PPP: “Rumah Besar” Ummat yang
Ditinggalkan Penghuninya (2)
Oleh: Syamsir Alam*
Ada dua ganjalan bagi tokoh
politik yang mengusung isu Islam tersebut, yaitu pertama adalah tidak
dicantumkannya syariat Islam sebagai dasar negara, bahkan dicoret dari yang
sebelumnya disetujui termuat sebagai Piagam Jakarta dalam Mukadimah UUD 1945.
Kedua, ada kelompok Islam yang terlatih militer dan berjasa dalam perang
kemerdekaan, dikenal sebagai laskar rakyat atau Hizbullah, tidak dapat menerima
penyeragaman menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga memilih untuk
tetap sebagai Tentara Islam Indonesia (TII). Puncaknya, pada 3 Agustus 1949,
S.M. Kartosuwiryo memproklamirkan Darul Islam (DI), atau disebut juga sebagai
Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan tersebut diikuti oleh beberapa daerah,
misalnya Aceh, yang kemudian menjadi stigma yang sulit dihilangkan.
Hal itu, didorong pula oleh sikap
penguasa yang memperlakukan kelompok Islam sebagai kelompok sosial dan
keagamaan yang perlu diawasi, karena dianggap terus berusaha membentuk negara
Islam, sehingga mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk ikut berperan secara
wajar. Persepsi tersebut “diwarisi” dan melekat pada penguasa Belanda dari
pengalaman mereka menghadapi perang “kemerdekaan” yang umumnya dilakukan oleh
kelompok (kebetulan) Islam. Karena itu, baik Orde Lama maupun Orde Baru,
terutama militer, menerapkan pola kebijaksanaan yang dipakai Belanda tersebut,
yaitu bersikap toleran dan bersahabat terhadap Islam sebagai kelompok sosial
dan keagamaan. Namun sikap itu segera berubah menjadi keras dan tegas ketika
Islam mulai memperlihatkan tanda-tanda sebagai kekuatan politik, yang dianggap
dapat menentang kehendak penguasa. Masyumi, salah satu partai Islam yang tidak
ikut mengutuk DI-TII, mulai tersingkir dari pusat kekuasaan yang dipegang oleh
Soekarno (Bung Karno).
Dengan semakin berkuasanya Bung
Karno dengan jargon tiga pilar utama kubu nasionalis, agama dan komunis
(Nasakom) yang diisi oleh PNI, NU dan PKI, maka Masyumi semakin tersingkir, dan
mendapat stigma Islam radikal anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terutama setelah ikut terlibat dalam peritiwa
pemberontakan PRRI/Permesta pada awal tahun 1958, yang menjadi alasan
pemerintahan Soekarno membubarkan Masyumi. Mungkin, sikap Masyumi itu
ditafsirkan sebagai kelompok Islam fanatik, yang melihat partai (hizb)
sebagai wadah untuk melaksanakan misi menuntaskan ajaran Islam sepenuhnya dalam
segala bidang kehidupan. Bahkan, pada era Orde Baru namanya tidak boleh dipakai
lagi, walaupun sudah berganti dalam bahasa Indonesia menjadi Persaudaraan
Muslim Indonesia (Parmusi) yang didirikan tahun 1968 di Malang.
Seperti dulu, Masyumi dibentuk
Jepang, maka dalam restrukturisasi sistem kepartaian Soeharto tahun 1973, Orde
Baru pun membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai satu-satunya
wadah politik bagi kelompok yang menginginkan formalitas Islam, suatu wadah
yang sangat labil untuk fusi empat partai yang berbeda visi (Parmusi, NU, PSII
dan Perti) sebagai suatu partai. Dengan mengusung lambang Ka’bah, pada Pemilu
1977 PPP hanya memperoleh 29 persen suara di tingkat nasional, dan turun
sedikit pada Pemilu 1982 menjadi 28 persen. Masalah jatah kursi di parlemen
kembali menjadi soal, menjelang Pemilu 1987 NU aktif melakukan kampanye
pengembosan PPP, sehingga hasilnya perolehan PPP hanya 16 persen saja lagi.
Pada Pemilu 2004 banyak yang
memperkirakan PPP akan kehilangan pemilih, karena pendukung utama partai ini
(unsur Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) mendirikan partai sendiri (PAN dan
PKB). Ditambah lagi dengan munculnya partai-partai Islam lain (PKS), dan
sempalan PPP sendiri (PBR). Namun, kenyataannya PPP masih tetap berjaya dengan
posisi tiga besar dalam perolehan kursi di DPR (Imam Prihadiyoko, Krisis
Partai Pascapemilu Reformasi, Kompas, 9 Mei 2006).
Mengapa partai Islam baru
banyak yang mengacu pada partai terbuka?
Apakah partai politik Islam
memang tidak menarik di negeri ini, karena faktanya dua pendekar politik Islam,
Abdurrahman Wahid dan Amien Rais, justru membentuk partai terbuka (PKB dan
PAN). Namun, hasilnya pun tidak banyak berubah, karena pada keduanya melekat
erat citra sebagai tokoh politik Islam yang biasanya tertutup. Bahkan dianggap
menyimpang dan tidak membawakan aspirasi organisasi, sehingga muncul lagi
tandingannya. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) untuk memperjuangkan
para kiai yang kecewa, dan Partai Matahari Bangsa (PMB) oleh kader muda
Muhammadiyah yang kecewa.
