Dalam dimensi sejarahnya nampak bahwa kelahiran partai politik berkaitan erat dengan proses perubahan sosial, politik, ekonomi dan budya dalam masyarakat.
Kehidupan kepartaian di Indonesia berakar pada sejarah sosial dan politik Indonesia di awal abad ke – 20 di kala bangsa Indonesia masih berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Sejarah mencatat bahwa Syarikat Islam (SI) merupakan cikal bakal partai politik yang telah menaburkan benih nasionalisme menjadi suatu negara Indonesia yang merdeka.
Oleh karena itu sejak zaman kolonial Belanda kekuatan politik Islam selalu muncul ke permukaan walaupun kadar dan bobotnya berbeda di setiap kurun waktu.
Dalam konteks Islam dan politik Indonesia sejarah juga menunjukkan dua kecenderungan yang menonjol, pertama partai-partai selalu bergelut dengan batang tubuhnya sendiri yang kunjung selesai. Kedua, partai-partai Islam relatif selalu terlibat dalam konflik dan konsensus dengan pihak pemerintah baik ketika zaman konolial Belanda dan Jepang maupun Indonesia. Dimana pada akhirnya pihak kekuatan partai Islam tunduk pada kendali politik pemerintah tersebut.
Walau pada suatu waktu partai Islam bisa mewarnai keputusan politik tanah air, tapi lebih sering menjadi objek politik yang fungsinya tidak lebih dari sekedar pelengkap penyerta bahkan hanya menjadi pelengkap penderita.
Ada peristiwa menarik yang patut diteladani oleh generasi muda Islam sekarang dan akan datang. Yaitu peristiwa ketika rezim Orde Baru melakukan restrukturisasi organisasi sosial politik yang menggerakkan sejumlah tokoh melakukan pendekatan untuk menyamakan persepsi dan mengadakan kesepakatan bersama.
Maka pada tanggal 5 Januari 1973 empat partai politik Islam yaitu, NU, Parmusi, PSII dan Perti bersepakat memfusikan kegiatan politiknya dalam suatu wadah. Keempat partai politik Islam tesebut masing diwakili oleh KH. DR. Idham Chalid (NU), HMS Mintaredja, SH (Parmusi), H. Anwar Tjokroaminoto (PSII), dan KH. Rusli Halil (Perti).
Dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab serta tekad untuk membina masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT telah sepakat untuk berfusi ke dalam satu wadah yang bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sejatinya peristiwa tersebut bisa diteladani sebagai sebuah amanah sejarah untuk melangkah dan melakukan konsolidasi organisasi agar PPP menjadi partai politik yang tangguh karena didasari dengan kebersamaan dan kekeluargaan serta komitmen pada nilai-nilai yang telah dikembangkan oleh pendahulu para pemimpin partai politik Islam yaitu, nilai-nilai keimanan, keadilan, kebenaran, kejujuran dan demokrasi.
Pemberian nama Partai Persatuan Pembangunan sendiri memiliki arti dan makna yang cukup memberikan harapan kepada bangsa Indonesia untuk bersatu dan melaksanakan pembangunan negara serta menyatukan persepsi dalam menyikapi berbagai masalah kenegaraan serta dalam menjalankan amanat UUD 1945.
Bahkan secara spesisifik pemakaian Ka’bah sebagai lambang partai juga memiliki dimensi spiritual sendiri bagi umat Islam Indonesia khususnya. Dengan memakai lambang Ka’bah para pendahulu pemimpin partai politik Islam seolah ingin mengatakan bahwa hanya dengan persatuan dan memohon rahmat Allah SWT sajalah segala tujuan dan cita-cita negara bisa direalisasikan.
Dengan satunya persepsi perjuangan dan cita cita maka tidak dikenal lagi konflik yang didasari interest pribadi atau golongan. Setiap personal PPP memiliki peran yang sama pada perjuangan partai dalam mewujudkan cita citanya, dan memiliki tanggungjawab yang sepadan dalam menegakkan prinsip-prinsip perjuangannya.
Melalui refleksi sejarah kelahiran PPP tersebut diharapkan PPP sekarang bisa melakukan konsolidasi internal secara empirik dan bukan sekedar slogan sejarah semata. Cita-cita para pendahulu yang menginginkan tumbuhnya kekuatan dari persatuan yang dibentuk harus selalu terpelihara melalui konsolidasi internal sehingga melahirkan langkah-langkah strategis yang jitu untuk merebut masa depan PPP dan politik Islam di Indonesia.
