PENGUMUMAN: Dibuka pendaftaran bakal calon anggota DPRD Kabupaten Tegal, mulai 1 Januari s/d 28 Februari 2013. Info: Hubungi DPC PPP Kabupaten Tegal, telp.(0283)3275717 | Eko Mahendra Ridho

Follow Us

HEADLINE NEWS

Partai Islam sebagai Sebuah Kebutuhan

18 Juni 2012


Oleh : Ahmad Syaukani*

Sungguh mengherankan, umat Islam pada masa lampau mampu bersatu padu dan sehati dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun umat Islam hari ini, justru mengisi kemerdekaan dengan perpecahan antar golongan dan konflik kepentingan”

I. Pendahuluan.
Sejak lama para pemimpin Islam di Indonesia berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan yang membelit sebagian besar umatnya, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Setelah sekian lama terkungkung oleh kebijakan diskriminatif penjajah, kemerdekaan memang memberi peluang umat Islam untuk mengembangkan diri. Namun sampai lebih dari enam puluh tahun sesudah proklamasi kemerdekaan, citra tentang kemiskinan dan keterbelakangan itu masih juga belum terhapus. Sebagian besar umat Islam Indonesia jauh tertinggal dalam berbagai hal: pendidikan yang rendah, bidang pekerjaan yang secara materil kurang menguntungkan, skor kualitas hidup fisik yang rendah, dan status sosial ekonomi yang juga rendah.

Sejak awal, para pemimpin dan aktivis Muslim itu sadar bahwa perbaikan kondisi yang memprihatinkan itu memerlukan perjuangan politik, yaitu berurusan dengan upaya memperoleh kekuasaan. Sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi tindakan dan pikiran orang lain serta mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik, kekuasaan dinilai sangat penting. Apapun tujuan akhir yang hendak diperjuangkan, setiap aktivis harus mencapai tujuan antara memperoleh kemampuan mempengaruhi orang dan proses kebijakan. Dengan kata lain, harus memiliki otoritas dan legalitas. Cita-cita seperti mengurangi kemiskinan rakyat pasti memerlukan kemampuan mempengaruhi proses kebijakan publik.

II. Data fakta dan sejarah singkat dinamika Parpol Islam di Indonesia
a. Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan Belanda, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang Indonesia, bukan saja berhadapan dengan pihak penjajah, tetapi juga dengan orang-orang Cina. Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI tahun 1911, kemudian Sarekat Islam, SI tahun 1912) mulanya diarahkan kepada orang-orang Cina di Solo. Penyebarannya ke segenap penjuru tanah air pada waktu itu, dengan meliputi segenap lapisan penduduk dari bawah sampai atas, lebih karena didorong oleh perasaan seagama.

Akan tetapi dalam lapangan politik, kalangan Islam tidak berhasil bersatu. Pemetaan umat Islam ke dalam dua kelompok, tradisionalis dan modernis mulai berkembang pada masa ini. Dan dalam bidang politik, kalangan tradisionalis belum menjadi penting sehingga kalangan pembaharulah yang lebih banyak terlibat dalam politik. Oleh sebab itu, perbedaan dalam politik di zaman Belanda tidak terjadi antara kalangan modernis dengan kalangan tradisionalis, melainkan antara kalangan modernis sendiri. Perbedaan itu lebih disebabkan oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan agama.

Dalam bidang sosial, Partai-Partai Islam dapat bekerjasama dan dengan organisasi sosial Islam dalam federasi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1935, tetapi dalam bidang politik, masing-masing kelihatan bergerak sendiri-sendiri. Ketika Gabungan Politik Indonesia (Gapi) didirikan pada tahun 1939, PSII (Partai Syarekat Islam Indonesia) hanya bersedia masuk di dalamnya setelah mendapat jaminan bahwa kelompok Salim (Anggota yang sudah dipecat) tidak akan diajak. Sedangkan Komite Kebenaran dari Kartosuwirya berada di luar Gapi dan MIAI.

Pada masa pendudukan Jepang, MIAI kembali didirikan di Jakarta tanggal 5 September 1942, federasi ini kemudian diubah menjadi Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masjumi) pada akhir tahun 1943. Namun baik MIAI maupun Masjumi pada zaman jepang ini tidak meliputi organisasi-organisasi di Luar Jawa karena pemisahan administrasi pemerintahan ketika itu. Anggota anggota MIAI di Jawa pun terbatas pada organisasi-organisasi Islam yang diakui.

