Oleh : Eko Mahendra*
“PILKADA sama dengan uang!”, demikian kira-kira ungkapan singkat yang saat ini tengah populer di tengah masyarakat kita. Ungkapan yang mencerminkan wajah kehidupan politik bangsa kita ini bukan tanpa beralasan. Di sejumlah daerah, Pilkada yang idealnya dijadikan sebagai parameter kemandirian daerah kerap kali dicoreng dengan berita money politic. Bahkan dalam skala yang lebih luas, politik uang seolah menjadi sesuatu yang lumrah dalam perilaku politik bangsa kita terutama di setiap hajatan Pilkada.
Adakah yang salah dari Pilkada? Apakah Pilkada menjadi satu penyebab timbulnya money poltic? Tentu saja tidak. Kalau agama misalnya, diharapkan mampu memberikan ketentraman semua pihak tapi realitasnya justru memberikan keresahan, tak lalu agama yang disalahkan, apalagi dibubarkan. Bisa jadi itu karena pribadi pelakunya yang tidak sepenuhnya menjalankan risalah agama dengan benar dan baik. Begitu pula dengan realitas Pilkada. Bukankah Pilkada diselenggarakan sebagai upaya awal membangun daerah sendiri dengan memilih pemimpin sesuai keinginan masyarakat secara langsung? Bukankah melalui Pilkada kita bisa menentukan sikap dan langkah daerah kita ke depan? Bila demikian arahnya, maka apa pun bisikan yang berhembus, atau apa pun jenis iming-iming yang diberikan tak ada arti sama sekali.
Dalam tradisi ‘Wong Tegal’ sering kita dengar istilah, “Apa bae tergantung kawitane. Yen kawitane apik, ya bakal apik pungkasane. Tapi yen kawitane ala, ya ora wurung bakal ala pungkasane.” Dengan semangat yang sama, kita juga masih ingat petitih orang tua kita yang mengatakan, “Apa nandure.” Dari semua ungkapan itu kita dapat mengambil simpul sederhana, semua hal tergantung awal niatan kita. Dalam hal ini, jangan sampai tujuan utama kita membangun daerah Jawa Tengah (Pilkada 22 Juni 2008), khususnya Kabupaten Tegal dan Kota Tegal (sama-sama Pilkada 26 Oktober 2008) lantas sirna begitu saja hanya karena kebutuhan sesaat.
Bila negara diibaratkan sebuah mesin—mengutip Yasraf Amir Piliang—, maka agenda reformasi adalah tuntutan perubahan pada struktur normatif; perubahan undang-undang, peraturan, dan kebijakan publik. Akan tetapi, mesin yang telah berubah struktur tersebut tentu tidak akan berfungsi bila tidak ada agen sosial (social agent) yang menggerakan dan mengendalikannya. Artinya, perubahan struktur harus diikuti dengan perubahan pada subyek manusia yang mengendalikan mesin perubahan tersebut.
Masih menurut Yasraf Amir Piliang, apa yang perlu diubah pada manusia sebagai agen perubahan adalah kekuatan pendorong di dalam dirinya, yaitu dorongan hasrat (desire), khususnya hasrat kolektif (collective desire), yang bahan bakarnya adalah energi libido kolektif (collective libido), dan yang produknya adalah ‘mentalitas kolektif bangsa’. Mesin hasrat kolektif yang selama ini bergejolak tak terkendali, sehingga menciptakan berjuta kerakusan, ketidakpedulian, kekerasan, harus dikendalikan.
Jacques Lacan dalam Lacan: Discourse and Social Change (1993) mengemukakan bahwa hasrat (desire) merupakan sebuah energi utama pengubah sosial, sebuah energi utama penggerak kebudayaan. Hasratlah yang membuat sebuah kebudayaan tidak pernah diam, yang membuat setiap orang merasa tidak puas dengan apa yang telah dimiliki, yang mendorong orang untuk menemukan hal-hal baru. Dalam pandangan ini mestinya kita selalu punya harapan. Dengan harapan lah kita bisa akan terus hidup dan menghidupi kita dan lingkungan kita.