Sumber: http://www.pppmajalengka.or.id/
Kehidupan kepartaian di Indonesia berakar pada sejarah sosial dan politik Indonesia di awal abad ke – 20 di kala bangsa Indonesia masih berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Sejarah mencatat bahwa Syarikat Islam (SI) merupakan cikal bakal partai politik yang telah menaburkan benih nasionalisme menjadi suatu negara Indonesia yang merdeka.
Oleh karena itu sejak zaman kolonial Belanda kekuatan politik Islam selalu muncul ke permukaan walaupun kadar dan bobotnya berbeda di setiap kurun waktu.
Dalam konteks Islam dan politik Indonesia sejarah juga menunjukkan dua kecenderungan yang menonjol, pertama partai-partai selalu bergelut dengan batang tubuhnya sendiri yang kunjung selesai. Kedua, partai-partai Islam relatif selalu terlibat dalam konflik dan konsensus dengan pihak pemerintah baik ketika zaman konolial Belanda dan Jepang maupun Indonesia. Dimana pada akhirnya pihak kekuatan partai Islam tunduk pada kendali politik pemerintah tersebut.
Walau pada suatu waktu partai Islam bisa mewarnai keputusan politik tanah air, tapi lebih sering menjadi objek politik yang fungsinya tidak lebih dari sekedar pelengkap penyerta bahkan hanya menjadi pelengkap penderita.
Ada peristiwa menarik yang patut diteladani oleh generasi muda Islam sekarang dan akan datang. Yaitu peristiwa ketika rezim Orde Baru melakukan restrukturisasi organisasi sosial politik yang menggerakkan sejumlah tokoh melakukan pendekatan untuk menyamakan persepsi dan mengadakan kesepakatan bersama.
Maka pada tanggal 5 Januari 1973 empat partai politik Islam yaitu, NU, Parmusi, PSII dan Perti bersepakat memfusikan kegiatan politiknya dalam suatu wadah. Keempat partai politik Islam tesebut masing diwakili oleh KH. DR. Idham Chalid (NU), HMS Mintaredja, SH (Parmusi), H. Anwar Tjokroaminoto (PSII), dan KH. Rusli Halil (Perti).
Dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab serta tekad untuk membina masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT telah sepakat untuk berfusi ke dalam satu wadah yang bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sejatinya peristiwa tersebut bisa diteladani sebagai sebuah amanah sejarah untuk melangkah dan melakukan konsolidasi organisasi agar PPP menjadi partai politik yang tangguh karena didasari dengan kebersamaan dan kekeluargaan serta komitmen pada nilai-nilai yang telah dikembangkan oleh pendahulu para pemimpin partai politik Islam yaitu, nilai-nilai keimanan, keadilan, kebenaran, kejujuran dan demokrasi.
Pemberian nama Partai Persatuan Pembangunan sendiri memiliki arti dan makna yang cukup memberikan harapan kepada bangsa Indonesia untuk bersatu dan melaksanakan pembangunan negara serta menyatukan persepsi dalam menyikapi berbagai masalah kenegaraan serta dalam menjalankan amanat UUD 1945.
Bahkan secara spesisifik pemakaian Ka’bah sebagai lambang partai juga memiliki dimensi spiritual sendiri bagi umat Islam Indonesia khususnya. Dengan memakai lambang Ka’bah para pendahulu pemimpin partai politik Islam seolah ingin mengatakan bahwa hanya dengan persatuan dan memohon rahmat Allah SWT sajalah segala tujuan dan cita-cita negara bisa direalisasikan.
Dengan satunya persepsi perjuangan dan cita cita maka tidak dikenal lagi konflik yang didasari interest pribadi atau golongan. Setiap personal PPP memiliki peran yang sama pada perjuangan partai dalam mewujudkan cita citanya, dan memiliki tanggungjawab yang sepadan dalam menegakkan prinsip-prinsip perjuangannya.
Melalui refleksi sejarah kelahiran PPP tersebut diharapkan PPP sekarang bisa melakukan konsolidasi internal secara empirik dan bukan sekedar slogan sejarah semata. Cita-cita para pendahulu yang menginginkan tumbuhnya kekuatan dari persatuan yang dibentuk harus selalu terpelihara melalui konsolidasi internal sehingga melahirkan langkah-langkah strategis yang jitu untuk merebut masa depan PPP dan politik Islam di Indonesia.
Sumber: http://www.pppmajalengka.or.id/