Satu perkembangan menarik pada masa ini adalah peluang yang diberikan Jepang terhadap ulama untuk berkiprah dalam bidang politik. Pemerintah juga mendirikan kantor administrasi agama yang berusaha melakukan semua kegiatan tentang Islam. Sejak itu, ulama mulai tertarik untuk bekerja di kantor pemerintahan (pusat dan daerah). Akibat negatifnya adalah berkurangnya jumlah ulama yang memusatkan perhatiannya pada usaha menjaga keperluan rohani umat karena pindah ke kota-kota.

b. Kelahiran Partai Politik Islam
Dari gambaran di atas, terlihat bahwa organisasi Islam yang bergerak di bidang politik telah ada sejak zaman penjajahan, baik Belanda maupun Jepang. Namun untuk menyebut organisasi-organisasi itu sebagai Partai Politik Islam mungkin tidak terlalu tepat, sebab kala itu negara Indonesia belum merdeka.

Sesaat setelah kemerdekaan, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan pengumuman yang mendorong rakyat untuk mendirikan Partai. Meskipun pada awalnya, kalangan Islam menyesalkan pengumuman tersebut dan dianggap tidak tepat waktunya, sebab menurut mereka, pada masa itu yang dikehendaki adalah persatuan rakyat, dan pendirian Partai-Partai dapat memecah belah rakyat, namun akhirnya mereka dapat menerima alasan pemerintah bahwa dengan berdirinya Partai-Partai maka berbagai aliran dalam masyarakat mendapat penyaluran dan dapat dipimpin ke jalan yang teratur. Oleh sebab itu umat Islam merasa berkewajiban mengorganisasikan kekuatan dan tenaganya dalam satu wadah politik sehingga dapat melaksanakan tugasnya dalam bidang politik.

1. Masjumi
Atas dasar itu, diadakanlah Muktamar Islam di Yogyakarta tanggal 7 – 8 November 1945 yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam. Muktamar memutuskan untuk mendirikan majelis Syura pusat bagi umat Islam Indonesia (Masjumi) yang dianggap sebagai satu-satunya Partai politik bagi umat Islam. Pada awalnya, hanya empat organisasi yang masuk Masjumi: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Muhammadiyah termasuk pembaru (modernis) sedang NU tradisional. Dua organisasi lainnya bersifat tradisional dalam soal-soal agama, tetapi cenderung bersikap modern dalam soal-soal dunia sehingga memudahkannya untuk bekerja sama dengan kalangan modernis. Pada tahun 1951 kedua organisasi ini berfusi menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia.

Organisasi-organisasi Islam bergabung dengan Masjumi segera setelah mereka didirikan kembali. Di Jawa, Persatua Islam (PI, Bandung) bergabung pada tahun 1948 dan Al-Irsyad pada tahun 1950. sedangkan dua organisasi dari Sumatera, yaitu al-Jamiatul Washliyah dan al-Ittihadiyah menjadi anggota Masjumi kemudian, setelah hubungan antara Yogyakarta dan Sumatera Utara secara politis pulih.

Pada akhirnya semua anggota istimewa Masjumi putus hubungan dengan Partai. Ini terjadi pada puncak perpecahan antara Soekarno dan Masjumi, Sekurang-kurangnya pada saat ketidakpercayaan Soekarno terhadap Masjumi dan juga sebaliknya meningkat. Masjumi dilihat oleh Presiden pada tahun 1958 bersimpati dengan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia; sebaliknya Soekarno dilihat Masjumi sebagai penguasa yang ingin menegakkan kediktatoran dan yang memberi angin bagi Partai Komunis Indonesia.

Setelah pimpinan Partai masjumi bermusyawarah dengan pimpinan anggota-anggota Istimewa, melepaskan ikatan antara anggota istimewa dan Masjumi (8 September 1959). Kebijakan ini diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan organisasi, sekiranya Masjumi mendapat hambatan dalam geraknya. namun, pada tahun 1960 Masjumi terpaksa dibubarkan oleh perintah Soekarno.

2. Perti.
Partai Politik Perti berasal dari organisasi tradisional Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Tengah. Organisasi ini didirikan di suatu Pesantren di Candung dekat Bukittinggi pada tanggal 20 Mei 1930. Ia merupakan benteng pertahanan golongan tradisionalis terkenal di Minangkabau terhadap penyebaran dan gerakan modern.

Pada masa pendudukan Jepang, Perti banyak terlibat dalam bidang pendidikan dan sosial. Pada tahun 1944, Perti bergabung ke Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi Islam di seluruh Sumatera yang diketuai oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek.

Sehubungan dengan pengumuman pemerintah agar rakyat mendirikan Partai politik, pimpinan Perti memutuskan untuk menjadikan organisasi mereka sebagai sebuah Partai politik. Keputusan ini diamil pada tanggal 22 November 1945 dan diperkuat oleh kongres di Bukittinggi tanggal 22 – 24 Desember 1945. Berbagai alasan Perti berjalan adalah : pertama, kelihatannya mereka tidak cocok berada dalam MIT (yang juga berubah bentuk menjadi Partai politik) dan kemudian dengan Masjumi (sebagai transformasi dari MIT) oleh karena dominasi kalangan modernis yang kurang memperhatikan perasaan dan aspirasi kalangan tradisional di daerah itu. Kedua, para pemimpin Perti cepat melihat pentingnya politik dalam mempertahankan paham agama mereka, dan ini menurut mereka lebih mudah dilakukan dengan mengubah organisasi menjadi Partai daripada berjuang dalam MIT dan Masjumi.