Dalam terminologi Islam dikenal sitilah ‘azam. ‘Azam memiliki makna yang begitu dekat dengan desire (harapan). Yang menarik, dalam Alqur’an disebutkan bahwa bila kita memiliki satu harapan, maka kita harus bertawakal (memasrahkan segalanya) kepada Allah SWT. Dari ayat singkat ini jelas kiranya bahwa untuk sebuah harapan kita tidak bisa menyandarkan sepenuhnya kepada uang, partai, apalagi calon-calon yang juga memiliki kekurangan seperti kita. Artinya, kalau kita mengaku sebagai manusia yang beriman, konsep menyandarkan sepenuhnya kepada selain Allah seperti materi dan sebagainya akan berdampak pada masalah keimanan kita. Dalam hal ini, warga Tegal yang dikenal religius ini mestinya bisa bercermin; kalau memang Tegal ingin dibawa untuk menjadi daerah yang penuh berkah dan diridhai Allah SWT, maka inilah momentumnya. Pada kaitan ini Rasulullah SAW berulang kali mengingatkan para sahabatnya agar tidak menjadikan uang sebagai alat untuk menilai kemuliaan orang. Standar nilai untuk itu hanyalah amal salih. Beliau bersabda: “Tersungkurlah hamba-hamba dinar, dirham, sandang dan pakaian. Bila ia diberi, ia suka. Bila tidak diberi, ia berduka.” (Shahih Bukhari). Celakalah orang yang menggantungkan kebahagiaannya pada uang. Uang tidak boleh menentukan nilai manusia. Manusialah yang harus menentukan nilai uang. Celakalah orang yang diperbudak uang, dan berbahagialah orang yang mampu memperbudak uang. Dalam pemahaman lebih jauh, meskipun iblis datang menghampiri, kita tetap tegar dan lempang menuju kejujuran.
Luka Lama
Dalam wacana ilmu politik, apa yang terjadi akhir-akhir ini selalu dikaitkan dengan kebijakan politik di masa lalu (baca: orde baru). Orde yang selalu menjadi kambing hitam itu selalu dianggap menyisakan residu negatif berupa praktik-praktik birokrasi yang otoritarianisme dan tertutup. Sementara saat ini, ketika hijab (tirai) demokrasi dibuka lebar-lebar semuanya menjadi jelas sekaligus kabur. Dikatakan jelas karena konsep-konsep tata negara demikian gamblang dan dibeberkan kepada publik. Sementara dikatakan kabur karena justru kita larut dalam kegagapan memaknai kebebasan. Upaya segala cara justru seringkali dilakukan. Pada wilayah ini, sudah tidak sepatutnya kita mengorek borok Orde Baru. Meskipun Orde Baru pernah menorehkan tinta hitam, tapi terus meratap dan berkeluh kesah tanpa sikap optimis yang progresif adalah satu tindakan naif. Toh, banyak hal positif yang bisa kita teladani hingga saat ini.
Misalnya bagaimana parta-partai marginal (baca: selain Golkar) di Orde Baru ketika itu mampu dengan mandiri mengerahkan masa dan mengupayakan simpatisme kolektif. Simpatisan PPP saat itu misalnya, sudah terbiasa dengan inisiatif membuat kaos, bendera dengan tiang-tiangnya, hingga pengadaan makanan secara kolektif dan swadaya. Di sini, peluang money politics demikian kecil.
Tapi saat ini, ketika munculnya banyak partai yang masing-masing mengklaim ‘mewadahi’ aspirasi rakyat, konsekuensi logisnya adalah fragmentasi kepentingan kian mencuat. Meskipun bila semua partai dikembalikan ke visi yang paling mendasar, maka ada satu benang merah yang dapat kita temukan; mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera. Tapi apa pun partainya, bila kemudian menggunakan cara-cara kotor maka mustahil akan sampai pada idealisme adil dan sejahtera. Di antara pola-pola kotor itu adalah praktik money politics. Lalu pertanyaannya, sikap apa yang harus kita lakukan?