Atau, benarkah seperti kata
pengamat politik dari Amerika Serikat John L Esposito, partai Islam tidak perlu
diperhitungkan lagi? Selain popularitas mereka yang menurun, juga mereka akan
hancur sendiri begitu berkuasa akibat saling berebutan jatah kursi, seperti
yang biasanya sudah terjadi. Mereka tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk
membuktikan janji-janji Islam (Sabili, Februari 2007).
Satu aksioma yang nyaris menjadi
dalil (kenyataan), adalah bahwa dapat dipastikan suatu partai Islam yang
diawali dengan idealisme yang muluk, tidak akan bertahan lama atau segera pecah
dalam hitungan tahun tidak lebih dari 5 tahun. Selama ini terbukti, partai
Islam terbentuk karena momentum (ada musuh bersama) atau dibentuk (paksaan dari
penguasa), sehingga tidak mempunyai akar yang kuat. Partai Islam yang ada
sekarang umumnya adalah partai yang dibuat oleh orang-orang yang kebetulan Islam,
melihat peluang dengan berbagai kepentingan berbeda, mencoba membuat kesamaan
tujuan yang setelah berjalan baru ketahuan berbeda persepsi arah, sehingga
langsung berpisah kembali.
Tidak ada perbedaan mendasar
antara Partai Bulan Bintang (PBB) dengan partai lain yang identik dengan
Masyumi, seperti Partai Ummat Islam (PUI), Partai Politik Islam Indonesia
(PPII), maupun Partai Masyumi Baru. Apa yang membuat berbeda adalah kepentingan
pribadi pemimpin partai tersebut yang saling ingin berkuasa. Pada hal, kalau
ingin menjadi penerus Masyumi tentulah akan mengacu pada persatuan Islam (ukhuwah
Islamiah), boleh berbeda dalam hal-hal yang bersifat kepemimpinan (khilafiah),
tetapi harus bersatu memperjuangkan dakwah Islam.
Dari jauh, kelompok Islam memang
nampak hijau subur dan bersatu, tetapi bila didekati, sebenarnya terjadi
pergulatan sengit dari banyak kelompok-kelompok kepentingan untuk saling
mendominasi. Bahkan, ada yang berusaha dengan cara apapun (fatwa, dukungan ulama,
atau dalil hadits) untuk mendapatkan pecahan lahan kekuasaan yang semakin
mengecil itu. Status ekonomi-sosial dan pendidikan telah membuat kelompok Islam
terbelah menjadi kelompok Islam formalitas (termasuk puritan), moderat, dan
sekuler.
Independensi kelompok bisa
dilihat dari tokoh-tokoh panutan di masing-masing kelompok, yang katanya
mempunyai sejumlah pengikut potensial yang dapat dijadikan sebagai kekuatan
tawar menawar posisi. Tokoh yang paling populer, siapa pun dia dan bagaimana
kemampuannya, hampir dipastikan menjadi ketua sebagai formalitas. Begitu pula,
bila seorang tokoh menyeberang ke partai lain atau membentuk partai baru,
nilainya sejauh banyak massa pendukungnya, bukan dari visi politik yang pantas
diperjuangkan.
Selain itu, sudah menjadi
tradisinya bahwa umat Islam di Indonesia dipolitisasi oleh kelompok yang
berkuasa, sehingga muncul cita-cita untuk bisa berkuasa pula suatu ketika
secara instant, untuk menerapkan apa yang telah dilihatnya dari sang
penguasa tersebut. Namun, hal itu lebih banyak hanya sampai sebatas keinginan,
kalau-kalau keadaan berubah seperti yang terjadi dengan era reformasi, banyak
keajaiban terjadi pada orang kecil tiba-tiba menjadi juragan partai baru yang
kaya raya. Hal itu bukan kebutuhan mereka yang harus diperjuangkan dengan suatu
strategi matang, dan memerlukan waktu perubahan yang panjang. Karena itu,
partai-partai Islam tidak mempunyai visi yang sama untuk bisa bersatu membentuk
partai Islam yang kuat, karena para tokoh-tokohnya selalu menggunakan celah, bahwa
Islam membolehkan berbeda menafsirkan suatu aturan yang dianggap baik.
Dari kenyataan selama ini, memang daya tarik partai
politik di Indonesia tidak muncul dari visi atau program kerja politik mereka,
tetapi justru lebih banyak dari kekuatan jual (selling power) sosok
tokoh yang ditampilkan. Popularitas partai sangat tergantung dari popularitas
tokohnya. Fenomema Partai Demokrat sebagai debutan pendatang baru, dengan sosok
Susilo Bambang Yudhoyono yang mengesankan dan penuh simpati, dan setelah
“dizalimi” lawan politiknya, mampu mengalahkan unggulan PDI-P (di bawah
Megawati yang sedang berkuasa sebagai presiden), Golkar (yang menjagokan
Wiranto), PKB (dengan Abdurrahman Wahid mantan presiden dan tokoh Islam yang
legendaris), ataupun PAN (dengan Amien Rais yang terkenal sebagai pendekar
politik Islam penuh taktik).
*Disusun untuk
sociopolitica, oleh Syamsir Alam. Mantan aktivis
mahasiswa era Orde Baru.