3. Partai Syarikat Islam Indonesia.
Partai Syarikat Islam Indonesia sering membanggakan dirinya sebagai Partai tertua di Indonesia, karena ia memang berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI, 1911) dan Sarekat Islam (SI, 1912). Tetapi sebab langsung Partai tersebut didirikan kembali padahal sebelumnya telah ada kebulatan tekad untuk melihat Masjumi sebagai satu-satunya Partai Islam, ialah usaha formatir Amir Syarifuddin membentuk kabinet pada tahun 1947 yang ingin mengikutkan kalangan Islam tetapi ditolak oleh Masjumi. Rupanya kalangan PSII terpancing oleh ajakan Amir Syarifuddin; mereka bersedia duduk dalam kabinet yang ia bentuk.

Segera sesudah PSII didirikan kembali pada tahun 1947 itu, pimpinan PSII mengeluarkan pengumuman yang mengatakan bahwa PSII tidak ada hubungan atau ikatan dengan Masjumi. PSII masuk kabinet semata-mata berdasarkan tanggungjawabnya terhadap negara yang sedang menghadapi ketegangan yang sangat serta kesulitan besar sehingga Partai merasa perlu menanggulanginya.

4. Nahdlatul Ulama
Organisasi ini didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 sebagai usaha menahan perkembangan paham pembaru dalam Islam di tanah air, serta usaha mempertahankan ajaran tradisional dan mazhab di tanah suci yang baru dikuasai golongan Wahabi di bawah Raja Abdul Aziz ibn Saud.

Perhatian NU dalam bidang politik terlihat kentara pada masa revolusi. Organisasi ini mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan tanah air dari serangan musuh merupakan hal wajib bagi tiap muslim. Pada tahun 1949 ketika mulai tampak jelas bahwa Belanda akan meninggalkan Indonesia, NU memperlihatkan kekurangserasiannya dengan Masjumi. Adanya perubahan dalam anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masjumi dijadikan alasan bagi penarikan diri NU dari Masjumi. Menurut kalangan NU, Masjumi sejak kongresnya di Jogjakarta pada akhir tahun 1949 diubah sedemikian rupa, di mana majelis Syuro yang merupakan tempat penting bagi para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam menjadi anggotanya tidak lagi dijadikan sebagai badan legislatif di samping DPP, melainkan hanya dijadikan badan penasihat saja. Segala persoalan hanya dari jurusan politik saja dengan tidak lagi mengambil pedoman agama.

Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, pengunduran diri NU dari Masjumi ini lebih terkait dengan perebutan jabatan Menteri Agama antara Muhammadiyah (modernis) dengan NU (tradisional). NU bersikeras agar jabatan itu menjadi miliknya yang tidak disetujui oleh pimpinan Masjumi. Ketika akhirnya jabatan itu benar-benar jatuh ke tangan Muhammadiyah, NU memisahkan diri dari Masjumi dan mendirikan Partai politiknya sendiri. Hal ini terjadi pada kongres di Palembang akhir April 1952.

Pada Pemilu tahun 1955, NU mendapat sukses yang luar biasa; dari 8 kursi di DPRS meningkat menjadi 45 kursi dengan 18,4% suara, tepat dibelakang Masjumi (20,9%), Partai Nasional Indonesia (22,3%) dan berada didepan Partai Komunis (16,4%). Partai-Partai Islam lainnya hanya mendapat kurang dari 3% suara.

Pada periode antara tahun 1960 sampai tahun 1965 kekuatan Islam terlibat konfrontasi yang sengit dengan kekuatan PKI yang sejak era Demokrasi terpimpin menjadi lebih agresif dalam mengganggu musuh-musuhnya, terutama umat Islam.

c. Masa Orde Baru.
Pada periode awal pemerintahan orde Baru, kekuatan Partai Islam di tingkat nasional memperlihatkan usaha-usaha untuk menata kembali posisi politiknya. Sepanjang 1968 dan 1969 Partai-Partai Islam mensponsori program-program “hari peringatan Piagam Jakarta” yang diselenggarakan tiap 22 Juni. Suatu hal yang perlu disorot, isu ini kembali merapatkan barisan kekuatan-kekuatan Islam baik NU maupun Parmusi (mantan Masyumi), yang kedudukannya sering dianggap mewakili sayap Islam tradisional dan modernis yang sebelumnya mengalami keretakan.

