Nama : KH. Dr. Idham Khalid
Lahir : Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1922
Alamat : Jalan Fatmawati,Komp.Darul Ma'arif Jakarta Selatan
Penghargaan : Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, Mesir.
Jabatan Penting :
- Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU)
- Ketua Partai Masyumi
- Pendiri/Ketua Partai NU
- Pendiri/Ketua Partai Persatuan Pembangunan ( PPP)
- Wakil Perdana Menteri Indonesia
- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan MPR
- Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
- Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Kabinet Pembangunan I (1968-1973)
- Menteri Sosial
- Tim Penasehat Presiden, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4)
KH Idham Khalid kelahiran Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921, seorang ulama dan politikus pelaku filosofi air. Dia seorang tokoh Indonesia yang pernah menjadi pucuk pimpinan di lembaga eksekutif, legislatif dan ormas (Wakil Perdana Menteri, Ketua DPR/MPR, dan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama). Juga pernah memimpin pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP.
Laksana air, peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, ini seorang tokoh nasional, yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dan akomodatif dengan tetap berpegang pada tradisi dan prinsip Islam yang diembannya. Demikian pula sebagai politisi, ia mampu melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan pragmatis. Dengan sikap dan peran ganda demikian, termasuk kemampuan mengubah warna kulit politik dan kemampuan beradaptasi terhadap penguasa politik ketika itu, ulama dari Madrasah Pondok Modern Gontor, ini tidak kuatir mendapat kritikan dan stereotip negatif sebagai tokoh yang tidak mempunyai pendirian, bunglon bahkan avonturir.
Peran ganda dan kemampuan beradaptasi dan mengakomodir itu kadang kala membuat banyak orang salah memahami dan mendepksripsi diri, pemikiran serta sikap-sikap socio-polticnya.
Namun jika disimak dengan seksama, sesungguhnya KH Idham Khalid yang berlatarbelakang guru itu adalah seorang tokoh nasional (bangsa) yang visi perjuangannya dalam berbagai peran selalu berorientasi pada kebaikan serta manfaat bagi umat dan bangsa.
Dengan visi perjuangan seperti itu, pemimpin NU selama 28 tahun (1955-1984), itu berpandangan tak harus kaku dalam bersikap, sehingga umat selalu terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi situasi politik di masa demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila, tidak jarang adanya tekanan keras dari pihak penguasa serta partai politik dan Ormas radikal.
Sebagaimana digambarkannya dalam buku biografi berjudul "Idham Khalid: Guru Politik Orang NU" yang ditulis Ahmad Muhajir (Penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Juni 2007) bahwa seorang politisi yang baik mestilah memahami filosofi air.
"Apabila air dimasukkan pada gelas maka ia akan berbentuk gelas, bila dimasukkan ke dalam ember ia akan berbentuk ember, apabila ia dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Dan, air selalu mengalir ke temapat yang lebih rendah. Apabila disumbat dan dibendung ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mampu mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia. (Hal 55)
Sebagai ulama dan politisi pelaku filosofi air, Idham Khalid dapat berperan sebagai tokoh yang santun dan pembawa kesejukan. Apresiasi ini sangat mengemuka pada acara peluncuran buku otobiografi: "Napak Tilas Pengabdian Idham Khalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah", di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis 6 Maret 2008.
Buku otobiografi Idham Khalid itu diterbitkan Yayasan Forum Indonesia Satu (FIS) yang dipimpin Arief Mudatsir Mandan, yang juga anggota Komisi I DPR dari PPP, juga selaku editor buku tersebut. Idham Chalid sendiri tengah terbaring sakit di rumahnya Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan.
“Saya kira tidak ada tokoh yang bisa seperti beliau. Ketokohannya sangat menonjol, sehingga pernah memimpin partai politik pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP,” kata Wapres Jusuf Kalla mengapresiasi sosok Idham Khalid, saat memberi sambutan pada acara peluncuran buku tersebut.
”Beliau itu moderat, bisa diterima di ’segala cuaca’, berada di tengah, oleh sebab itu ia bisa diterima di mana-mana. Ia berada di tengah titik ekstrem yang ada,” ujar Kalla dihadapan sejumlah undangan, antara lain Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua DPR Agung Laksono, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, dan sejumlah anggota kabinet dan DPR.
Menurut Jusuf Kalla, sikapnya yang moderat hanya bisa dijalankan oleh orang yang santun. "Hanya orang santunlah yang bisa bersikap moderat,” puji Jusuf Kalla untuk menegaskan bahwa Idham Khalid merupakan sosok ulama dan politisi yang moderat dan santun. Itulah sebabnya, ia bisa diterima di berbagai era politik dan kepemimpinan bangsa.
Menurut Wapres, jika berada di titik yang sama ekstremnya, maka selain demokrat, sosok politik orang yang menjalani itu sudah pasti santun. ”Karena itu, sikap yang santun bisa menjaga suasana kemoderatan,” katanya.
