Hamzah Haz, politisi kelahiran
Ketapang, Kalimantan Barat, 15 Februari 1940, memulai karir politiknya pada
1967. Hamzah menjadi anggota DPRD mewakili mahasiswa dan Angkatan 66.
Ketika memenangi pemungutan suara
dalam pemilihan Ketua DPRD Kalimantan Barat. Dia ditolak menduduki kursi ketua
DPRD oleh Amir Machmud, Menteri Dalam Negeri. Amir Machmud berkehendak agar
yang menduduki posisi itu wakil dari ABRI, bukan Hamzah yang berlatar belakang
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Nahdlatul Ulama (NU).
Kebuntuan mewarnai kepemimpinan
DPRD Kalbar. Akhirnya dilontarkan jalan keluar, Hamzah bisa duduk di jajaran kepemimpinan
DPRD bila Wakil Ketua DPRD yang berasal dari unsur Partai NU ditarik. Hamzah
menolak dengan tegas gagasan itu. Menurutnya itu menohok kawan seiring, seperti
yang dituturkannya dalam biografi Hamzah Haz: Konsistensi dan Integritas Perjuangan di Bawah Panji-panji Ka’bah.
Tidak hanya itu, Hamzah bahkan
harus merelakan posisinya sebagai anggota DPRD Kalbar karena dipaksa oleh
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 12/1971 tentang Pemurnian Golongan Karya,
yang meminta agar wakil Angkatan 66 masuk Golkar atau berhenti sebagai wakil
rakyat. Hamzah memilih berhenti dan memilih NU daripada masuk Golkar.
Hamzah memang telah menambatkan
hatinya kepada NU, sejak awal karirnya di kancah organisasi dan politik.
Meskipun dia berseberangan dengan ayahnya, H. Abdullah Ahmad, aktivis Partai
Masyumi dan pengurus Parmusi Cabang Ketapang, Kalimantan Barat.
Jejaknya menapaki karir politik
bermula dari kiprahnya mendirikan PMII Komisariat Akademi Koperasi Negara di
Yogyakarta, dan sekaligus menjadi ketua umum pertamanya, saat dia menjadi
mahasiswa di sana.
Kiprahnya dalam organisasi
mahasiswa yang berafiliasi dengan NU ini berlanjut. Dia kemudian menjadi Ketua
Koordinator Cabang PMII Kalbar, lalu menjadi Sekretaris NU Cabang Ketapang,
Kalbar, saat usianya baru menginjak 20 tahun. Dalam usia itu dia menjadi Wakil
Ketua NU Cabang Ketapang, berlanjut menjadi Wakil Ketua Tanfidziah PWNU Kalbar.
Di luar komunitas NU, Hamzah muda menjadi Ketua Presidium Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) Kalbar.
Langkahnya tidak berhenti hanya
di wilayah Kalbar. Pada 1971 Hamzah mulai memasuki Gedung DPR Senayan, Jakarta,
mewakili Partai NU dari daerah pemilihan Kalbar. Saat itu usianya baru menapak
bilangan 30 tahun. Menurutnya dengan kemampuan tak sebanding dengan tokoh-tokoh
anggota DPR lainnya, dia merasa seperti rusa masuk kampung.
Ketika pemerintah Orde Baru
melakukan konsolidasi sistem sosial dan politik dengan, antara lain, melakukan
penyederhanaan partai politik melalui fusi partai, maka NU bersama tiga partai
Islam lainnya, PSII, Perti, dan Parmusi melakukan fusi menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) pada 5 Juli 1973. Hamzah pun menjadi bagian dari PPP. Dan,
sejak saat itu namanya tidak pernah absen dari daftar anggota legislatif dari
PPP.
Selama 29 tahun Hamzah berkiprah
di DPR, mulai dari menjadi anggota biasa, Ketua Fraksi PPP DPR, hingga menjadi
Wakil Ketua DPR 1999. Perjalanan pun mengantarkannya menjadi Wakil Presiden RI,
melalui pemungutan suara dalam Sidang Istimewa MPR 2001.
Seiring dengan itu, perjalanannya
di kepengurusan partai pun mendaki anak tangga demi anak tangga, hingga pada
Muktamar PPP 1998, Hamzah dinobatkan menjadi Ketua Umum DPP PPP, dan posisi itu
kembali dipercayakan kepadanya pada Muktamar PPP 2003.
Menyimak perjalanannya, tidak
berlebihan kiranya bila Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Azyumardi Azra menyebut Hamzah adalah old crack politician (politisi
kawakan). Politisi yang sudah lama malang melintang dalam kancah pergumulan
politik Indonesia. Tidak hanya itu, Hamzah adalah politician par excellence
karena perhatian, wacana, kiprah, dan kesehariannya terkait dengan politik.
Hamzah menjadi satu dari sedikit
gambar tentang bagaimana seharusnya karir politik ditempuh bagi mereka yang
berminat menjadi politisi karir, yaitu merangkak dari tangga terbawah hingga
mencapai tingkat karir tertinggi. Bukan politisi dadakan, yang secara instan
bertransformasi dari kiai menjadi politisi, atau dari ilmuwan menjadi politisi,
atau dari artis menjadi politisi.
Sepanjang merintis karir sebagai
anggota DPR, dia memiliki kemampuan yang spesifik. Dia menekuni seluk-beluk
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan segala kerumitan yang
menyertainya. Dan, dia terbukti berhasil dalam hal ini sehingga rekan-rekannya
di DPR maupun pers ketika itu menjulukinya ‘Ayatullah APBN’.
Tidak hanya sangat paham, Hamzah
juga dapat menyosialisasikan pengetahuannya itu kepada masyarakat. Bersama
dengan rekannya, Umar Basalim, Hamzah menyampaikan kerumitan APBN kepada
masyarakat dalam bahasa yang sederhana, yang dapat dimengerti oleh awam melalui
media massa nasional.
Sebelum menjalani karir sebagai
politisi, Hamzah menjadi bagian dari dunia pers Indonesia. Dia pernah menjadi
wartawan koran Bebas yang terbit di Pontianak, serta pendiri Surat Kabar Berita
Pawan yang terbit di Ketapang, Kalbar, dan Harian KAMI Kalimantan Barat.
Sepenggal perjalanan hidupnya inilah yang membuatnya selalu berempati pada
profesi wartawan. Hamzah hampir tidak pernah menolak keinginan wartawan yang
ingin wawancara atau meminta pendapatnya tentang berbagai persoalan. Ketatnya
pengawalan dan aturan protokoler yang diberlakukan kepadanya sebagai wakil
presiden seolah tidak berlaku lagi kala wartawan ingin meminta komentarnya.
Pembawaan Hamzah yang tawadu,
akomodatif, dan cenderung menjauhi konflik di satu sisi memang menjadi
kekuatannya. Tetapi, di sisi lain sifatnya itu acapkali membuatnya seolah
“pasrah” terhadap keadaan. Seperti ketika konsepnya tentang pemulihan ekonomi
yang disampaikannya kepada Presiden Megawati Soekarnoputri tidak juga mendapat
tanggapan, Hamzah tidak pernah “mendesak” lebih lanjut. Begitu pula terhadap
pertanyaan tentang pembagian tugas antara presiden dan wakil presiden.