Namun, keinginan para pemimpin Partai Islam untuk merehabilitasi kembali Masyumi mulai mengambang setelah Soeharto menolaknya pada tanggal 6 Desember 1967. Berbagai usaha dilakukan oleh pemimipin Islam untuk melakukan konsolidasi Partai Islam, Namun mereka mulai merasakan justru mulai mendapat tekanan dari pemerintah Orde Baru. Keadaan itu tentu saja menyengat perasaan umat Islam, terutama kalangan aktifis politik Islam, karena berbagai tekanan dan larangan itu justru berasal dari pemerintah Orde Baru yang tokoh-tokohnya telah mereka bantu dalam masa penumbangan Orde Lama. Terjadinya kesenjangan harapan dan kenyataan yang mereka hadapi itulah yang menjadi salah satu sebab meluasnya konfrontasi kekuatan politik Islam dengan negara pada dua dekade pertama Orde Baru.

Sebagai bagian dari desain restrukturisasi politik Orde Baru, negara memandang perlu meneruskan pengendalian Partai politik melalui penyederhanaan jumlah Partai politik yang ada. Penyederhanaan dilakukan dengan cara pengelompokan (regrouping) dari sepuluh kontestan Pemilu menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok spritual-material; kedua, kelompok material spritual; dan ketiga adalah kelompok karya.

Setelah sempat mendapat ganjalan karena penolakaan dari PKI dan Parkindo untuk masuk dalam kelompok sprituil, akhirnya disepakati pada tahun 1970 terbentuk dua koalisi di DPR. Pertama, kelompok Nasionalis yang merupakan gabungan dari PNI, PKI, Murba, Parkindo, Partai Katolik, dan kedua, kelompok sprituil yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.

Setelah melalui serangkaian perundingan dan musyawarah, pada tanggal 5 Januari 1973, di Jakarta berhasil disepakati pendirian Partai dengan nama Partai Persatuan Pembangunan. Dalam “konfederasi” Partai-Partai Islam yang baru itu terlihat adanya kompromi maksimal dari unsur-unsur yang berfusi, ditandai dengan upaya pengalokasian kekuasaan Partai berdasarkan perolehan suara pada pemilu 1971.

Pada awal dekade 1980-an, rezim Orde Baru memaksa NU mengambil pilihan yang jelas antara oposisi atau akomodasi. Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 1982 untuk pertama kalinya mengemukakan gagasannya untuk menerapkan pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh kekuatan organisasi sosial dan politik di Indonesia.

Muncul reaksi yang beragam dari berbagai kalangan umat Islam atas rencana tersebut. PB HMI pada awalnya melakukan penolakan, namun akhirnya melunak setelah KAHMI yang dikontrol oleh Nurkholis Majid Cs. mengimbau kongres HMI tahun 1986 agar tidak berbenturan dengan masyarakat dan pemerintah. Muhammadiyah bersikap menunggu hingga RUU Parpol dan Ormas disahkan, dan hanya mengusulkan penegasan bahwa “Pancasila bukan Agama dan Agama tidak diPancasilakan”. Sementara reaksi penolakan muncul dari pemimpin-peminpin masyarakat di kota-kota besar, terutama di Jakarta. Tragedi Tanjung Priok yang hingga kini belum dapat diselesaikan secara penuh merupakan ekses dari penolakan ini.

Di tengah meluasnya keragu-raguan dan penolakan sebagian umat Islam, NU membuat kejutan dengan menerima azas tunggal. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penerimaan ini. Pertama, terjadinya kemelut internal PPP di sekitar Pemilu 1982 telah merembet ke tubuh NU hingga masing-masing fraksi yang bertikai saling memperebutkan dukungan pemerintah. Kedua, munculnya tantangan yang luas di masyarakat terhadap rencana azas tunggal mengakibatkan kelompok mana yang lebih dulu menerima, memiliki bobot politis yang besar, ini berarti merupakan kesempatan gerakan “pemikiran baru” di NU untuk memperoleh kepercayaan kembali negara terhadap NU.

Akhirnya, munas NU di Situbondo berhasil mengambil keputusan strategis menyangkut kembalinya NU sebagai organisasi sosial secara penuh yang berarti melepaskan dirinya secara organisatoris dengan PPP. Langkah ini kemudian dikenal sebagai kembali ke Khittah 1926. Dengan diterimanya Pancasila sebagai azas tunggal oleh Partai-Partai politik Islam, maka dapat dikatakan parta-Partai Islam sudah tidak ada lagi sejak saat itu.

