa tersebut bisa diteladani sebagai sebuah amanah sejarah untuk melangkah dan melakukan konsolidasi organisasi agar PPP menjadi partai politik yang tangguh karena didasari dengan kebersamaan dan kekeluargaan serta komitmen pada nilai-nilai yang telah dikembangkan oleh pendahulu para pemimpin partai politik Islam yaitu, nilai-nilai keimanan, keadilan, kebenaran, kejujuran dan demokrasi.

Pemberian nama Partai Persatuan Pembangunan sendiri memiliki arti dan makna yang cukup memberikan harapan kepada bangsa Indonesia untuk bersatu dan melaksanakan pembangunan negara serta menyatukan persepsi dalam menyikapi berbagai masalah kenegaraan serta dalam menjalankan amanat UUD 1945.

Bahkan secara spesisifik pemakaian Ka’bah sebagai lambang partai juga memiliki dimensi spiritual sendiri bagi umat Islam Indonesia khususnya. Dengan memakai lambang Ka’bah para pendahulu pemimpin partai politik Islam seolah ingin mengatakan bahwa hanya dengan persatuan dan memohon rahmat Allah SWT sajalah segala tujuan dan cita-cita negara bisa direalisasikan.

Dengan satunya persepsi perjuangan dan cita cita maka tidak dikenal lagi konflik yang didasari interest pribadi atau golongan. Setiap personal PPP memiliki peran yang sama pada perjuangan partai dalam mewujudkan cita citanya, dan memiliki tanggungjawab yang sepadan dalam menegakkan prinsip-prinsip perjuangannya.

Melalui refleksi sejarah kelahiran PPP tersebut diharapkan PPP sekarang bisa melakukan konsolidasi internal secara empirik dan bukan sekedar slogan sejarah semata. Cita-cita para pendahulu yang menginginkan tumbuhnya kekuatan dari persatuan yang dibentuk harus selalu terpelihara melalui konsolidasi internal sehingga melahirkan langkah-langkah  strategis yang jitu untuk merebut masa depan PPP dan politik Islam di Indonesia.

Sumber: http://www.pppmajalengka.or.id/

Latar Historis PPP dan Pelembagaan Partai

Oleh: Isa Muchsin*

Dalam kurun waktu 40 tahun PPP masih eksis dalam kehidupan politik nasional di Indonesia, satu-satunya partai Islam yang dapat bertahan sejak 5 Januari 1973 sampai sekarang memasuki usianya yang ke 40 tahun. Dibandingkan dengan dua partai Islam yang pernah eksis ;  Masyumi (1945 -1960)  hanya bertahan 15 tahun, NU sebagai partai politik ( 1952 – 1973, sebelum fusi ke PPP ) bertahan hingga 21 tahun.

Sejarah kelahirannya di awal Orde Baru, PPP merupakan kelanjutan partai politik Islam yang menjadi peserta Pemilu 197. Menjelang pelantikan angota-anggota DPR RI hasil Pemiu 1971, Presiden Soeharto mengundang parpol-parpol dan Golkar ke Istana Merdeka, guna membicarakan masalah-masalah kenegaraan yang penting. Pertemuan terbatas berlansgung selama dua kali masing-masing tagl 6 dan 8 Oktober 1971. Dua forum ini membahas tiga maslah politik : Pertama masalah yang menyangkut hasil Pemilu 1971, yang meliputi pelantikan, pembagian fraksi  serta masalah voting. Gagasan pembentukan fraksi bersama muncul  ke permukaan sebagai salah satu agenda yang harus dipikirkan pihak kekuatan-kekuatan politik. Kedua masalah yang  berkaitan dengan pengelompokan politik, agar dtindak lanjuti kearah fedrasi partai-partai politik.

Pada tanggal 25 Oktober 1971 sekali lagi Presiden mengundang partai-partai Politik, Golkar dan ABRI, untuk membicarakan masalah-masalah Pimpinan DPR, Pimpinan fraksi-fraksi di DPR dan juru bicaranya. Mengenai Pimpinan DPR posisi yang sangat terhormat Presiden menguslkan agar diberikan kepada partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu 1971, yakni NU dan secara langsung Soeharto menunjuk Idham Cholid untuk menjadi Ketua MPR/DPR. Sedangkan untuk Wakil-wakil Ketua, Presiden mengusulkan adanya 4 wakil ketua yang mewakili empat fraksi di DPR, Fraksi ABRI Irjen (Pol) Domo Pratomo, Drs.Sumiskun mewakili Fraksi Golkar, Mh.Isnaeni mewakili kepentingan Kelompok Demokrasi Pembangunan ( cikal bakal Fraksi PDI ), J.Naro bertindak atas nama Kelompok Persatuan Pembanguan ( akhirnya menjadi Fraksi PPP ).

Partai-partai Islam kemudian merespon anjuran Soeharto itu dengan merancang kelahiran Kelompok Persatuan Islam. Dalam sebuah pertemuan  di rumah Ketua Umum PBNU KH.Idham Chalid, para pemimpin partai Islam tersebut menghasilkan sebuah rancangan tentang kelompok Persatuan Islam tersebut. Turut hadir dalam pertemuan tersebut adalah Kepala BAKIN Sutopo Juwono, rancangan naskah pembentukan Kelompok Persatuan Islam itu disampaikan kepada Soeharto. Pada prinsipnya  menyetujui rancangan itu, namun dia berpendapat bahwa kata Islam akan mengundang sikap antagonistis dari pihak lain.