Idham Khalid yang memulai karir politik dari anggota DPRD Kalsel, seorang ulama karismatik, yang selama 28 tahun memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pernah menjadi Wakil Perdana Menteri pada era pemerintahan Soekarno, Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Sosial pada era pemerintahan Soeharto dan mantan Ketua DPR/MPR. Idham juga pernah menjadi Ketua Partai Masyumi, Pendiri/Ketua Partai Nahdlatul Ulama dan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sementara itu, editor buku, Arief Mudatsir Mandan, mengemukakan, Idham Khalid satu-satunya Ketua Umum PBNU yang paling lama dan bukan ”berdarah biru” NU. Menurutnya, selama kepemimpinan Idham, NU tidak pernah bergejolak. Kendati ia sering dinilai lemah, tetapi sebenarnya itulah strateginya sehingga bisa diterima berbagai zaman,” ujar Arief Mudatsir Mandan.
Riwayat Hidup KH.Dr. Idham Khalid
Idham Khalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, dan merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin.
Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Selain tercatat sebagai salah satu tokoh besar bangsa ini pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, sebagian besar kiprah Idham dihabiskan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Idham tercatat sebagai tokoh paling muda sekaligus paling lama memimpin ormas Islam yang didirikan para ulama pada tahun 1926 tersebut.
Dalam ormas berlogo bola dunia dan bintang sembilan itu, Idham menapaki karier yang sangat cemerlang hingga menjadi pucuk pimpinan. Dalam usia 34 tahun, Idham dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Jabatan tersebut diembannya selama 28 tahun, yaitu hingga tahun 1984. Pada tahun 1984, posisi Idham di PBNU digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis serta tidak berafiliasi terhadap partai mana pun.
Selain itu, Idham juga tercatat sebagai “Bapak” pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis yang telah membesarkan namanya, waktu Idham dihabiskan bersama keluarga dengan mengelola Pesantren Daarul Maarif di bilangan Cipete.
Alamarhum memiliki pengabdian dan pengalaman yang begitu beragam. Setidak Idham Cholid yang telah memimpin NU selama 28 tahun ini dalam karirnya selalu berada dalam tiga sosok, yaitu ketua NU sebagai ormas, NU sebagai parpol dan sebagai pejabat negera. Dia juga pernah memimpin tiga partai yaitu Masyumi, NU dan PPP.
Kiai Idham Chalid pernah menduduki tiga jabatan menteri, yaitu wakil perdana menteri, menkopolkam, dan menteri sosial. Di posisi legislatif, ia juga menduduki berbagai jabatan mulai dari anggota DPRD Kalsel, DPR dan MPR.
Mengenai kemampuannya membawa NU dalam berbagai situasi, hal ini dikarenakan ia merupakan orang moderat yang selalu berada ditengah, disertai sikap kesantunan sehingga bisa diterima oleh semua pihak. Kiai Idham Chalid juga telah berhasil membawa NU keluar dari masa-masa pelik, bahkan genting saat Indonesia masih berusia muda dengan dinamika politik yang luar biasa.
KH Idham Khalid Bukan Hanya Milik Warga NU
Meninggalnya KH Idham Chalid (88) menjadi kehilangan besar bagi warga NU se-Indonesia. Baik semasa Orla maupun Orba, Idham Chalid selalu mengabdikan hidupnya untuk kepentingan bangsa dan negara.
Menurut tokoh NU Kabupaten Magelang, KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), mengemukakan, almarhum telah menjadi bagian dari perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Dia juga berjasa besar bagi pengembangan organisasi NU maupun partai yang pernah berafiliasi dengan NU seperti PPP.
“Beliau adalah tokoh panutan kami. Bangsa Indonesia kehilangan sosok dia karena beliau telah mewarnai sejarah bangsa ini lewat kiprahnya,” kata Gus Yusuf, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, kemarin.
Idham Chalid meninggal dunia pada Minggu (11/7), sekitar pukul 08.00 WIB, di rumah duka Pondok Pesantren Daarul Maarif, Cipete, Jakarta Selatan. 10 tahun terakhir dia harus berjuang melawan serangan jantung dan stroke.
Rencananya, jenazah akan dimakamkan Senin (12/7) di Ponpes Darul Quran, milik keluarga, di Cisarua, Bogor, Jawa Barat karena menunggu kehadiran sebagian putra-putri dan sanak saudara yang tinggal baik di Kalimantan Selatan maupun berbagai daerah lain di Tanah Air.
Perjuangkan Idealisme
Semasa hidupnya, KH Idham Chalid selalu memperjuangkan idealismenya bagi kemajuan bangsa dan negara tanpa meninggalkan posisi dirinya sebagai seorang kiai. Di tengah himpitan situasi politik terutama masa Orde Baru, dia memerankan diri sebagai politisi ulung namun tetap kukuh sebagai seorang kiai.
“Dia tidak meninggalkan jati diri sebagai ulama NU. Hal ini karena dia berpolitik dilandasi ketekunan menjalankan ibadah,” lanjut Gus Yusuf.
Karena itu, Gus Yusuf tak ragu menyebut Chalid sebagai pribadi yang seimbang antara kepentingan rohani dengan duniawi. “Tidak seperti politikus saat ini yang sibuk dengan urusan-urusan politik tetapi tidak menjalankan secara konsekuen ibadahnya,” kritik tokoh seniman Komunitas Lima Gunung Magelang ini.***