III. Fenomena menarik
Salah satu isu menarik dalam perkembangan Islam di Indonesia di masa modern adalah kembali berkiprahnya Partai-Partai politik Islam dalam pemilihan umum. Ada dua macam Partai yang dapat disebut sebagai Partai Islam, yaitu; pertama, Partai yang berazaskan Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK, yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera, PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Nahdatul Ummah (PNU, yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia, PPNUI), kedua, Partai yang tidak mencantumkan Islam sebagai azaznya tetapi konstituen utamanya adalah umat Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang konstituennya adalah warga NU, dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang konsituan utamanya adalah warga Muhammadiyah.

Fenomena munculnya kembali Partai-Partai politik Islam ini sangat menarik, sebab hampir selama masa rezim Orde Baru, Praktik politik selama rezim orde baru sangat didominasi oleh pendekatan refresif. Sepanjang periode ini, rezim orde baru memberikan pengawasan ketat terhadap pergerakan dan Partai politik Islam.

Fenomena munculnya kembali Partai-Partai politik Islam dalam dua Pemilihan Umum terakhir (sebelum 2008) menarik perhatian banyak kalangan, apalagi kehadiran mereka di kancah perpolitikan nasional ternyata tidak hanya menjadi penggembira saja, tetapi justru menjadi pendulang suara rakyat yang patut diperhitungkan. Terbukti dalam dua kali pemilihan umum 1999 dan 2004, meskipun belum berhasil menjadi pemenang, tetapi kursi ketua MPR selalu menjadi milik Partai-Partai Islam, pertama oleh Amin Rais dari PAN dan kedua Hidayat Nurwahid dari PKS. Kita tentu masih akan terus menanti-nanti gerakan apalagi yang akan dilakukan oleh Partai-Partai politik Islam di masa-masa akan datang. Mungkinkah Partai-Partai ini akan menjadi saluran aspirasi dan dipilih oleh mayoritas umat Islam di negeri ini, ataukah Partai-Partai ini hanya akan menjadi penggembira saja di kancah perpolitikan Nasional.

IV. Soekarno dan Parpol Islam
Pada periode pemerintahan soekarno, dikenal sebuah peristiwa dekrit dimana pada dasarnya Partai-Partai Islam yang ada menentang dikeluarkannya dekrit tersebut. Namun pada tanggal 5 juli 1959 secara resmi dekrit tersebut dikeluarkan dengan “terpaksa” dan dimulailah periode demokrasi terpimpin. Dekrit tersebut menyatakan berlakunya kembali UUD 45 sebagai pengganti UUD 1950 yang dinyatakan telah habis masa berlakunya. Melalui dekrit itu juga, majelis konstituante dibubarkan karena dinilai tidak mampu merampungkan tugas, terutama dalam menetapkan dasar pancasila ataupun Islam. berakhirnya era demokrasi parlementer dan dimulainya suatu tatanan politik yang disebut era Demokrasi terpimpin, pada gilirannya memberikan peluang terjadinya konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden Soekarno.

Sekalipun dekrit tersebut dikeluarkan untuk menembus jalan buntu konstitusional, pada kenyataannya lebih menguntungkan kelompok pendukung pancasila ketimbang kelompok Islam, sekalipun kelompok terakhir sampai pada batas tertentu masih didengar tuntutannya. Spontan setelah dikeluarkannya dekrit tersebut, mereka terpecah menjadi dua kelompok, Masjumi menilai bahwa sistem demokrasi terpimpin otoriter, sistem demikian merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, NU, PSII dan Perti yang tergabung dalam Liga Muslimin menilai dukungan terhadap sistem ini sebagai sikap yang realistik dan pragmatik.

Dr. Syafi’i Ma’arif membenarkan bahwa, Pendekatan akomodatif Partai-Partai Islam terhadap sistem politik demokrasi terpimpin ditafsirkan oleh sebagian pemimpin Islam sebagai penyimpangan dari prinsip-prinsip perjuangan dalam Islam. Tapi pemimpin muslim yang turut dalam sistem tersebut berpendapat bahwa partisipasi mereka bila dilihat dari sisi pandangan politik, hanyalah suatu sikap realistis dan pragmatis dalam menghadapi sistem otoriter.

Secara serius atau sebaliknya posisi politik Islam selama periode (soekarno) relatif lemah, (minoritas) meskipun pemeluk Islam di Indonesia adalah mayoritas.

Dengan demikian, Soekarno memiliki peran secara tidak langsung terkait dengan perpecahan dalam tubuh Partai politik Islam. Peran tersebut lebih didorong oleh upaya dan kepentingan politiknya, termasuk dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Sementara telah terjadi friksi dalam tubuh umat Islam sehingga kondisi demikian mampu ditangkap dan dimanfaatkan untuk melemahkannya.

