Oleh : HA.Chozin Chumaidy*
Muqoddimah
Reformasi 1998 pada hakekatnya adalah upaya bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan menuju penyelenggaraan Negara yang lebih demokratis, transparan, dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya jaminan kebebasan berpendapat. Upaya ini dilakukan sebagai koreksi terhadap penyelenggaraan Negara dalam era orde baru, dan sekaligus untuk mendekatkan bangsa Indonesia pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana yg diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Butir-butir reformasi dirumuskan dalam 6 (enam) hal pokok yaitu, Amandemen UUD 1945, Penghapusan Dwi-fungsi ABRI, Penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (Otonomi daerah), Mewujudkan Kebebasan pers dan Mewjudkan demokrasi.
Empat belas tahun sudah reformasi ini berjalan, dan sudah banyak hal-hal positif kita hasilkan, khususnya dalam penataan kehidupan politik, pembangunan demokrasi, Reposisi dan restrukturisasi TNI, Kebebasan pers, Otonomi daerah, Perlindungan HAM serta Pemberantasan KKN. Walaupun secara sadar juga harus kita akui bahwa keberhasilan tersebut masih belum memenuhi harapan masyarakat seseuai dg akseptasi masyarakat terhadap gerakan reformasi yang seharusnya dapat melakukan perubahan secara total dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang lebih baik secara kualitatif sesuai dengan arah reformasi itu sendiri.
Realitas Reformasi
Prof. Dr. Eko Prasojo mengatakan bahwa: “reformasi harus dibedakan dengan perubahan. Perubahan tidak selamanya menghasilkan perbaikan-perbaikan, sebagaimana diharapkan diawal, sedangkan reformasi adalah perubahan yang dikehendaki (intended change) dalam suatu kerangka kerja yang jelas dan terarah (Reformasi Kedua, Salemba Humanika, Jakarta, 2009).
Ada terkesan bahwa gerak langkah reformasi saat ini masih dalam batas “kulit” belum menyentuh pada isinya. Seperti misalnya Pembangunan demokrasi masih terbatas pada prosedural, Otonomi daerah terbatas pada pembagian kekuasaan dan jabatan didaerah, Penataan system pemerintahan baru terbatas pada pembentukan lembaga-lembaga baru, dan perkuatan posisi lembaga legeslatif dihadapan Presiden. Pembangunan system politik, baru nampak pada kebebesan mendirikan partai politik dan Pemilu langsung oleh rakyat baik dalam Pilpres, Pemilukada maupun Pemilu legeslatif. Pendirian partai politik hanya diorientasikan untuk perebutan jabatan dan kekuasaan, belum pada perkuatan fungsi-fungsi partai politik itu sendiri, khususnya dalam relasinya dengan masyarakat baik dalam pendidikan politik maupun mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Dr. Syarif Hidayat, MA.APU (LIPI), bahwa “dilihat dari prespektif relasi Negara dan masyarakat, sangat jelas terlihat bahwa dalam kurun waktu 10 tahun pertama (1998-2008), proses reformasi di Indonesia, cenderung lebih banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun institusi Negara. Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas Negara, relatif belum mendapat perhatian yang seimbang.” (Reformasi Setengah Hati, Taraju, Jakarta 2010).
Sehingga perjalanan reformasi ada yang terkesan mandeg, seperti reformasi birokrasi, jalan ditempat,seperti pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, kebablasan, seperti pelaksanaan demokrasi, dan pemilu langsung oleh rakyat. Tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, seperti perlindungan terhadap HAM, Tidak fokus, seperti pelaksanaan otonomi daerah.
Jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada bulan Mei 2012, menyimpulkan bahwa sebagian besar responden (57,4%) menyatakan reformasi tidak berhasil, hanya 36,2% yang menyatakan berhasil.
Bidang-bidang yang dinilai telah memenuhi tuntutan reformasi adalah kebebasan berpolitik antara lain kebebasan mendirikan partai (65%), kebebasan berekspresi lewat media massa dan demontrasi (68,2%), sebaliknya yang dinilai belum memenuhi tuntutan reformasi adalah penanganan kasus-kasus korupsi/KKN (84,8%), belum terjangkaunya kebutuhan pokok masyarakat (88,0%).
Walaupun demikian sebagian besar responden (70%) menilai gerakan reformasi masih diperlukan untuk mengubah kondisi bangsa. Gerakan ini harus dibangun bersama melibatkan seluruh komponen bangsa. Dan 49% yakin masih ada tokoh-tokoh yang bisa menggerakkan dan melanjutkan cita-cita reformasi.
