Saya harus memulai dengan membaca Basmalah,
karena tak ada awalan yang lebih utama selain menyebut Asma Allah,
Hanya Ridho-Nya semata yang bisa saya harapkan,
Karena semuanya dapat berlangsung, mengalir dan berjalan,
tak lain tak bukan hanya karena Izin-Nya
seperti nafasku yang masih berhembus pada detik ini.
Dengan segala kejujuran hati, saya sampaikan kepada semua, bahwa perjuangan menegakkan dan mempertahankan kebenaran memang sangat berat dan berliku. Harapan pribadi untuk kembali berjuang menjadi wakil rakyat seolah dihadapkan pada pilihan-pilihan yang HAQ dan yang BATIL.
Hampir sudah menjadi pemahaman umum, bahwa bila seseorang ingin mencalonkan diri menjadi anggota dewan, maka dia harus memiliki sejumlah uang untuk—jujur saja—membeli suara kepada rakyat dan masyarakat di sekitarnya. Di sisi lain masyarakat yang katanya sedang berharap agar negara ini dapat bersih dari segala tradisi korupsi, dan segala permainan politik uang, ternyata dalam setiap hajatan politik seperti pemilihan calon anggota legislatif, misalnya, justru masyarakat selalu berharap mendapatkan sejumlah uang dari para calon. Sesungguhnya hal ini sangat ironi.
Saya yang sebelumnya juga pernah mencalonkan diri sebagai anggota dewan pada pemilu 2004 lalu, secara latah juga ikut memberi, menyumbang, mendermakan, atau apa pun istilahnya, tetapi secara praktis adalah demi mengharapkan perolehan suara pada saat pemilihan. Hasilnya adalah hutang yang menggelembung di mana-mana. Meskipun iya saya terpilih, tapi harus saya akui, yang terpikir pertama kali setelah jadi, adalah bagaimana saya mengembalikan hutang-hutang saya. Maka bisa dipastikan, bisikan-bisikan iblis berseliweran menghampiri telinga dan hati saya. KORUPSI, adalah jalan satu-satunya!
Tapi kemudian saya sadar, itu semua menjadi bumerang terhadap niat utama saya untuk berjuang, beribadah di sebuah partai yang menggunakan nilai-nilai Islam. Bohong saya katakan, bila menjadi anggota dewan, kemudian ia menjadi kaya raya, kecuali dia KORUPSI. Misalnya saja pada sejumlah partai tertentu yang memiliki kebijakan masing-masing dalam iuran wajib partai, memberikan konsekuensi pada setiap anggota dewan yang memiliki kebutuhan sekaligus membayar hutang-hutangnya. Maka yang ada, ia hanya memperoleh nilai impas dari semua nilai gaji yang diterima di setiap bulan. Lalu, dari mana lagi ia memperoleh uang?
Maka, pada pemilihan di tahun 2009 kali ini, saya bersumpah, demi menegakkan kebenaran, demi upaya memberantas korupsi, demi memberikan pelajaran politik kepada ummat, saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak memberikan apapun yang kemudian menjadi kontrak emosional politik. Saya katakan kontrak emosional politik karena, mengandaikan saya memberi berarti saya membeli. Dan secara otomatis, orang yang menerima, berarti ia harus memilih saya. Dalam kaca mata fikih, prosesi pemberian ini disebut sebagai akad ijab qabul. Artinya, kalau ada orang yang mau menerima sejumlah uang dari seorang calon, itu artinya ia siap memilih pihak yang memberi. Seandainya, si penerima uang tidak mencoblos, artinya ia munafik dan uang yang ia terima menjadi haram kuadrat. Haram pertama adalah menerima bentuk money politic, dan kedua ia berbohong dengan tidak memilih. Maka, ungkapan “Terima Saja Uangnya, dari siapa saja”, memberi makna bahwa rakyat kita benar-benar tidak sedang berusaha untuk memperbaiki negara ini. Bohong saya katakan, bila rakyat mengritik habis sejumlah pejabat, tapi dirinya juga secara nyata ikut-ikutan terlibat dalam prosesi money politic yang secara nyata menjadi potensi lahirnya korupsi. Bukankah dalam istilah ushul fiqh disebutkan bahwa sesuatu yang nantinya akan berakibat haram, maka penyebabnya juga menjadi haram?
Demi memperjuangkan ini, resiko apa pun akan saya terima. Kalau pun ada anjuran dari berbagai pihak agar saya meminjam sejumlah uang, yang tentu saja akan sampai pada jumlah yang sangat besar bagi saya, sebut saja 100 juta rupiah, maka saya katakan, saya tidak akan memaksakan diri. Saya tidak akan mengada-ada pada sesuatu yang memang tidak saya miliki. Saya hanya punya niat, punya hati, dan kepasrahan kepada Allah untuk beribadah pada jalur politik, yang kebetulan saya memilih pada Partai Persatuan Pembangunan berlambang Ka’bah, berasaskan Islam, yang pada PEMILU 2009 ini bernomor urut 24.
Biarlah saya sendiri, kalau pun kemudian tidak ada satupun yang memilih, saya ikhlas. Paling tidak, saya akan memulai sesuatu dengan awalan yang baik. Karena apa pun bentuknya, bila diawali dengan hal yang buruk,….maka Anda pasti mengerti ujungnya.
Kepada Anda yang diberi hati nurani oleh Allah, gunakanlah sebaik-baiknya. Dan bagi yang masih percaya pada Allah, “setiap apa yang kita usahakan, selalu ada balasan dan pertanggungjawabannya kelak, di hadapan Yang Maha Adil dan Bijaksana”. Selamat mengikuti PEMILU 2009. Semoga Allah meridhoi kita semua. Amin.
*Eko Mahendra, Caleg PPP di Dapil 2 DPRD Kabupaten Tegal.
*Eko Mahendra, Caleg PPP di Dapil 2 DPRD Kabupaten Tegal.