V. Cita-cita Partai Politik Islam
Jika kita melihat kancah perpolitikan di Indonesia saat ini, sungguh sangat memprihatinkan, selain pemahaman tentang demokrasi yang jauh dari cita-cita terminologi demokrasi itu sendiri, perilaku elit politik dan praktisi hukum juga jauh dari kesan mendahulukan kepentingan negara dan bangsa secara umum, yang ada hanyalah kebijakan-kebijakan yang cenderung menguntungkan satu kelompok atau golongan, mafia hukum dan rekayasa-rekayasa politik seperti yang terjadi pada praktek demokrasi di negara-negara sekuler yang pada intinya jauh dari tujuan demokrasi.

Berangkat dari realita semacam itu, penulis menilai perjuangan pemimpin-pemimpin Islam dengan cara mendirikan Partai politik yang berbasis dan berideologi Islam sangat dibutuhkan, karena selain untuk melegalkan gerakan dakwah Islam juga untuk mengimbangi kebijakan-kebijakan penguasa diktator. Setidaknya ada beberapa cita-cita mengapa Partai Islam berdiri.

1. Pengaruh negatif penguasa-penguasa diktator terhadap perkembangan dakwah Islam secara umum, kebebasan beribadah secara khusyu’ dan benar serta penegakan syari’at Islam secara khusus, ini semua dikarenakan umat Islam berada di bawah bayang-bayang penguasa atau pemimpin dzalim bahkan kafir. Allah swt. Telah melarang kita menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, dalam firman-Nya Allah berfirman:.
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan hanya kepada Allah kembalimu.” (QS. Ali Imran:28)

Pada kenyataanya, meskipun di sebagian negara sekuler umat Islam diberikan keleluasaan untuk menjalankan ibadah sesuai ajaran Islam, akan tetapi pada wilayah tertentu umat Islam tidak mendapatkan peran yang pada hakikatnya wilayah (di mana umat Islam dilarang mendekatinya) itu merupakan inti atau kepala yang mampu melegitimasi dan menjamin kebebasan umat Islam menjalankan agamanya secara sempurna, dengan kata lain kepala itu adalah kekuasaan dan otoritas yang akan melindungi dari kemungkinan intimidasi dari pihak penguasa atau kelompok pro penguasa. Telah terbukti pada rezim orde baru para da’i tidak diberikan kebebasan untuk bertemu dan berinteraksi secara terbuka dan langsung dengan semua objek dakwah. Otoritariarisme dan kediktatoran membuat dakwah (di Indonesia) masa itu tidak bisa bernafas lega. Di sana tidak ada tempat bagi ekspresi yang lepas. Kondisi seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia, sebagaimana yang kita tahu di sebagian negara-negara mayoritas muslim tak jauh berbeda keadaannya.

Realitas seperti ini tidak bisa kita pungkiri lagi, dan telah terjadi didepan mata kita sendiri. Banyak contoh yang bisa kita ambil salah satunya adalah pelarangan mahasiswi muslim memakai jilbab (yang merupakan jati diri wanita muslimah) saat memasuki areal kampus di beberapa negara sekuler, meskipun mereka (mahasiswi muslim) tidak dilarang beragama Islam akan tetapi haknya sebagai seorang penganut ajaran Islam telah diintimidasi dan kebebasan menjalankan agamanya ternodai, lalu siapa yang bertanggung jawab?

Penjajahan terselubung terhadap negara-negara ketiga, secara khusus kita ambil contoh tindakan dan perilaku Israel terhadap negara Palestina dan sekitarnya, banyak kemungkinan alasan mengapa mereka (Israel) tidak mau mundur sedikitpun dari tanah Yerussalem, mulai dari alasan menggali harta karun warisan Nabi Sulaiman as. (dengan segala kontroversinya), mengambil kitab-kitab sihir (yang keduanya mereka yakini berada di bawah masjid al-aqsha), sampai cita-cita turun temurun mendirikan kerajaan Yahudi di Yerussalem. Tindakan orang-orang Israel yang sedemikian merajalela terhadap rakyat Palestina (pada hakikatnya umat Islam), tidak mendapatkan pertentangan yang berarti dari negara-negara adidaya dan Eropa secara umum, yang terjadi bahkan negara-negara arab dan mayoritas Islam tak banyak berkutik ketika dibenturkan dengan konflik seperti ini, meskipun hanya sekedar memberi bantuan materil berupa makanan, pakaian dan obat-obatan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengaruh dunia Islam pada tatanan diplomasi dan peranannya dalam lingkup dunia international, walaupun konflik-konflik itu sendiri terjadi di tanah mereka (dunia Islam). Dari sinilah perlunya mengembalikan kekuasaan Islam yang sempat berjaya hingga 1923 M, Meskipun bentuknya tidak seperti sistem khilafah Islamiyah, minimal umat Islam memiliki pemimpin berakhlak Islami yang kebijakannya diperhitungkan dan tidak hanya menjadi peran pinggiran dalam literatur negara.

