PPP: “Rumah Besar” Ummat yang
Ditinggalkan Penghuninya (1)
“Sejauh Anda merasa masih
hijau, Anda akan terus tumbuh. Begitu Anda merasa sudah matang, Anda mulai
membusuk”, Scott Horton.
Oleh: Syamsir Alam*
Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dapat dikatakan sebagai salah satu fenomena ‘janggal’, karena partai
Islam di negara yang menurut statistik berpenduduk mayoritas beragama Islam itu
pada Pemilu 2009 yang lalu hanya mampu meraih 5,33 persen suara. Di bawah
kepemimpinan Drs. Suryadharma Ali MSi, yang sekarang menjabat Menteri Agama,
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), terobsesi kembali menjadi rumah besar untuk
menampung kepentingan politik Islam di Indonesia. Pada Musyawarah Kerja
Nasional (Mukernas) I PPP di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur,
Selasa 21 Februari yang lalu, PPP berani menargetkan meraih suara minimal 10
persen dalam pemilu 2014.
Melihat hasil Pemilu 2009 lalu,
bukan saja diratapi banyak orang karena amburadulnya DPT (daftar
pemilih yang tercatat) yang mengkibatkan 40 juta pemilih kehilangan suara,
tetapi, juga kian terpuruknya partai Islam termasuk PPP. Baru kali ini parpol
Islam tidak mampu menembus tiga besar yang sejak pemilu 1955 selalu mereka
tempati. Sebagai partai kecil, yang dari survei perilaku masyarakat sebuah
lembaga survei independen nampak semakin turun pemilihnya, PPP bisa
tereliminasi dari parlemen (DPR) bila ambang batas parlemen (parliamentary
threshold) Pemilu 2014 mendatang jadi naik menjadi 5 persen. Untunglah,
nilai ambang batas tersebut hanya menjadi 3,5 persen yang mungkin dapat
dilewati PPP.
Persatuan rapuh yang
dipaksakan
Sejak semula sudah terbayangkan,
PPP yang dibentuk pada 5 Januari 1973 berdasarkan fusi atau penggabungan
‘paksa’ dari partai-partai Islam –Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin
Indonesia (Parmusi), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)– nantinya akan pecah kembali menunggu
peluang yang tepat. Kebijakan fusi tersebut dilakukan
Presiden Soeharto untuk menyederhanakan jumlah partai politik dari 10 menjadi
2, agar lebih mudah mengontrolnya untuk memenangkan Golongan Karya (Golkar)
sebagai ‘partai’ ke-3 yang didukung pemerintah.
Awalnya, sebagai satu-satunya
wadah aspirasi politik bagi kelompok Islam, dengan mengusung lambang Ka’bah,
pada Pemilu 1977 PPP mendapatkan keuntungan dengan mencapai 29,29 persen suara,
dan hanya turun sedikit pada Pemilu 1982 menjadi 27,78 persen. Konon, lambang
Ka’bah yang menjadi daya tarik PPP tersebut merupakan hasil istikharah politik
yang dilakukan KH Bisri Syamsuri, Rais Aam PBNU waktu itu.
Walaupun cuma menjadi peringkat
kedua setelah Golkar, perolehan suara PPP dianggap cukup mengancam dan membuat
Soeharto merasa terusik, sehingga harus melakukan tindakan represif untuk
mengemboskannya. Pertama, Soeharto memberlakukan azas tunggal Pancasila,
sehingga tahun 1984 PPP harus mengganti lambang politiknya menjadi Bintang.
Selain itu, masalah jatah kursi di parlemen untuk partai-partai yang berfusi
mudah dikembangkan menjadi bibit perselisihan internal. Menjelang Pemilu 1987,
NU aktif melakukan kampanye pengembosan PPP. Hasilnya sangat nyata, pada Pemilu
1987 perolehan suara PPP nampak turun drastis menjadi 15,97 persen, dan turun
lagi sedikit pada Pemilu 1992 sampai 14,59 persen.
Setelah jatuhnya Orde Baru, pada
Pemilu 1997 dengan menggunakan kembali lambang politiknya, gambar Ka’bah, PPP
berhasil meraih 22,43 persen suara. Namun, pada Pemilu 1999 walaupun
menggunakan kembali lambang politiknya dengan gambar Ka’bah, perolehan suara
PPP anjlok kembali menjadi 10,71 persen, karena keluarnya sejumlah tokoh yang
menjadi pilar-pilar PPP. Mereka membentuk partai baru yang langsung menjadi
saingan, walaupun tidak menyebut sebagai partai Islam, yaitu: Abdurrahman
Wahid dengan massa NU membentuk PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), Yusril
Ihza Mahendra dengan massa Masyumi membentuk PBB (Partai ), dan Amien Rais
dengan massa Muhammadiyah membentuk PAN (Partai Amanat Nasional).
