Politikindonesia.com - Tidak seriusnya pemerintah dianggap menjadi biang keladi terbengkalainya proses pembahasan draf Rancangan Undang Undang (RUU) Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). Seharusnya, pemerintah justru jadi pihak yang ngotot segera menyelesaikan. Sebab, output UU ini secara politis sangat menguntungkan kepentingan pemerintah demi menaikkan citra.
Begitulah pendapat yang dilontarkan Okky Asokawati, anggota Pansus RUU BPJS. Sejujurnya, dia merasa heran dengan sikap pemerintah yang dinilainya justeru kontraproduktif itu. “Kalau UU ini selesai dan manfaatnya dirasakan oleh rakyat, maka yang dapat nama kan pemerintah bukan DPR.”
Politisi perempuan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari daerah pemilihan DKI Jakarta II itu mengungkapkan, hal yang membuat Pansus melontarkan tudingan pemerintah tidak serius ialah, sikap pemerintah yang sengaja mempermasalahkan berbagai persoalan di luar substansi, seperti sifat badan hukumnya, bentuk organisasinya, dan lainnya.
“Sebetulnya, perbedaan pandangan tentang hal-hal tersebut dapat dikompromikan jika pemerintah memang miliki itikad yang baik dan serius,” tandas Psikolog lulusan Universitas Indonesia itu.
Ada apa sebetulnya maksud dibalik sikap ketidakseriusan pemerintah tersebut, serta apa langkah Pansus menyikapi kelakuan pemerintah itu? Perempuan kelahiran Jakarta, 6 Maret 1961 itu, memaparkan jawabanya kepada Mirza Fichri dari politikindonesia.com di Gedung Parlemen, Kamis (20/1). Berikut petikannya.
Apa kendala utama yang menyebabkan pembahasan draf RUU BPJS begitu lambat?
Setelah melakukan beberapa pertemuan dengan pemerintah, hingga rapat konsultasi yang dilaksanakan pada rabu malam (19/01), saya berkesimpulan yang menjadi biang keladi deadlock-nya pembahasan draf RUU tersebut ialah ketidakseriusan pemerintah.
Sejak awal, saya sudah melihat indikasi ke arah itu. Misalnya saja, dalam beberapa pertemuan, pemerintah secara sengaja membuang-buang waktu dengan mempersoalkan hal-hal yang tidak substansial, seperti sifat RUU BPJS. Mereka ngotot agar RUU BPJS hanya bersifat penetapan saja.
Padahal, ketika Pansus mengundang pakar hukum, jelas sekali bahwa sesuai UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dikatakan, pembentukan pelaksana program jaminan sosial dibentuk oleh undang-undang. Berdasarkan ini, para pakar juga sepakat kalau sifat BPJS adalah pengaturan.
Selain itu, apalagi yang sengaja dipersoalkan?
Bentuknya, itu juga persoalan. Pemerintah menginginkan bentuk BPJS tersebut jamak. Sementara kita menginkan bentuknya tunggal. Sebetulnya, saya paham kenapa sikap itu diambil pemerintah. Saya duga pemerintah masih trauma terhadap kasus merger Bank Mandiri yang gagal. Sejujurnya, saya juga paham tentang kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi, jika beberapa pelaksana jaminan sosial yang ada, seperti Jamsostek, Asabri dan sebagainya harus di gabung. Tapi, persoalan ini kan sebetulnya bisa dicari jalan keluarnya. Misalnya saja, operator-operator tersebut kan bisa dijadikan divisi-divisi dalam BPJS. Artinya, tidak harus digabung.
Ada lagi soal lain?
Berikutnya, hal tak urgen lain yang juga dimasalahkan sehingga membuat berlarutnya pembahasan draf RUU ini, ialah tentang bentuk badan hukum yang diinginkan. Parahnya lagi, dalam menyikapi masalah ini, pemerintah tidak memiliki pendapat yang jelas. Mereka hanya membuka wacana yang tidak jelas apa maunya. Sementara itu, Pansus secara tegas menyatakan badan hukum BPJS, ialah wali amanah. Artinya, jika dana yang terkumpul di investasikan, maka keuntungannya akan dikembalikan kepada BPJS demi peningkatan jaminan yang diberikan untuk rakyat.
Apa yang Anda baca, apa maksud pemerintah dibalik sikapnya yang terkesan menghambat tersebut?
Dugaan saya hanya karena trauma tadi. Walau tidak menutup kemungkinan, ada banyak tarik ulur kepentingan yang bersifat ekonomis. Kalau dari sisi politis, saya justeru melihat sikap yang diambil pemerintah ini menjadi aneh dan mengherankan. Soalnya, di tengah terpuruknya citra pemerintah di mata masyarakat akibat berbagai skandal hukum yang terjadi belakangan ini, seharusnya isu ini dijadikan pengungkit untuk mendongkrak citra pemerintah yang notabene memang gemar pencitraan.
Alasannya apa?
Lho, undang-undang ini kan memang sedang ditungu-tunggu oleh rakyat. Bagaimana tidak. Dengan hadirnya aturan mengenai jaminan sosial di bidang kesehatan misalnya, maka rakyat miskin tidak perlu khawatir lagi ditolak untuk dirawat karena alasan tak punya uang. UU ini pun nantinya tak hanya melindungi masyarakat miskin. Bagi rakyat yang berpunya pun, mungkin tak perlu khawatir lagi dengan istilah ‘Sadikin’ alias sakit sedikit langsung miskin.
Nah, melihat besarnya efek sosial yang akan ditimbulkan lantaran terbitnya UU ini kelak, seharusnya kan pemerintah yang ngotot agar UU BPJS ini cepat selesai dibahas dan diundangkan. Ini kok sebaliknya, pemerintah malah menghambat.
Setelah mengalami deadlock, langkah apa yang selanjutnya akan diambil Pansus?
Pertama, Pansus akan melaporkan seluruh hasil beberapa kali rapat kerja maupun rapat konsultasi yang telah dilakukan dengan pemerintah kepada pimpinan dewan. Kedua, Pansus juga akan segera melakukan konsolidasi untuk membahas Daftar Isian Masalah (DIM) yang akan kita ajukan untuk dibahas bersama pemerintah pada kegaiatan selanjutnya.
Ada pesan untuk pemerintah?
Saya hanya perlu menghimbau kepada pemerintah agar tidak bermain-main lagi dalam membahas hal yang sangat di tunggu-tunggu oleh rakyat banyak. Saya hanya ingin mengingatkan, jika undang-undang ini selesai serta diterapkan serta dirasakan manfaatnya oleh rakyat, maka yang mendapat nama pemerintah. Bukan DPR. Jadi, sekali lagi kami meminta pemerintah jangan menghambat, tapi sebaliknya kami justeru membutuhkan keseriusan pemerintah untuk bersama-sama membahas dan menyelesaikan UU BPJS ini. (Politik Indonesia, 20 Januari 2011)