Kegiatan politik untuk menggabungkan partai-partai Islam tetap berlansung kembali, seperti dilakukannya pertemuan pada bulan Desember 1972 oleh Ketua Umum Parmusi HMS.Mintaredja,SH selaku Menteri Sosial mengundang  para pimpinan partai politik Islam untuk merealisasikan penggabungkan partai-partai Islam kedalam sebuah kelompok, rapat juga  diselenggarakan di rumah Anwar Tjokroaminoto tokoh PSII Jl.Sisingamangaraja Kebayoran Baru Jakarta, dalam pertemuan itu tercetus usulan partai yang didirikan akan menggunakan lambang Ka’bah, hal ini disetujui oleh forum rapat dan kemudian pimpinan meminta KH.Bisri Syansuri untuk melakukan istikharah  terhadap usulan lambang dan gambar Ka’bah.  Mengenai masalah  nama partai setelah melakukan berbagai pertimbangan termasuk usulan pemerintah,  akhirnya pimpinan partai Islam itu mengubah nama Kelompk Persatuan Islam  menjadi Kelompok Persatuan Pembangunan.

Proses pembentukan  PPP, terhambat karena  adanya konflik dalam tubuh PSII, bahkan  dipicu adanya tandingan DPP PSII  terhadap  kepemimpinan M.CH.Ibrahim, memang dalam Kongrses PSII 1972 di Majalaya tidak mengambil keputusan tentang fusi politik partai, oleh karena itu kepemimpinan baru PSII mengambil kebijakan untuk menolak fusi partai-partai Islam.  Tindakan Pimpinan Pusat PSII akhirnya diambil alih oleh Team penyelamat PSII, yakni  H.Anwar Tjokroaminoto, M.A.Gani,  Th.Moh.Gobel, Syarifuddun Harahap, Barlianta Harahap salah satu alasan team penyelamat adalah menyelamatkan misi pemerintah Orde Baru  dimana proses penyederhanaan partai politik perlu didukung.

Setelah ada persetujuan dari semua pihak  dalam rapat tersebut akhirnya disepakati deklarasi fusi politik 4 partai Islam yaitu : Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Islam PERTI,  pada tangal 5 Januari 1973 / 30 Dzulqaidah 1392 H. Para deklator PPP adalah KH.Idham Cholid (NU), HMS.Mintaredja (Parmusi), H.Anwar Tjokroaminoto (PSII), Rusli Halil (Perti), dan KH.Masjkur (NU).

Untuk menjalankan roda organisasi maka di tingkat pusat dibentuk struktur DPP PPP yang terdiri dari Presiden Partai, Pimpinan Pusat, Majelis Pertimbangan dan Majelis Syuro, ditingkat DPW  terdiri dari Koordinator Wilayah dan Pimpinan Wilayah.

Problem kelembagaan partai ditemukenali sejak berdirinya PPP, dimana sejak berdiri 5 Januari 1973, baru terselenggara Sidang Dewan Partai I pada tangal 6-8 Nopember   1975 untuk merumuskan berbagai langkah menghadapi Pemilu 1977. Dengan berbagai intervensi pemerintah, PPP akhirnya menyelenggarakan Muktamar I Agustus tahun 1984 yang menetapkan Pancasila sebagai asas partai dan kemudian lambang Ka’bah diganti dengan Bintang dalam bingkai segi lima. Struktur kepengurusan diubah dengan menghilangkan lembaga Presiden Partai, dan Majleis Syuro. Dalam konteks inilah berbagai tokoh NU merasa kecewa dengan kepemimpinan J.Naro, dan berujung pada keputusan NU dalam Muktamarnya tahun 1984 menyatakan kembali ke Khithoh 1926, dengan tidak terikat pada partai politik manapun termasuk PPP.

Posisi PPP dalam setiap Pemilu semakin meredup, dan mengalami penurunan suara baik pada Pemilu 1982, (27,78%.) Pemilu 1987,( 15,96 % ) dan naik sedikit pada Pemilu 1992, (17,01 %). Sedangkan pada pemilu 1997 mengalami lkenaikan signifikan (22,43 %)  karena faktor Mega – Bintang. Muktamar II 1987 dan Muktamar III 1994, pelembagaan partai mulai ditata dengan perbaikan diberbagai bidang, seperti dibentuknya Wanita Persatuan untuk mengelola sumberdaya politik kaum perempuan, dibidang generasi muda dibentuk Generasi Muda Pembangunan  Indonesia, yang merupaka revitalisasi GMP dan GPK yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah Orde Baru, difungsikan kembali, dismaping itu didirikan AMK.

Dalam kurun waktu ini juga mulai disosialisasikan konsep Pola dan Sistem Pendidikan Kader, sekarang dikenal dengan Kaderisasi Berbasis Dapil.  Untuk melaksanakan program pemenangan pemilihan umum, dibetuk Lajnah Pemenangan Pemilu PPP ( LP4 ) yang sekarang diperbaharui menjadi LP2, bahkan untuk menjaring, menseleksi dan menetapkan calon Anggota DPRRI dan DPRD dibentuk lajnah khusus penetapan calon (LPC).

PPP merupakan partai yang memiliki akar sejarah panjang dalam pergerakan kebangsaan dan politik nasional. Hal ini tercermin dari empat parti politik Islam yang mengikuti Pemilu 1955 partai politik tersebut telah memiliki keanggotaan dan struktur partai diseluruh tanah air, dengan tradisi keislaman yang kuat dengan kategori Islam tradisional dan Islam modernis, sehingga nampak bahwa  PPP merupakan gerakan sosial politik Islam  yang terikat dalam wadah partai politik.