Setelah itu, PPP terus menurun
pada Pemilu 2004 hanya meraih 8,14 persen dan turun lagi pada Pemilu 2009
menjadi 5,33 persen. Ternyata PPP mengulangi nasib Masyumi, gabungan organisasi
massa Islam yang mampu meraih 42,6 persen suara pada Pemilu tahun 1955. Namun
setelah itu muncullah masalah internal yang membuat perolehan gabungan partai
Islam terus merosot, seiring dengan pecahnya partai-partai yang sudah
kecil-kecil itu menjadi semakin kecil lagi yang nyaris hilang pengaruhnya.
Bahkan, gabungan perolehan beberapa partai Islam pada Pemilu 2004, hasilnya
tidak lebih dari 18 persen pemilih. Walaupun eksis, partai-partai Islam hanya
sebagai pemain latar mendamping tiga besar Partai Demokrat, PDIP dan Golkar.
Merupakan fenomena menarik,
partai-partai Islam yang baru muncul setelah reformasi dengan penuh optimis
untuk meraih banyak suara, ternyata dalam kenyataannya pun sekarang
megap-megap. Untuk mendapatkan tambahan suara, sebagian di antaranya sudah
menyatakan untuk menjadi partai terbuka (PKS) atau sejak semula di-set sebagai
partai Islam yang membuka diri bagi masuknya ‘orang lain’ yang non-Islam (PKB
dan PAN). Sebagian besar lainnya sudah tenggelam dalam ambang batas parlemen (parliamentary
treshold) Pemilu 2009 yang 2,5 persen dari suara nasional.
Sejak semula organisasi
Islam di Indonesia pun sudah gemar berpecah belah
Pada Pemilu 1955 terdapat 4
partai Islam yang bertarung memperebutkan pemilih dari umat Islam, yaitu
Masyumi, NU, PSII dan Perti. Hasilnya, Partai Nasional Indonesia (PNI)
menempati urutan teratas (22,3%), disusul oleh Masyumi dan NU pada urutan kedua
(20,9%) dan ketiga (18,4%), PKI pada urutan keempat, PSII kelima, dan Perti di
urutan kesepuluh. Total perolehan partai Islam tersebut adalah 44% dari
pemilih, kalah dari total peroleh partai sekuler (PNI, PKI, PSI, Murba dan
lainnya).
Sekolah modern di era kebangkitan
bangsa itu telah membuat kubu Islam di Indonesia terbelah menjadi tiga kelompok
yang berbeda visi, antara (1) Islam tradisional, yang akomodatif terhadap
nilai-nilai budaya lokal, dengan sekolah pensantren (kubu NU, dan Perti), (2)
Islam modern, sebagai pembaru yang berusaha membersihkan Islam dari segala bid’ah
unsur lain yang dianggap sebagai penyebab Islam tertinggal dalam kemajuan dunia
Barat, dengan sekolah umum berdasarkan Islam (kubu Muhammadiyah, Persis, dan
Al-Irshad), dan (3) di luar kedua kubu tersebut berada Islam sekuler yang
setuju dengan modernisasi Barat, dengan sekolah umum pendidikan Belanda.
Karena itu, dilema yang dihadapi kelompok Islam yang
memilih partai Islam sebagai wadah untuk memperjuangkan visi mereka mengenai
cara mengatur negara dengan hukum syariat, adalah menerima atau tidak negara
Indonesia dengan azas Pancasila ini sebagai negara sekuler. Walaupun mayoritas
dalam segi jumlah pemeluk agama Islam, tetapi dari segi pemahaman agama jumlah
mereka yang fanatis untuk tetap memperjuangkan berlakunya syariat Islam,
ternyata hanya minoritas saja. Menurut Abdurrahman Wahid, NU pada Muktamar
tahun 1935 di Banjarmasin menganggap untuk melaksanakan syariat Islam tidak
wajib adanya sebuah negara Islam, namun juga tidak menolak (Media Indonesia, 24
Januari 2007).
*Disusun untuk
sociopolitica, oleh Syamsir Alam. Mantan aktivis
mahasiswa era Orde Baru.