Semarang - Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama KH Hasyim Muzadi meminta agar Partai Persatuan Pembangunan tetap eksis dan jangan sampai dijual kepada orang lain selain kepada kader partai itu sendiri.
“Dosa besar kalau sampai PPP mati. Apalagi PPP didirikan tahun 1973 oleh seluruh umat Islam Indonesia. Berdirinya PPP sekaligus menandai tidak adanya lagi partai-partai Islam yang ingin mendirikan negara Islam,” kata KH Hasyim Muzadi dalam acara tausiyah yang digelar menyertai acara Taaruf dan Muskerwil PPP Jawa Tengah di Hotel Semesta, Minggu (12/6/2011) malam.
Padahal sebelum berdirinya PPP, lanjut Hasyim, banyak partai Islam yang bergolak ingin mendirikan negara Islam sendiri-sendiri. Tetapi sejak PPP ada, keinginan itu larut dalam pemahaman Islam sebagai agama yang rohmatan lilalamin sekaligus memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejarah pun mencatat betapa dahsyat dan besarnya PPP pada masa pemilihan umum 1977. Hampir seluruh umat Islam di Indonesia merasa memiliki dan berkewajiban membesarkan satu-satunya partai yang berasaskan Islam.
Para kader termasuk para petinggi-petingginya, tidak takut berbagai ancaman yang dilontarkan. Mereka juga tidak takut terhadap himpitan-himpitan ekonomi maupun segala bentuk intimidasi. Bahkan, mereka juga tidak takut moncong senjata yang diarahkan ke muka.
“Sayangnya prosentase saat itu menjadikan Golkar menang lantaran didukung kekuasaan. Tidak tanggung-tanggung mereka jugalah yang menghitung hasil perolehan suara dalam pemilu. Jadi ya serba terserah mereka,” ungkapnya.
Melihat kekuatan PPP yangn demikian besar dan kuat, mereka lantas menelusupkan orangnya ke dalam PPP yakni HJ. Naro. Mulai saat itulah perolehan suara PPP dalam pemilu terus menurun. Belum puas dengan strategi penyusupan, munculah kebijakan yang menggiring NU dan Muhammadiyah agar kembali mke khittah masing-masing.
“Mungkinkah PPP mampu bangkit ? Inilah pertanyaan yang mampu dijawab oleh masing-masing kader. Akankah menjadikan PPP hanya sebagai bagian dari sejarah ataukan menempatkan PPP justru sebagai partai masa depan. Kader tertantang untuk membesarkan partai atau hanya sekadar membesarkan pengurusnya. Kalau memang demikian, jelaslah bahwa pengurus justru menjadi benalu partai,” katanya.
Hasyim menambahkan PPP perlu penyegaran. Rekruitmen dan suksesi kepemimpinan membutuhkan tahapan-tahapan yangn benar-benar kualifait agar ke depannya partai bisa ikut memecahkan segala persolan baik tentang syar’iyah maupun ubudiyah seperti terbentuknya Majelis Syar’iyah dan sebagainya.
“PPP adalah sebuah partai dan satu-satunya partai Islam di Indonesia. PPP bukan Majlis Taklim yang hanya berbicara soal-soal yang normatif dan berbau dalil-dalil semata. Sebaliknya, PPP adalah partai masa depan yang sanggup mengejawantahkan dirinya dalam perspektif pembangunan bangsa dan negara sehingga seluruh rakyatnya benar-benar mampu bersedekah,” tandas Hasyim.
Dalam membangun komunikasi politik, kader juga dituntut untuk tetap melakukan silaturrohmi. Bukan silaturrohmi yang hanya karena ada maunya atau karena ada persoalan. Melainkan, silaturrohmi yang dibangun atas dasar rasa kebersamaan serta rasa persatuan dan kesatuan,” tegasnya.
Ia berharap agar PPP mampu sebagai partai kader yang mampu menjawab segala bentuk tantangan jaman dengan memilih pimpinan yang benar-benar militan, bukan berbekal Manohara yakni kader yang piawai menciptakan manufer dan huru hara.
Karena kalau sampai terjerumus ke dalamnya, yang terjadi adalah politik transaksional. Negara seolah menjadi kapling-kapling siap bangun yang hanya memproduksi ekonomi sesaat. Pelaksanaan hukum akhirnya hanya terasa kekuasaan dan uang, bukan keadilan.
Namun ketika ditanya mengenai kesiapan dirinya kalau ditunjuk sebagai Ketum dalam Muktamar mendatang, KH Hasyim Muzadi menjawab, saat ini bukanlah waktunya karena baginya bukan lagi eranya kemasyhuran melainkan keluhuran. (Berita21.com, 13 Juni 2011)