Slawi - Pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) oleh pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM dianggap telah melanggar hak asasi setiap warga negara. Berdasarkan pengalaman, pemberian BLT sangat berpotensi menimbulkan perpecahan diantara warga dengan pemerintahan desa. Meski pada saat awal pendataan penerima BLT, pemerintahan desa sama sekali tidak dilibatkan. Karena pendataan dilakukan langsung oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Hal itu diungkapkan Sekretaris Fraksi PPP DPRD Kabupaten Tegal, Eko Mahendra, S.Sos, saat ditemui Radar di kantor Kaukus Slawi Ayu. Dirinya mengungkapkan, salah satu hal yang diamanatkan oleh UUD 1945 antara lain setiap warga negara berhak atas rasa aman dan damai. Sementara penerimaan BLT, menurutnya, justru dinilai bertolak belakang dengan hal tersebut. Berdasarkan pengalaman penerimaan BLT tahun 2005 yang lalu, justru menimbulkan konflik diantara warga. “Dari penerimaan BLT yang pernah ada, terbukti bahwa pemerintah telah mengadu domba warga,” ujar politisi muda PPP yang juga menjabat sekretaris Kaukus Slawi Ayu ini.
Demi menjaga kerukunan diantara warga, menurut Eko, dirinya justru mengharapkan agar penerimaan BLT dapat dihapuskan. Jika penerimaan BLT tetap dilaksanakan, diharapkan agar pelaksanaannya dapat diatur jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2005. Sehingga tidak terjadi konflik diantara warga terkait penerimaan BLT yang jumlahnya tidak terlalu besar itu. (Radar Tegal, 26 Mei 2008)