Ada beberapa langkah reformasi yang patut kita cermati dan kita evaluasi, serta dicarikan solusinya, sehingga kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masih tetap dalam konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan landasan UUD 45 dan Pancasila dengan semangat menuju Indonesia yang sejahtera, adil dan mandiri. Butir-butir reformasi tersebut antara lain yang berkaitan dengan :
Lembaga Perwakilan
Saat ini distruktur ketata negaraan ada dua lembaga perwakilan, yaitu DPR.RI dan DPD. DPR RI merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan faham politik rakyat, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keaneka ragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah, dan dimaksudkan untuk :
Pertama, memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.
Kedua, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daearh dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan Negara dan daerah.
Ketiga, mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.(lihat Panduan pemasyarakatan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Setjen MPR, Jakarta 2008).
Kalau dilihat dari kelembagaannya, kita menganut system perwakilan “dua kamar” atau dengan istilahbicameral. Akan tetapi kalau melihat fungsi DPD yang terbatas, sebagaimana diatur dalam pasal 22D UUD 45 yaitu, Mengajukan RUU tertentu kepada DPR, Ikut membahasan RUU tertentu, dan Melakukan pengawasan pelaksanaan UU tertentu yg hasilnya disampaikan kepada DPR, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya kita menganut system perwakilan unicameral. Bahkan ada yang memakai istilahsoft-bicameral.
Relasi antara DPR dan DPD harus diselesaikan, setidaknya kita mengkaji kembali system yg telah ditetapkan dalam UUD 45 (amandemen ketiga), tentang lembaga perwakilan yang kita anut. Karena kondisi seperti saat ini mengakibatkan in-effisiensi dan pemborosan anggaran Negara. Alternatifnya memberikan perkuatan fungsi DPD atau DPD dihapus atau dikembalikan lagi pada system Utusan Daerah.
Sistem Presidensial
Sistem pemerintahan presidensial (UUD 45 pasal 4) sering dihadapkan dengan system multi partai. Menurut studi kasus di Amerika latin, (1994) menyatakan bahwa presidensialisme yang diterapkan diatas konstruksi politik multi partai, cenderung melahirkan konflik antar lembaga presiden dengan parlemen, serta akan melahirkan demokrasi yg tidak stabil. Hal ini karena adanya dual legitimacy, dimana kedua lembaga tersebut sama-sama dipilih rakyat. Dari 31 negara didunia sejak tahun 1967-1992 yang dinilai stabil demokrasinya, tidak ada satupun yang menganut system presidensial berbasis multi partai ekstrim.
Maka berdasarkan hal tsb di Indonesia pada setiap lima tahun, menjelang Pemilu selalu dilakukan perubahan UU Pemilu dan Partai Politik,atau bongkar pasang UU untuk merumuskan kembali system pemilu dan untuk “merampingkan” partai politik agar sinergi dengan system Presidensial. Dan hal ini senantiasa meramaikan opini public.dan tidak jarang menyita pemikiran bangsa hanya untuk berkutat masalah politik, dengan mengabaikan permasalahan peningkatan kesejahteraan rakyat Padahal pelembagaan system multi partai di Indonesia menurut pandangan kami, sulit untuk dihindari, karena ada tiga factor yang dominant, yaitu (a) tingginya tingkat pluralitas masyarakat (suku, ras, daerah dan agama), (b) sosiokultural masyarakat, (c) desain system pemilu (proporsional).
Untuk terciptanya efektifitas pemerintahan presidensiel, sebetulnya tidak terletak pada system multi partai yg sering dijadikan alasan “penghambat”, akan tetapi sebetulnya banyak tergantung padakarekter presiden yg sedang berkuasa. Memiliki ketegasan dan kelugasan sikap ataukah penuh keraguan dan sering kompromistis. Atau dapat juga justru yg harus dirampingkan adalah Fraksi di Parlemen, yaitu dg dibatasi jumlah fraksinya, bukan jumlah partai peserta pemilunya, agar demokrasi dan kebebasan berpartai tetap terjamin, proses politik lebih efisien dan stabil. Dengan konstruksi presidensiel seperti ini, maka proporsi politik presiden untuk mengurus kesejahteraan rakyat jauh lebih besar ketimbang disibukkan urusan negoisasi dengan partai politik.
Otonomi Daerah
Salah satu agenda reformasi adalah penyelenggaraan otonomi daerah, yg pada awal reformasi dirumuskan dalam UU 22 Tahun 1999. dengan memberikan kewenangan yang luas kepada daerah mencakup kewenangan dlm seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangn dlm bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, serta agama.
