JAKARTA - Sejumlah tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menginginkan agar Muktamar PPP yang digelar di Bandung, awal Juli mendatang berani mengeluarkan keputusan yang melarang Ketua Umum (Ketum) PPP terpilih tidak merangkap jabatan sebagai menteri. Alasannya, rangkap jabatan itu sangat merugikan partai.
Mantan anggota Fraksi PPP DPR, Djafar Sidiq, menyatakan bahwa Ketua Umum PPP harus fokus mengurus partainya. "Kalau ketua umum merangkap jadi menteri jelas sangat merugikan partai karena ketua umum ada dalam posisi jongos presiden hingga dan cenderung membunuh fungsi-fungsi partai," kata Djafar Sidiq di Posko Tim Sukses Akhmad Muqowam (AMQ), di kawasan Pancoran Jakarta Selatan, Minggu (8/5).
Menurutnya, jika Ketua Umum PPP masih berkeinginan menjadi jongos presiden maka lebih baik melepas jabatannya posisi ketua umum akan dipegang oleh wakil ketua umum. "Ketentuan itu hendaknya memang tertuang dalam Anggaran Dasar PPP. Bisa atau tidaknya gagasan tersebut pada akhirnya sangat tergantung kepada pemilik suara sah di PPP. Kalau tidak maka PPP dengan sendirinya akan tetap jadi jongos presiden," ungkapnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ketua DPP yang juga Ketua DPW PPP Jawa tengah, Arief Mudatsir. Menurut dia, selama dua periode Ketua Umum PPP masuk di kabinet ternyata sama sekali tidak ada manfaatnya partai. "Ibarat mobil, bodi bagus tapi mesin merongrong hingga pengurus menjadi pihak yang diurus," ulasnya.
Arief mencontohkan agenda pertemuan Ketua Umum PPP dengan konstituen di luar Jakarta yang sudah dijadwalkan sejak jauh-jauh hari ternyata harus dibatalkan. "Karena ada tugas dari presiden, dia seenaknya membatalkan kunjungan ke konstituen. Ini jelas sangat merugikan partai." ujarnya.
Lebih jauh dia juga mengungkap fakta yang terjadi di PPP saat ini. Arief yang kalah bersaing dengan Suryadharma Ali pada Mutamar PP di Ancol itu melihat saat ini pengurus yang ada tidak melakukan rekrutmen kader. Bahkan PPP justru mengarah pada sebuah proses yang sangat mencemaskan, yaitu segera didiskualifikasi dari DPR karena kekhawatiran tidak lolos parliamentary threshold.
"Untuk mengantisipasi agar PPP tidak kena diskualifikasi, maka energi perubahan ke arah yang lebih baik harus mendominasi Muktamar PPP mendatang," harapnya.
Sedangkan Sekretaris Majelis Pertimbangan PPP, Tamam Achda, mengakui bahwa di era reformasi ini justru PPP sudah kehilangan daya tarik lantaran tidak adanya tokoh di dalam PPP konsisten mengusung asas Islam. "PPP yang berlandaskan Islam memang tidak lagi punya tokoh sehingga tidak lagi punya daya tarik masyarakat. Apalagi ketua umumnya yang sibuk sendiri dengan urusan-urusan sebagai pembantu presiden," imbuh Achda.
Ia khawatir jika pada mmuktamar mendatang PPP tidak membahas perlunya penyempurnaan platform partai, maka tamatlah partai berlambang Kabah ini.
Sedangkan anggota Majelis Pertimbangan PPP, Rodjak, menuding pimpinan partai tidak lagi menyadari fungsi-fungsi partai yang seharusnya menjadi alat pengontrol kekuasaan. "Yang kita saksikan, pimpinan PPP justru menjadi pengawal kekuasaan secara membabi buta dan secara sengaja melupakan kewajibannya sebagai Ketua Umum PPP," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPW PPP Sulawesi Selatan, Amir Uskara menegaskan bahwa PPP saat ini sudah menjadi partai kelas dua. "PPP kini sudah menjadi partai kelas dua. Faktanya, bila ada orang yang tidak lagi diterima oleh partai-partai lainnya, maka baru PPP tempat dia bergabung.," ungkapnya.
Dia juga mengkritisi kepemimpinan Suryadharma Ali yang belakangan ini tidak pernah punya niat untuk membenahi PPP. "Semenjak beliau memimpin PPP tidak ada upaya membangun citra positif PPP. Yang dilakukan hanya mengekor pada maunya presiden. Sikap ini jelas merugikan PPP di semua wilayah."
Terakhir, Uskara juga membeberkan ada indikasi sejumlah kader PPP yang akan meninggalkan partai karena kecewa dengan kondisi PPP belakangan ini. "Sebagai pimpinan di wilayah, saya tak kuasa mengantisipasi keadaan ini karena DPP PPP sendiri memang tidak punya niat untuk memperbaikinya," tegasnya. (JPPN, 10 Mei 2011)