Dalam wacana politik, perilaku politikus hanya salah satu bagian dari dimensi etika politik. Ketika kita bicara desire (baca: kehendak positif), maka perlu juga ditopang institusi yang adil. Kehendak baik berfungsi mempertajam makna tanggung jawab, sedangkan institusi (hukum, aturan, kebiasaan, lembaga sosial) berperan mengorganisir tanggung jawab. Hal ini mengingatkan kita pada keyakinan Paul Ricoeur bahwa untuk mencapai sebuah kehendak atau harapan perlu diciptakan institusi-institusi yang adil (Soi-même comme un autre, 1990, hal 202). Lebih jauh lagi, etika politik dalam hal ini tidak direduksi hanya menjadi masalah perilaku individu. Etika politik masih memiliki komponen lain, etika politik sekaligus etika individual dan etika sosial. Etika individual karena membahas masalah kualitas moral pelaku; etika sosial karena merefleksikan masalah hukum, tatanan sosial, dan institusi yang adil.
Dalam kasus money politic pada sejumlah Pilkada menjadi cermin kebobrokan moralitas para pelaku politik secara individu—yang dalam bahasa awam disebut dengan oknum, tapi sayangnya institusi hukum tidak pernah menyelesaikan secara tuntas. Dari sini pembicaraan akan melebar pada etika politik sekaligus etika institusional dan etika keutamaan. Institusi dan keutamaan merupakan dua dimensi etika yang saling mendukung. Keutamaan merupakan faktor stabilisasi tindakan yang berasal dari dalam diri pelaku; sedangkan institusi menjamin stabilitas tindakan dari luar diri pelaku (Bernhard Sutor, Politische Ethik, 1991, hal 65). Etika politik mengandung tiga dimensi yang menentukan dinamika politik (1991, hal 86): pertama adalah tujuan politik; kedua menyangkut masalah pilihan sarana; ketiga berhadapan dengan aksi politik. Pada dimensi terakhir ini perilaku praktisi politiklah yang menentukan.
Saatnya Bicara
Kini, saatnya semua angkat bicara. Semua pihak harus sama-sama terlibat dalam upaya melewati ladang kejujuran yang penuh jebakan ini. Dalam fenomena praktik money politics, pengawasan tak cukup hanya dari Panwas. Tapi juga harus didukung oleh semua pihak, di antaranya adalah ulama. Ulama yang menjadi panutan umat sudah semestinya menjadi garda depan dalam memberikan pengarahan kepada masyarakat. Bahwa tindak demikian tak ubahnya seperti suap dan yang disuap. Kemudian, selain kampanye anti politik uang yang harus digalakkan, rakyat juga harus berani bicara bahkan berteriak lantang bila menyaksikan tindakan politikus kotor di lingkungannya. Sudah sepatutnya kita menjadi pengontrol langsung; bukan manusia buta dan bisu yang tak bisa melakukan apa-apa. Bila dengan money poltics akan terjadi: duit kemudian do it, menerima lalu melakukan seperti budak. Tapi bila kita yang menjadi saksi dan berani berteriak lantang maka diharapkan akan muncul: do it dan duit, tafsirnya adalah bila kita mengerjakannya (baca: memilih) dengan baik dan tulus, kita akan menuai kebahagiaan, dan keberkahan (duit).
Akhirnya semua akan dikembalikan lagi kepada sikap dan apresiasi rakyat. Mari kita bersama melangkah dengan pandangan yang sama, bahwa Pilkada Jawa Tengah, lebih-lebih Pilkada Kabupaten Tegal dan Kota Tegal dibersihkan dari semua unsur negatif. Bila di lapangan rakyat juga terang-terangan menerima realitas negatif itu, sama artinya dengan membiarkan kobaran api yang sedang menyergap pondasi moralitas politik kita. Semoga, ada diantara kita yang masih siap mengawal hati nuraninya untuk membangun Indonesia sampai titik darah penghabisan.*** (Radar Tegal, 18 Juni 2008)
*Penulis adalah Kader PPP Kabupaten Tegal.