Jakarta - Usai jatuhnya Orde Baru, suara PPP terus merosot. Partai berlambang ka’bah ini butuh kader yang tidak ragu membesarkan partainya. Langkah itu penting agar PPP tidak tergerus percaturan politik nasional.
Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan Imam Suharjo mengungkapkan, salah satu penyebab penurunan suara PPP karena partai ini tidak diurus dengan serius. Sejauh ini di luar Suryadharma Ali beredar beberapa nama yang menyatakan siap memimpin PPP seperti Ahmad Muqowam, Jimly Ashiddiqie, Adhyaksa Dault, Muchdi PR dan lainnya.
Persaingan antar kandidat juga kian sengit. Saling klaim meraih suara terutama terhadap dua calon kuat yakni Suryadharma Ali dan Ahmad Muqowam di daerah bahkan kekhawatiran berlebihan terhadap para pesaingnya mulai muncul.
Para analis melihat selama 10 tahun terakhir, PPP diurus banyak politisi, namun tidak serius diurus. Hanya menjelang Muktamar, Muswil, Muscab, atau pemilu saja partai ini diurus. Padahal, partai ini mempunyai potensi jadi partai besar. “Akibatnya PPP makin buyar,” imbuh pengamat politik Umar S Bakry yang juga Direktur LSN.
Setelah era Soeharto, reformasi politik pada 1998 menjadi angin segar bagi PPP. Mereka memanfaatkan momentum itu untuk kembali ke jati diri sebagai partai Islam seperti ketika lahir pada 1973. Saat itu, PPP lahir sebagai fusi dari partai-partai Islam sesuai keinginan rezim politik Orde Baru saat itu.
Namun, perubahan tersebut tak berarti sama sekali bagi partai ini. PPP cuma mampu meraup 11.329.905 suara atau 10,71 persen pada Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama di era reformasi. Pada dua pemilu berikutnya, perolehan suara partai Kabah ini makin anjlok, yakni 8,15 persen pada 2004 dan tinggal 5,32 persen pada 2009.
Kalau mau maju dan besar, kader-kader PPP harus bisa menjadikan partai berbasis massa Islam ini menjadi solusi bagi problem kebangsaan di Indonesia. Apalagi, bangsa Indonesia akhir-akhir ini menghadapi masalah yang menuntut jawaban.
“Sayang bahwa PPP tak memberi jawaban, malah menyodorkan persoalan, seperti lambatnya PPP memecahkan isu Ahmadiyah, mafia pajak dan sebagainya,” imbuh pengamat Islam politik dan dosen UIN Jakarta Nanang Tahqiq MA.
Selain itu, PPP juga kurang menunjukkan sikap politik yang berpihak kepada rakyat. Bagi rakyat, sudah banyak contoh bahwa PPP kurang responsif. Kasus Ahmadiyah, mafia pajak dan mafia hukum, terbukti kurang mendapat respon PPP.
Itu sebabnya, dalam momentum Muktamar Ke-7 PPP yang akan dilaksanakan pada 2-6 Juli mendatang, kader PPP harus berani jujur menilai dan memilih pemimpin yang mau serius mengurus partai. Adakah itu? Para kader PPP nampak masih bimbang akan membesarkan PPP atau malah secara tak sadar mengkerdilkannya? Kader PPP harus mencari jawabannya. (Inilah.com, 20 Mei 2011)