Greg Fealy membagi partai-partai  bercorak Islam kedalam kelompok (1) Formalist islamics Parties ( partai islam formalis ), partai-partai ini memperjuangkan nilai-nilai islam kedalam perundang-undangan dan kebijakan – kebijakan negara. Misalnya kelompok partai ini di Indonesia;  PPP, PBB, PKS. (2). Pluralis Islamic Parties ( partai islam pluralis ),  partai-partai demikian berusaha memperjuangkan nilai-nilai Islam kedalam konteks negara bangsa Indonesia yang plural, seperti PKB dan PAN. Meski demikian kategori ini dapat dipersempit lagi karena yang disebut kelompok Formalis Islamic Parties terdapat perbedaan-perbedaan, misalnya PPP lebih moderat dibandingkan dengan PKS dan PBB. Maka partai islam dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok: (1).Pluralist Islamic Parties yaitu PKB dan PAN, (2).Moderat Formalist Islamic Parties seperti PPP, dan (3).Radical Formalist Islamic Parties, yakni PKS dan PBB.

PPP Pasca Reformasi
Gerakan reformasi yang ditandai runtuhnya sistem politik Orde Baru dan mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998, kebebasan politik menjadi sangat terbuka. Berbagai tokoh politik Islam seperti  Abdurrahman Wahid Ketua Umum PBNU mendirikan PKB, Amin Rais Ketrua PP Muhammadiyah mendirikan PAN. Mereka telah mengambil basis konsituen tradisional PPP yakni warga NU dan Muhammadiyah. Demikian pula kalangan intelektual muslim seperti Hidayat Nur Wahid dan Nurmahmudi Ismail mendirikan Partai Keadilan yang selanjutnya menjadi PKS, Yusril Ihza Mahendra dan Hartono Mardjono mendirikan PBB, dan terakhir KH.Zainuddin MZ dan Jafar Badjeber menyatakan keluar dari PPP mendirikan PBR. Apabila dihitung secara keseluruhan ada 20 partai politik baru yang didirikan oleh aktivis PPP.

Kepemimpinan PPP di era reformasi sebenarnya memberikan pencerahan dan harapan bagi eksistensi PPP ditengah sistem multi partai. Harapan besar tersebut ditunjukan dengan kerja keras elite partai untuk ikut dalam pemerintahan, yang sejak Orde Baru tidak mendapat poisis terhormat, maka di era reformasi PPP menempati jabatan publik mulai dari posisi  menteri sampai menjadi Wakil Presiden, namun realitas politik tetap tidak sesuai dengan harapan masyarakat PPP, kita dapat melihat dan merasakan  pada setiap Pemilu sejak reformasi PPP selalu mengalami penurunan perolehan suara.

Agar dalam Pemilu 2014 PPP bisa melampaui ambang batas parlemen 3,5 % bahkan mencapai target 12 juta kader, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut ; (1), Penguatan kelembagaan partai dengan berfungsinya strukur partai dari pusat hingga ranting, (2), Thema sentral Rumah Besar Umat Islam, harus membumi secara praksis kedalam platform politik, program dan kinerja Fraksi PPP di palemen yang bersumber dari ideologi Islam, termasuk membuka diri dengan kekuatan-kekuatan Islam – Politik, (3) Merencanakan secara sistematis startegi pemenangan Pemliu, seperti metode dan model kampanye, kemasan partai yang modern, serta jaringan media yang kuat, (4) Rekrutmen caleg Anggota DPR dan DPRD yang memilik akar dan hubungan yang kuat dengan konsituen di daerah pemilihannya, (5) Meningkatkan kualitas SDM dan penokohan figur pemimpin partai baik ditingkat nasional maupun di daerah, (5) Adanya dana yang cukup dan membangun jaringan politik dengan kekuatan-kekuatan politik baik ditnigkat nasional dan internasional.

*Penulis adalah Wakil Sekretaris Jendral DPP PPP

Mungkinkah PPP Capreskan Ketua Umumnya?

14 Januari 2013


 Oleh: Joko Dwi Cahyana* 
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tengah mempersiapkan calon presiden dan wakil presiden yang akan didukung dalam pemilihan presiden 2014. Menteri Agama Suryadharma Ali salah satu yang diunggulkan menjadi calon presiden usungan PPP. Ketua Umum PPP tersebut mendapat dukungan kuat untuk maju menjadi calon presiden di 2014 oleh para pengasuh pondok pesantren se Indonesia. Karena dia dinilai kaya pengalaman dan kepemimpinan serta memiliki sikap tegas dan paham terhadap karakteristik umat Islam serta umat agama lain di Indonesia.

Hingga kini, PPP masih merupakan koalisi pendukung pemerintahan SBY – Boediono. Partai Persatuan Pembangunan akan membahas calon presiden 2014 di Musyawarah Kerja Nasional Partai Persatuan Pembangunan 2013. ada dua agenda utama mukernas kali ini. yaitu, melakukan pembahasan mengenai program strategis partai yang baru diluncurkan. Kemudian, membahas strategi agar PPP menangkan pemilihan umum dan pemilihan presiden 2014.

Berdasarkan survey beberapa nama yang dinilai pantas untuk diusung menjadi calon presiden pada pemilihan presiden 2014. Nama - nama tersebut berasal dari internal dan dari eksternal partai. Untuk internal, Ketua Umum PPP, Suryadharma Ali masih mendominasi pilihan kader. Sedangkan untuk tokoh dari eksternal, rata - rata nama yang masuk yaitu mereka yang masih dan sudah mendapat dukungan dari partai - partai lain. Antara lain, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, dan Hatta Rajasa.