Menyinggung soal nama pemimpin Islam, Muhammad Natsir dalam kapita selekta berpendapat bahwa titel khalifah tidak menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine quo non. Akan tetapi orang yang diberi kekuasaan memimpin negara mampu bertindak secara bijaksana dan menjalankan hukum-hukum Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan kenegaraan, baik secara kaidah maupun praktek. Bagi beliau syarat menjadi pemimpin negara Islam adalah agama, sifat, akhlak, tabiat dan kecakapannya dalam memegang kekuasaan yang diamanahkan kepadanya.

2. Pengejawantahan  Islam sebagai agama universal dan komprehensif, melihat hajat manusia abad ini, tidak bisa dihindari lagi bahwa kehidupan berdemokrasi begitu menjamur terutama mereka yang hidup di negara-negara maju, oleh karenanya maka sebagian politisi muslim berpendapat bahwa, daripada bersikap bermusuhan sementara pada kenyataannya hajat hidup manusia berada dalam lingkup demokrasi, lebih baik kita memanfaatkan beberapa bagian demokrasi yang sesuai dengan sistem syura (sebuah sistem yang diyakini otentik dari ajaran Islam) seperti sistem perwakilan dan sistem pemilihan. Anis Matta melihat bahwa bukanlah sikap yang bijaksana apabila para da’i menjauhkan diri dari sistem politik, karena itu berarti kita telah membiarkan masalah utama yang mengatur hajat hidup orang banyak dipegang oleh para sekularis.

Masih menurut Anis Matta di dalam bukunya “menikmati Demokrasi”. Negara mana di dunia ini yang bekerja tanpa demokrasi di dalamnya? Sistem perwakilan, pemilihan umum, penetapan hukum berdasar suara terbanyak atau konsensus telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kenegaraan. Negara-negara paling maju di dunia kebanyakan adalah negara pelaku demokrasi, bangunan sistem berbalut kapitalisme ini telah menunjukkan kepada dunia tentang apa arti kebebasan berpikir, berpendapat, dan beragama. Kebebasan adalah isu yang paling sentral. Ada dua sikap ekstrim tentang demokrasi, ada yang begitu memujanya sebagaimana pernyataan Francis Fukuyama dalam bukunya “The End of History”, tetapi disisi lain ada yang memandang sistem ini sebagai penyebab hancurnya sistem kemanusiaan.

3. Menampilkan wajah Islam dalam berdemokrasi.
Ketika kita menyinggung masalah politik, maka yang terlintas di benak kita adalah wajah politik yang suram, kotor, penuh tipudaya dan kecurangan. “Tidak ada politik yang bersih” menjadi sebuah pernyataan yang seakan-akan telah paten di otak sejak kita dilahirkan ke dunia, maka berangkat dari itulah penulis menilai bahwa tidak ada “kotoran” yang tidak dapat dibersihkan, dengan kata lain setiap sesuatu yang kotor harus dibersihkan. Hal ini tentu saja kembali kepada individu-individu (praktisi) yang menjalankan politik dan demokrasi itu sendiri, bagaimana para politisi Islam itu mengaplikasikan Akhlaqul Karimah dalam kehidupannya berpolitik dan berdemokrasi, sehingga ada dampak positif pada setiap keputusan dan kebijakan politiknya.

Dr. Yusuf Qordhawi menyatakan bahwa, disana terdapat dua sifat yang disyaratkan Islam bagi setiap orang yang akan mengemban suatu pekerjaan.

Pertama: Mampu mengemban pekerjaan ini dan mempunyai pengalaman di bidangnya (kompeten). Kedua: Amanah. Dengan sifat amanah inilah suatu pekerjaan akan terpelihara dan pelakunya akan takut kepada Allah Ta’ala. Itulah yang diungkapkan oleh al-Qur’an melalui lisan Nabi Yusuf as:
“Artinya : Berkata Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi ber­pengetahuan” [Yusuf : 55]

Juga dalam kisah Musa as, melalui lisan puteri seorang yang sudah tua renta:
“Artinya : Karena sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” [Al-Qashash: 26]

Dengan demikian, kekuatan dan ilmu memerankan sisi intelektual dan profesional yang menjadi syarat suatu pekerjaan, sedangkan kemampuan menjaga dan amanat mencerminkan sisi moral dan mental yang memang dituntut pula untuk keberhasilannya.

