Surabaya - Di Kota Bandung, pada tanggal 7 Juli 2011 mendatang, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berencana menggelar muktamar. Dua politikus PPP berlatar NU siap bertarung.Kedua kader NU itu adalah Suryadharma Ali (SDA), yang kini menjabat Ketua Umum PPP dan Menteri Agama. Kader lainnya adalah Ahmad Muqowwan, kader NU dari Semarang, Jateng yang beberapa kali duduk sebagai anggota DPR RI.
Apakah tak ada kader Muslimin Indonesia (MI) yang menjagokan diri sebagai ketua umum PPP? Pola pertarungan ini mengingatkan kita pada muktamar PPP sebelumnya. SDA yang tampil sebagai pemenang dalam perebutan kursi orang pertama di PPP mengandaskan politikus muda juga berlatar NU Arief Mudatsir Mahdan, yang juga berasal dari Jepara, Jateng.
Kendati sama-sama berasal dari NU, SDA dan Muqowwan mewakili generasi berbeda. Muqowwan jauh lebih muda dibanding SDA, yang mana karir politiknya lebih banyak dihabiskan di IPNU dan GP Ansor. Muqowwan adalah kader NU yang terjun di PPP pertama kali di bawah bimbingan KH Thoyfoer MC (almarhum), mantan Ketua PPP Jateng, yang meninggal dunia beberapa tahun lalu. Muqowwan namanya langsung melejit di ranah politik nasional setelah yang bersangkutan duduk di kursi DPR RI.
Reputasi Muqowwan sebagai orang NU yang besar dan berkiprah di PPP juga diakui Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj. Kiai Said menyebutkan kehadiran dirinya pada acara deklarasi pencalonan Muqowwam sebagai kandidat Ketua Umum PPP semata-mata karena ia merupakan kader terbaik NU di PPP. “Muqowwam merupakan kader terbaik NU. Jejak rekamnya cukup baik saat di IPNU dan GP Ansor,” ujar Kiai Said saat ditemui sesuai acara deklarasi Akhmad Muqowam di Jakarta, Rabu (15/6/2011) .
Begitu pun dengan SDA. Orang tak meragukan lagi ke-NU-annya. Politikus PPP yang pernah menjabat Menteri Koperasi dan UKM ini sejak beberapa bulan lalu telah menggelar roadshow ke sejumlah kantong-kantong penting PPP di seluruh Indonesia. Di antara yang dikunjungi adalah kiai-kiai NU berpengaruh besar. Harapannya, kiai-kiai NU itu kembali ke PPP dan mendukungnya kembali sebagai ketua umum PPP. SDA pernah menggelar pertemuan dengan banyak kiai NU di Pondok Lirboyo Kediri, Jatim.
Pola pertarungan antarkader NU dalam perebutan jabatan ketua umum PPP itu tak mungkin dilepaskan dari latar kultural dan sosiologis pendukung PPP. Massa NU, terutama di Jatim, Jateng, Jabar, DKI Jakarta, Kalsel, dan Sulsel adalah pendukung penting bagi PPP. Di tengah penurunan suara-suara partai berasas Islam dan atau parpol berkonstituen massa santri (Tradisional dan Modernis), proses pendekatan kembali PPP ke basis sosial pendukung tradisionalnya, NU, sangatlah penting. Kalau tidak digarap sejak sekarang, dikhawatirkan PPP makin terseok-seok pada Pemilu 2014 mendatang.
Tren politik penurunan suara PPP dari pemilu ke pemilu pascareformasi 1998 mengindikasikan parpol telah mengalami penurunan kekuatan political marketing di masa konstituen. Apalagi, PPP cenderung menampilkan watak dan potret sebagai parpol Islam konvensional. PPP pascareformasi kelihatan kehilangan elan kritisnya, sebagaimana yang tergambarkan pada parpol ini sepanjang 32 tahun rezim Orde Baru.
Menjadi kekuatan pseudo oposisi di zaman Orde Baru justru ‘menguntungkan’ PPP dibanding di era sekarang. Dikerjai habis-habisan rezim Orde Baru, PPP masih mampu merebut lebih dari 20% suara pemilih di tiap Pemilu kecuali pada Pemilu, 1987 saat terjadi aksi penggembosan politik yang dilakukan politikus NU pendukung kebijakan Khittah NU 1926. Apalagi dibiarkan berkembang dan berimprovisasi politik secara otonom. Potret dan positioning politik PPP sepanjang reformasi yang menjadi bagian yang menempel penguasa ternyata membuat parpol ini makin kembang-kempis.
Apakah tak perlu dipikirkan elite PPP hasil muktamar nanti menjadikan PPP sebagai kekuatan ‘oposisi loyal dan proporsional’ via a vis penguasa dibanding sekadar menempel kekuasaan, tapi kursinya dari tahun ke tahun mengalami penurunan pasti?
Jangan-jangan watak PPP seperti PDIP: Memiliki mental, bakat, dan kultur oposisional lebih kuat dibanding sebagai penguasa atau bagian penguasa. Kelihatannya, kedua parpol ini terlalu lama terlatih sebagai oposisi dibanding sebagai penguasa dan atau bagian penguasa. (Berita Jatim, 26 Juni 2011)