Partai berlambang Kabah ini memprioritaskan mengusung Suryadharma Ali menjadi calon presiden pada Pemilihan Presiden 2014. Untuk mempersiapkan itu, saat ini DPP PPP telah membentuk Lembaga Pemenangan Pemilu Presiden yang dikomandani oleh Bapak Lukman Hakim Saefudin. Menurut Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu PPP bahwa partainya akan lebih berkonsentrasi memenangkan pemilu legislatif 2014 daripada buru-buru menetapkan calon presiden - wakil presiden yang akan diusung partai itu.

Saat ini PPP memantau sejumlah nama yang potensial untuk dijadikan kandidat calon presiden – wakil presiden yang akan diusung di Pemilihan presiden 2014 mendatang. Nama - nama yang dipantau itu antara lain Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua MK Mahfud MD, Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Khofifah indar Parawansa, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, hingga Ketua Umum PPP Suryadharma Ali. Sambil memenuhi syarat raihan suara pemiilihan umum seperti  dinyatakan dalam Undang – Undang Pemilihan Presiden. PPP konsentrasi memenangkan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Sementara itu, Ketua DPC PPP Kabupaten Pekalongan mengatakan bahwa dirinya belum mengetahui persis apakah mantan menteri koperasi dan UKM itu mau maju pada Pilpres 2014 karena hingga kini belum ada keputusan resmi dariparta berlambang Kabah itu.
Sehubungan dengan hal ini Ketua Umum PPP Suryadharma Ali menuturkan partainya sangat terbuka mengusung siapa pun menjadi capres atau cawapres. Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan Syaifullah Tamliha menegaskan Surya­dharma Ali merupakan figur utama capres PPP untuk Pemilihan Presiden 2014. Ma­yo­ritas PPP menginginkan Pak Suryadharma men­jadi calon presiden.

Sekretaris Jenderal PPP Romahurmuziy menyatakan partainya akan berupaya keras mendongkrak nama Suryadharma. Menurut Romi, panggilan Romahurmuziy, upaya mendongkrak nama Suryadharma juga akan dilakukan melalui publikasi di media massa. Belakangan Menteri Agama itu kian sering tampil di media massa, terutama televisi. PPP juga sudah melakukan survei internal untuk melihat elektabilitas Suryadharma sebagai calon presiden. Partai Persatuan Pembangunan saatnya membuka pintu lebar-lebar mengusung calon presiden dalam Pemilu 2014 dari kalangan muda mampu memimpin bangsa.

Masukan itu disampaikan oleh politisi senior yang pernah menjabat Ketua Dewan Pertimbang PPP Bachtiar Chamsyah menegaskan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali mengubur obesinya menjadi capres dari PPP. Mantan Menteri Sosial ini mengakui, untuk menyiasati partai Islam tetap memiliki fans pada Pemilu 2014, mau tidak mau menggaet harus kalangan muda. Pasalnya, banyak kalangan muda yang dikenal publik selama ini yang mampu memimpin negeri ini.

*Joko Dwi Cahyana (Kompasianer, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta)

Pilgub oleh DPRD Ancam Daulat Rakyat

07 Agustus 2012


Oleh: Sabam Leo Batubara*

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, atas nama Pemerintah RI, telah menyampaikan RUU Pemilihan Kepala Daerah ke DPR.Isinya,gubernur nantinya tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, tapi oleh DPRD.

Menurut Mendagri, perubahan itu akan meminimalkan korupsi dan konflik seusai pemilihan. Usul perubahan itu disambut oleh jaringan pendukungnya. Dalam pembahasan RUU Pilkada di Komisi II DPR (6 Juli 2012) usulperubahan–gubernur kembali dipilih oleh DPRD– didukung oleh Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI),Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI),Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI),

Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI), dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI). Bahkan ADKASI mengusulkan agar seluruh jenjang mulai dari gubernur hingga bupati/wali kota tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, tapi oleh DPRD.Diperkirakan 560 anggota DPR akan menyetujui RUU Pilkada tersebut dengan segera, karena akan memperkuat kekuasaan oligarki anggota Dewan dan parpol pengusungnya.

Tolak Tirani Penguasa
Kenapa rencana Mendagri itu harus ditolak? Pertama, karena bertentangan dengan keinginan rakyat atas perubahan. Konflik tentang siapa yang berdaulat dalam penyelenggaraan negara sudah terjadi sejak lama. Kendati menurut UUD 1945 kedaulatan berada di tangan rakyat, tapi di era Orde Lama dan Orde Baru dalam pemilihan presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah yang berdaulatadalahpenguasa rezim.

Rakyat hanya ditempatkan sekadar bystander,bahkan sekadar burung beo yang harus mengamini semua penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa. Hasilnya, rakyat menderita dan penguasa rezim terpuruk. Tumbangnya rezim Orde Baru mendorong kebangkitan rakyat menuntut perubahan, agar kebijakan penguasa rezim yang membodohi rakyat diakhiri.

Gerakan reformasi merespons. Amendemen konstitusi dalam berbagai pasal mereduksi kekuasaan legislatif dan eksekutif dan memperkuat kedaulatan rakyat.Undang-undang turunannya menetapkan sejak 2004 pemilu legislatif langsung oleh rakyat dan pemilihan presiden juga langsung oleh rakyat. Berdasarkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dan berlaku efektif sejak 1 Juni 2005.