Diantara poin demokrasi yang sesuai dengan Islam adalah sistem Syura. Syura atau musyawarah adalah bagian penting dari kehidupan berdemokrasi, musyawarah dilakukan untuk mencari jalan keluar dari permasalahan-permasalahan rumit, dengan cara mufakat atau pengambilan suara mayoritas. Di dalam Islam, konsep musyawarah telah diperintahkan secara jelas dan telah dipraktekkan dalam kehidupan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan para sahabatnya, sebagaimana firman Allah swt. Dalam al-qur’an:
“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup didunia; dan apa yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhannya, mereka bertawakkal, dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatanperbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi mnaf Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Asy Syura: 36-38)

Serta beberapa peristiwa penting dalam sejarah kekhilafahan Islam, seperti proses pengangkatan Abu Bakar Radliyallahu ‘Anhu sebagai khalifah pertama setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat.

Di sinilah pentingnya menampilkan kepada masyarakat demokrasi bahwa di dalam Islam telah ada konsep musyawarah sebagai salah satu nilai kemanusiaan yang harus dipegang teguh. Poinnya adalah, bahwasanya musyawarah memiliki makna penting di dalam kehidupan manusia baik secara individu, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.

4. Upaya mengintegrasikan kebenaran dengan legalitas.
Kita memang bebas berdakwah, tapi para pelaku kemungkaran juga bebas melakukan kemungkaran. Yang berlaku di sini (demokrasi) bukan hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal, walaupun salah. Dan sesuatu yang benar tapi tidak legal adalah salah. Begitulah aturan main demokrasi. Karena itu, masyarakat demokrasi cenderung bersifat eufimistis, longgar, dan tidak mengikat.

Yang kemudian harus kita lakukan adalah bagaimana mengintegrasikan kebenaran dengan legalitas. Bagaimana membuat sesuatu yang salah dalam pandangan agama menjadi tidak legal dalam pandangan hukum positif. Secara terbalik, itu pulalah yang dilakukan para pelaku kejahatan.

Maka, penetrasi kekuasaan dalam negara demokrasi harus dilakukan dengan urutan-urutan begini. Pertama, memenangkan wacana publik agar opini publik berpihak kepada kita, inilah kemenangan pertama yang mengawali kemenangan-kemenangan selanjutnya. Kedua, formulasikan wacana itu ke dalam draft hukum untuk dimenangkan dalam wacana legislasi melalui lembaga legislatif. Kemenangan legislasi ini menjadi legitimasi bagi negara untuk mengeksekusinya. Ketiga, pastikan bahwa para eksekutif pemerintah melaksanakan dan menerapkan hukum tersebut.

Jadi, itulah tiga pusat kekuasaan dalam negara demokrasi : wacana publik, legislasi, dan eksekusi.

Demikianlah dakwah harus bekerja di era demokrasi Ada kebebasan yang kita nikmati bersama. Tapi, juga tersedia ”cara tersendiri” untuk mematikan kemungkaran dan melakukan penetrasi kekuasaan. Anggaplah ini sebuah seni yang harus dikuasai para politisi dakwah.

Penutup
Islam menyeru kepada kita untuk berjuang dan berusaha untuk membebaskan diri dan orang-orang yang tertindas di bumi ini dari cengkeraman para penindas, penjajah dan diktator. Allah swt. berfirman:
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik dari laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zhalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau.” (An-Nisa’: 75)

Apabila manusia tidak mampu untuk keluar dari tekanan dan penindasan, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak hijrah dari kampung halaman mereka, dan tidak alasan untuk menerima kehinaan, serta tetap di bawah cengkeraman kezhaliman dan kediktatoran. Al-Qur’an telah memberi ancaman yang keras bagi orang yang rela untuk hidup terhina dan menyerah, di mana ia tidak termasuk orang yang memerangi, dan tidak pula termasuk orang yang berhijrah bersama Muhajirin. Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah).” Para Malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan õidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaaf lagi Maha Pengampun.” (An-Nisa’: 97-99)

Sesungguhnya orang yang memberikan haknya kepada Islam berupa pemahaman dan merenungkannya akan mendapatkan bahwa sesungguhnva inti dari semuanya adalah tauhid.

Tauhid adalah “ruh eksistensi Islam,” tauhid merupakan asas pemikiran dan asas fiIsafat yang merealisasikan prinsip kebebasan, persaudaraan dan persamaan secara keseluruhan. Kalimat tauhid adalah kalimat “Laa ilaaha illallah” yang berarti menggugurkan orang-orang yang mengaku tuhan dan yang diktator di bumi dan menurunkan mereka dari singgasana Rubbubiyah palsu dan kesombongan (merasa tinggi) di atas makhluk sesamanya menuju persamaan hak antar manusia seluruhnya dalam beribadah kepada Allah. Wallahu A’lam Bi Ash-Shawab.

*Penulis adalah mahasiswa Al-Azhar, fakultas Ushuluddin, jurusan Da’wah Tk. IV
Bagikan:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright 2008-2013 DPC PPP Kabupaten Tegal | Design by Eko Mahendra Ridho | Powered by Blogger.com.