Kenapa kedaulatan rakyat untuk dapat memilih langsung siapa gubernur di daerahnya baru berjalan tujuh tahun sudah harus dicabut? Tidakkah hal itu isyarat berahi tirani eksekutif dan tirani legislatif masih merupakan bahaya laten? Kedua, langkah mundur Mendagri tersebut jika tidak dapat dihentikan bukan tidak mungkin menjadi langkah awal kembali ke paradigma rezim Orde Baru.

Langkah berikutnya bupati dan wali kota kembali dipilih oleh DPRD. Karena elite bangsa kita dikenal tidak bertradisi menaati sistem dan negara terkesan diselenggarakan tanpa kepastian politik dan hukum, DPR/ MPR dapat saja mengamendemen konstitusi agar presiden kembali dipilih MPR. Ketiga, konsep gubernur dipilih DPRD akan kembali menempatkan rakyat sekadar “burung beo”.Apa yang terjadi dengan Pilkada DKI Jakarta 11 Juli 2012 menjadi pelajaran berharga.

Dibolehkannya calon independen oleh undangundang memberi kesempatan bagi Faisal Basri-Biem Benjamin— tokoh yang dikenal sebagai jujur, bersih, memiliki integritas dan outspoken—memaksa partai-partai politik untuk dapat mengalahkan calon incumbent Fauzi Bowo merekrut calonnya yang terbaik.PKS mencalonkan Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini. Golkar, PPP,PDS menjagokan Alex Noerdin-Nono Sampono.

PDIP, Gerindra mencalonkan Joko Widodo-Basuki Tjahaja. Menjelang hari pemilihan 11 Juli, lima lembaga survei Indo Barometer,Sugeng Sarjadi School of Government,Lingkaran Survei Indonesia, Puskaptis dan Jaringan Suara Indonesia merilis hasil surveinya, Foke- Nara akan memenangkan suara pemilih, masing-masing sebesar 36,6%,26,6%,43,7%,47,2% dan 49,6%.Sementara Jokowi- Ahok akan meraih masingmasing 17,9%, 25,5%, 14,4%, 15,2% dan 15,8%.

Terpengaruh oleh hasil survei itu Foke-Nara yakin akan menang dalam satu putaran pemilihan. Namun,warga Jakarta berhasil mempertontonkan perubahan. Mereka terbukti telah matang dan fair.Pemilih tampil cerdas.Ketika quick count merilis hasil pemilihan: Jokowi- Ahok meraih 42,59% suara, Foke-Nara 34,32%, Hidayat- Didik 11,40%,Faisal-Benjamin 5, 07%, Alex-Nono 4,74% dan Hendardji-Riza 1,88%. Pemilihan usai dan sama sekali tidak ada sengketa.

Kendati, hasil survei lima lembaga survei terkesan pro Foke, iklan kampanye Foke dan Alex mendominasi, dan Jokowi-Ahok diberondong black-campaign ber-muatan SARA,ternyata 43% rakyat pemilih percaya bahwa performa Jokowi-Ahok sebagai “bature”rakyat akan membawa Jakarta menuju perubahan yang lebih baik. Keempat, usul perubahan pemerintah tersebut berpotensi menyentralisasikan korupsi. Pilkada tidak dapat dimungkiri berbiaya besar.

Misalnya, pemilihan Gubernur Jateng Mei 2013 bersumber APBD menganggarkan Rp900 miliar. Biaya seorang calon gubernur ditaksir antara Rp10 miliar-100 miliar.Sisi negatif dari pemilihan gubernur seperti itu selain menghabiskan triliunan rupiah juga menimbulkan ekses seperti jual beli suara, dan mendorong korupsi.

Untuk mengembalikan pinjaman calon gubernur terpilih terpaksa menenderkan jabatan dan meminta komisi dari proyek-proyek yang ada. Segi positifnya, sebagian besar dana tersebut terdistribusi merata untuk pembuatan kartu pemilih, pembelian kertas suara, kotak suara, tinta, biaya transportasi, tim sukses, sukarelawan, lembaga survei, iklan kampanye di media massa dan media luar ruang seperti baliho,spanduk,stiker, dan honor untuk peserta talkshows di media televisi dan radio, bantuan untuk lembaga agama dan sosial lainnya.

Segi positif lainnya yang tidak boleh dilupakan, dana besar itu juga bagian dari biaya politik untuk mengedukasi para politisi untuk menjadi bersih,fairdan matang berdemokrasi, dan membantu pencerdasan warga untuk semakin cerdas menggunakan hak-hak sipilnya. Apa sisi positif dan negatifnya jika gubernur dipilih DPRD? Positifnya, biaya dari triliunan rupiah dapat ditekan menjadi misalnya Rp300 miliar.

Semua puluhan kegiatan seperti dikemukakan di atas tidak diperlukan lagi. Urusan pemilihan hanya melibatkan 9 parpol dan fraksinya di DPRD. Negatifnya,dana Rp300 miliar tersebut cukup dibagikan kepada 50% anggota DPRD masing-masing sebesar Rp2 miliar dan sisanya sekitar Rp200 miliar menjadi biaya rental kepada beberapa parpol pengusung.

Sejarah pasti akan berulang kembali. Pemilihan presiden, anggota legislatif dan kepala daerah di era Orde Baru berbiaya minim, efisien dan efektif.Korupsi terkonsentrasi di pusat-pusat kekuasaan. Akhirnya penguasa rezim tumbang, setelah rakyat terlebih dulu marah, mengamuk dan membakar.Apa daur (sequence) seperti itu yang diinginkan?

Referendum
Dari uraian di atas tersimpul sebagai berikut. Jika pemerintah dan DPR ingin meminimalkan korupsi dalam penyelenggaraan pilkada dan meniadakan terjadinya sengketa usai pemilihan, apakah solusinya harus dengan mencabut kedaulatan rakyat untuk memilih langsung gubernurnya? Atau justru memberdayakan penyelenggaraan pilkada gubernur langsung dipilih rakyat dengan membantu rakyat agar semakin cerdas menggunakan hak-hak sipilnya dan mengedukasi para politisi untuk tampil matang, fair, dan bersih?

Prestasi DKI Jakarta dalam Pilkada 11 Juli 2012 yang menampilkan semua parpol dan enam pasang calon gubernur dan wakilnya bersikap matang dan fair,dan warga pemilih tampil cerdas,serta usai pemilihan sama sekali tanpa sengketa, semestinya menjadi contoh untuk diteladani, bukan untuk dinegasikan.

Namun, kalau pemerintah dan DPR masih ngotot agar gubernur dipilih DPRD dan tidak lagi langsung oleh rakyat,maka berdasarkan paradigma demokrasi semestinya pemerintah dan DPR langsung meminta kekuasaan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam suatu referendum.Tanpa itu, putusan pemerintah dan DPR bahwa gubernur kembali dipilih DPRD adalah langkah awal menuju tirani eksekutif dan tirani legislatif. (Sumber: Seputar Indonesia, 2 Agustus 2012).

*Penulis adalah wartawan senior.

Hakikat Sekularisme dan Bahayanya

05 Agustus 2012


Sekularisme yang dalam bahasa Arabnya dikenal “al-’Ilmaniyyah”, diambil dari kata ilmu. Konon, secara mafhum, ia bermaksud mengangkat martabat ilmu. Dalam hal ini tentu tidak bertentangan dengan paham Islam yang juga menjadikan ilmu sebagai satu perkara penting manusia.

Bahkan, sejak awal, Islam menganjurkan untuk memuliakan ilmu. Tetapi sebenarnya, penerjemahan kata sekular kepada “al-’Ilmaniyyah” hanyalah tipu daya yang berlindung di balik slogan ilmu.

Sebenarnya makna tersirat bagi sekular adalah “al-Ladiniyah” yakni tanpa agama atau “al-Laaqidah” yakni tanpa aqidah.

Menurut seorang tokoh pemikir Islam Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawi, dalam tulisannya tentang sekularisme, pernah menyebutkan bahwa Istilah “al-’Ilmaniyyah” dipilih untuk mengelabui mata umat Islam agar menerimanya kerana jika digunakan istilah “al-Ladiniyyah” atau “al-La’aqidah“, sudah pasti umat Islam akan menolaknya. Sebab itulah kita merasakan betapa jahatnya penterjemahan sekular kepada istilah “al-’Ilmaniyyah” dengan tujuan mengelabui mata dan betapa jahatnya golongan ini yang ingin menutup perbuatan mereka tanpa diketahui oleh kebanyakan orang.

Bagi anak didik sistem sekular, mereka tidak malu-malu menerima dan mati-matian mendukungnya kerana mereka memang telah diprogramkan untuk menyebarkan paham sekularisme. Namun bagi ulama-ulama Islam yang faham hakikat kebenaran Islam, mereka mati-matian pula menentang penyebaran fahaman ini yang jelas bertentangan dengan hakikat Islam. Jadi sudah tentu berlaku satu pertempuran antara pendukung sekularisme dan ulama-ulama Islam dalam mempertahankan “hakikat” masing-masing.

Sekularisme antara Timur dan Barat
Tidak mengherankan jika Paham sekularisme mendapat tempat di Barat. Ini bermula dari pengekangan gereja dan tindakannya menyekat pintu pemikiran dan penemuan sains. Ia bertindak ganas dengan menguasai akal dan hati manusia, dengan arti kata lain segala keputusan adalah di tangan pihak gereja dengan mengambil kesempatan mengeruk keuntungan dari pengikutnya dengan cara yang salah.

Eropa pernah tenggelam dengan darah mangsa-mangsa pihak gereja ketika ratusan bahkan ribuan orang mati di dalam penjara dan di tali gantung. Dengan sebab ini berlakulah pertempuran antara gereja dan sains yang akhirnya tegaklah paham sekularisme yang berarti “memisahkan agama (Kristen) dari negara”. Suasana kacau balau dalam agama Kristen hasil penyelewengan yang terjadi didalamnya (ia hasil dari perencanaan yahudi) memungkinkan tegaknya faham sekularisme di samping agama Kristen yang sudah ada.

Sekularisme disebarkan untuk keluar dari kungkungan gereja yang begitu mengekang pengikutnya. Masyarakat Eropa tertekan dan dizalimi di bawah pemerintahan gereja. Bagi pejuang sekular, mereka menganggap dengan berada di bawah kuasa gereja mereka tidak akan mencapai kemajuan. Sebab itulah mereka memutuskan tali ikatan diri mereka dengan gereja dan menjadi orang yang beragama Kristen hanya pada nama tidak pada pengamalan agama.

Sekularisme adalah suatu kepercayaan atau fahaman yang menganggap bahwa urusan keagamaan atau ketuhanan atau gereja tidak boleh dicampurkan dengan urusan negara, politik dan pemerintahan. Ringkasnya sekularisme adalah satu paham yang memisahkan antara urusan agama dan kehidupan dunia seperti politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Yang jelas menurut paham sekular, soal bernegara, berpolitik, berekonomi dan sebagainya tidak ada kaitan dengan soal agama atau gereja.

Apabila paham sekularisme ingin dipindakan dari Barat ke Timur, golongan ini tidak menyadari (secara sengaja atau tidak) suasana di Timur yang berpegang kuat dengan agama Islam. Sudah pasti ia tidak sekali-kali merelakan pemisahan agama (Islam) dari negara. Keadaan dalam Islam tidak sama dengan apa yang terjadi dalam Kristen di mana sepanjang sejarah Islam tidak ada penzaliman terhadap penganutnya. Begitu juga Islam tidak membenarkan pemisahan agama (Islam) dari negara karena negara dengan fiqh Islam adalah bukan dua perkara yang berasingan. Dalam Islam, agama tidak mungkin tegak dengan sempurna tanpa negara yang akan menguatkan undang-undang agama. Dan tidak mungkin negara tegak dengan baik jika tidak ada agama yang memandunya.

Hasan Al Banna dalam “Majmu’ah Rasa’il” menegaskan bahwa Islam merupakan sistem sempurna yang merangkum urusan kehidupan manusia semuanya. Ia merangkum negara, kerajaan, rakyat, akidah, syariat, akhlak, ekonomi, keadilan, undang-undang, ilmu, jihad, dakwah, kemiliteran dan lain-lain. Pendek kata tidak ada perkara yang dibiarkan melainkan Islam merangkumnya. Al-Quran sendiri telah menggariskan beberapa dasar umum untuk umat Islam dalam memandu kehidupan mereka. Sebagai contoh dalam bidang akidah (lihat surah Ali Imran ayat 19), bidang ibadat (lihat surah Al Baqarah ayat 43), bidang sosial (lihat surah Al-Baqarah ayat 188), bidang politik (lihat surah Saba’ ayat 15), bidang undang-undang pepemerintahan (lihat surah Al-Nisa’ ayat 59) dan juga bidang-bidang yang lain.

Islam sama sekali tidak bisa membenarkan penyebaran paham sekularisme disampingnya dengan berbagi tugas antara keduanya yaitu, Islam hanya berfungsi di dalam urusan akidah dan sekularisme pula berfungsi di dalam urusan syariat.

Perkara ini tidak mungkin terjadi kerana Islam merupakan satu agama yang terkandung di dalamnya akidah dan syariat sekaligus dan ia tidak membenarkan pemisahan ini sebagaimana Islam tidak membenarkan tuhan-tuhan lain ditaati dalam bidang syariah seperti ditaatinya Allah dalam bidang akidah. Allah telah menegaskan dalam Al Quran bahwa agama yang diridhai-Nya hanyalah Islam. Firman-Nya yang artinya, “Sesung-guhnya al-Din (agama) yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam”, (QS. Ali Imran: 19).

Jadi untuk menyamakan Islam dengan agama Kristen dan usaha memasukkan pa-ham sekular ke dalam Islam adalah satu kesalahan dan musibah yang besar. Islam tidak seperti kristen, karena Islam datang dari Pencipta manusia yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia selamat dari cacat dan cela. Sedangkan kristen, pada asalnya, agama tauhid tetapi telah diselewengkan oleh para tokoh agamanya untuk kepentingan mereka.

Sekularisme bukan berasal dari Islam dan Islam berlepas tangan dari paham kufur ini dan tidak ada hubungan dengannya. Siapa saja dari umat Islam yang mengagungkan sekularisme untuk memperoleh kemajuan dengan tidak perlu beramal dengan Islam maka sangat membahayakan akidahnya.

Sekularisme bukan hanya sekadar berpandangan “politik satu suku dan agama suku lain” tetapi dengan menyempitkan ruang lingkup agama, itu juga termasuk dalam sekularisme seperti beramal dengan Islam secara separuh. Apa yang memberi keuntungan dan kemudahan diterima. Namun, manakala mendatangkan kesusahan ditolak. Sebab itulah perbuatan ini dicela oleh Allah melalui firman-Nya yang artinya, “adakah kamu percaya (beriman) kepada sebahagian kandungan Kitab (al-Quran) dan ingkar akan sebahagiannya?” (QS. Al-Baqarah: 85)

Sebaliknya Allah memerintahkan agar menerima Islam secara keseluruhannya melalui firmanNya yang arti-nya, “wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam keseluruhannya”. (QS. Al-Baqarah: 208)

Politik Itu Persepsi, Bung!


Oleh: H. Ison Basyuni*

Apa yang saya maksud dengan “Politik itu Persepsi” di sini  adalah bahwa berbagai pandangan, pendapat, serta sepak terjang para tokoh PPP selama ini akan membentuk persepsi politik seseorang tehadap apa – siapa – dan bagaimana PPP. Persepsi adalah proses seseorang dalam menyerap dan mengetahui sejumlah hal menegenai PPP melalui apa yang selama ini didengar, dilihat, dan diamati. Karena itu, bagaimana seseorang mempersepsikan tentang PPP, tentu saja  akan sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak dan berkualitas  informasi yang didapatkan mengenai PPP. Keterbatasan atau bahkan ketiadaan informasi yang diterima  akan membuat seseorang tidak mampu mempersepsikan tentang PPP secara benar dan lengkap.Di sinilah letak soalnya: Bahwa kelengkapan bangunan informasi mengenai PPP itu  –  tentu saja –  sangatlah ditentukan oleh kapasitas dan kapabilitas para elit  partai dalam mengomunikasikan dan menyebarserapkan gagasan-gagasan serta nilai-nilai partai ke tengah masyarakat luas, dalam menyuarakan dan mendesakkan kepentingan masyarakat, dan termasuk dalam bersikap dan perilaku di tengah pergaulan hidup  bermasyarakat.

Untuk itu, maka tidaklah berlebihan jika para elit partai dituntut untuk mampu  memahami dan menghayati benar berbagai seluk-beluk partai, visi – misi dan program perjuangan partai,  karena merekalah sesungguhnya sosok orang-orang  yang telah teruji dalam mengalami proses tempaan pergaulan berpartai;  dan bukan orang-orang baru yang sekonyong-konyong dimunculkan dari tempat lain dengan harapan dapat berperan banyak  seperti  “dukun tiban”. Elit partai adalah”etalase”partai yang menjadi cerminan partai di mana masyarakat dapat memberikan penilaian dan mempersepsikan tentang apa dan bagaimana  sesungguhnya partai itu. Mereka adalah para penggiat,  pengurus, serta anggota legislatif atau eksekutif dari partai bersangkutan baik di level daerah maupun pusat yang sangat berperan dalam  memberikan corak dan guidance ke a rah mana partai akan dibawa dan menjadi penentu atas  maju-mundurnya partai.

Analisis SWOT
Persepsi masyarakat terhadap partai ini penting kita  tangkap dan fahami agar selanjutnya kita mampu melakukan berbagai upaya  penataan dan pengembangan untuk merubah atau memperluas persepsi masyarakat  serta meningkatkan kinerja partai.  Karena itulah, saya kira, kenapa Ketua Umum DPP PPP —  Pak Suryadharma Ali dalam Pidato Pengarahannya pada Pleno I DPP PPP di sebuah hotel di Ancol, Jakarta,  21 Oktober lalu menegaskan mengenai pentingnya kita  dapat membuat  Analisis SWOT terhadap PPP. SWOT  adalah  suatu metodologi analisa yang dilakukan melalui cara memotret  dan mengupas  sisi-sisi S – Strengths (Kekuatan2 yang dimiliki), W – Weaknesses (Kelemahan2 yang ada), O – Opportunities (Peluang2yang dimungkinkan), dan T  -  Threats (Ancaman2 yang dihadapi) Partai Persatuan Pembangunan.

Pelaksanaan analisis SWOT tentu saja tidak cukup hanya melibatkan para elit partai baik di tingkat pusat maupun wilayah/cabang, akan tetapi justru penting melibatkan berbagai kalangan secara berkelompok: pemilih pemula, kalangan pemuda, petani, ibu-ibu anggota majlis ta’lim, para ustadz, pedagang pasar, dan sebagainya. Pelibatan  berbagai unsur secara berkelompok ini penting agar pandangan-pandangan  atau persepsi masyarakat terhadap PPP yang kita jaring melalui pendekatan SWOT ini dapat kita peroleh secara lebih komprehensif. Dan, dari hasil SWOT inilah selanjutnya  diharapkan bisa  diolah menjadi  masukan untuk bahan perumusan program dan kegiatan pengembangan partai.

Kaderisasi
Akan halnya kaderisasi, menurut hemat saya, pasti semua fihak sepakat bahwa kaderisasi merupakan program penting  yang tak bisa diabaikan oleh partai politik. Rumusan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1985 menyebutkan bahwa kader adalah orang yang diharapkan akan memegang peran yang penting di partai. Sementara dalam Agendan dan Strategi Perjuangan PPP (Muktamar VII) ditegaskan bahwa “Kaderisasi dalam partai adalah salah satu aktivitas utama yang menandakan kelanjutan kehidupan partai”. …… “Tanpa kaderisasi, partai bagaikan organisme yang sulit untuk bernafas apalagi untuk berproduksi”.

Demikian strategisnya peran kader dalam partai, maka Pak Suryadharma Ali memberi “judul” Pidato Pengarahannya pada Pleno I  DPP PPP seperti tersebut di atas  adalah “Konsolidasi Menuju 12 Juta Kader 2014”. Bahwa salah satu langkah Pemenangan PPP dalam Pemilu 2014 adalah dengan menyiapkan Kader Pemberdayaan Desa sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) kali lipat dari jumlah TPS.  Tentu, ini merupakan tugas partai yang sangat menantang, yang  — tidak saja membutuhkan kejelasan peran dan koordinasi masing-masing pihak dari tingkat ranting sampai pusat  –  akan tetapi juga pengerahan sumberdaya yang sangat  besar !

Meskipun kita tengah menyiapkan kader dalam jumlah yang sangat besar,  hal penting lain yang tak bisa diabaikan adalah bagaimana pengembangan persepsi masyarakat terhadap PPP oleh para elit partai sebagaimana diuraikan di atas juga terus dilakukan. Termasuk dalam kaitan ini adalah bagaimana kita dapat merawat para kader dan tokoh PPP yang telah kita miliki, sehingga di satu sisi kita tidak hanya larut dalam kegiatan-kegiatan penyiapan kader baru, tapi di sisi lain luput dalam memberikan perhatian terhadap kader-kader yang lama yang barangkali persepsi mereka terhadap partai pun sudah berubah.

*Ketua Lembaga Pendidikan dan Latihan (Diklat) DPP PPP (2011 – 2015)
Baca lainnya »
Baca lainnya »
 

© Copyright 2008-2013 DPC PPP Kabupaten Tegal | Design by Eko Mahendra Ridho | Powered by Blogger.com.