Otonomi yg pada hakekatnya adalah desentralisasi, khususnya dalam bidang politik dan ekonomi, dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran fungsi DPRD. Sehingga otonomi secara utuh berada di Kabupaten/Kota, sedangkan di Propinsi otonomi terbatas. Format otonomi seperti ini dalam perjalanannya melahirkan “power”daerah yang berlebih, sehingga memunculkan raja-raja kecil didaerah, bahkan terasa ada aroma federal dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya pendulum desentralisasi yang terlalu kekanan, kedaerah Kabupaten/Kota, ditarik ketengah, dengan dilakukannya perubahan UU No. 22 Tahun1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang pendulumnya cenderung terlalu kekanan, sentralisasi kembali. Format otonomi daerah menganut system “dua jenjang” di Kabupaten/Kota dan di Provinsi. Tarik menarik antara daerah Kabupaten/Kota dan Propinsi masih terus terjadi, bahkan kadang-kadang tumpang tindih. Kedepan perlu dirumuskan kembali format otonomi, yang tetap memberikan keluasan kewenangan kepada daerah dengan tidak menggoyahkan Negara kesatuan. Sebagai alternatif sebaiknya otonomi itu hanya satu jenjang bisa ditingkat propinsi atau ditingkat kabupaten-kota.
Disamping itu, ada juga otonomi khusus yaitu Propinsi Aceh dan Propinsi Papua dan Papua Barat, yg memiliki kekhususan aturan, yg berbeda dengan daerah-daerah lain walaupun tetap dlm NKRI.Namun bukan berarti tanpa permasalahan.
Pemilukada Langsung
Pemilihan kepala daerah bisa melalui dua cara, dipilih lewat lembaga perwakilan rakyat (DPRD) atau dipilih langsung oleh rakyat. Konstitusi kita tidak secara tegas menentukan cara pemilihan kepala daerah. Didalam UUD 45 hanya disebutkan “dipilih secara demokratis” (pasal 18 ayat 4).
Sejalan dengan semangat reformasi dengan agenda otonomi daerah yang salah satu perwujudannya adalah perkuatan fungsi dan wewenang DPRD, maka UU 22 Tahun 1999 menetapkan pilkada dipilih lewat DPRD. Akan tetapi selanjutnya terjadi distorsi pelaksanaan kewenangan DPRD sehingga Pilkada tidak lagi mencerminkan kehendak sejatinya dari masyarakat, hal ini karena telah terjadi “perselingkuhan” antara DPRD dengan calon kepala daerah dengan melakukan tindakan yg tidak terpuji yaitu suap dan money-politic.
Untuk menghindari politik uang dan keinginan agar semua pejabat public dipilih langsung oleh rakyat, maka Pilkada dialihkan pemilihannya dari DPRD ke “pasar bebas” yaitu langsung oleh rakyat. (UU 32 Tahun 2004) Akan tetapi rupanya sejak Pilkada dipilih langsung, politik uang bukannya dapat dihindari dan dihapus, akan tetapi justru semakin menyebar dan meluas keseluruh polosok masyarakat didaerah dimana Pilkada diselenggarakan. Bahkan sering juga terjadi konflik social yang melibatkan masyarakat secara luas. Dengan demikian demokrasi telah tercederai, dan Pilkada menjadi tidak efisien, penuh dengan kekerasan serta menghabiskan uang Negara yang sangat besar.
Saatnya sekarang Pilkada dikembalikan ke DPRD, untuk menyelamatkan masyarakat dari kerusakan moral, kehancuran karekter, serta menjaga” keluhuran” esensi demokrasi, serta tetap terpeliharanya kehidpan social yang harmonis. Pilkada melalui DPRD sebetulnya hanyalah memindahkan ruang demokrasi, dari pasar bebas dimasyarakat, keruang DPRD. Kedua-duanya tetap demokratis, yang satu demokrasi langsung dan yang satunya lagi demokrasi perwakilan. Memang tidak menjamin bahwa pilkada melalui DPRD akan “bersih” dari politik uang, oleh karenanya menjadi tanggung jawab bersama, untuk mengawasinya secara ketat. Begitu dijumpai ada politik uang dan suap, maka saat itu juga calon kepala daerah didiskualifikasi, dan anggota DPRD yang bersangkutan dipecat (diganti antar waktu/PAW).
Hukum, Ekonomi, dan Administrasi Publik
Reformasi harus menyentuh berbagai aspek pembangunan. Pada dasarnya terdapat tiga aspek yang saling bertautan, sebagai aspek fundamental, yaitu aspek politik, hukum dan administrasi public, yang dalam istilah Dr. Sofian Effendi adalah administrasi pemerintahan. Menurut Dr. Sofian effendi (UGM) “kecenderungan system pemerintahan yang semakin demokratis, dan system ekonomi nasional yang bebas, memerlukan system administrasi pemerintahan yang berkapasitas tinggi, transparan dan akuntabel” (Reformasi tata kepemerintahan, Gajahmada University Press, Jogjakarta, 2010).
Reformasi birokrasi, reformasi administrasi pemerintahan dan Penegakan hukum serta pelaksanaan politik-ekonomi yg berbasis pada semangat kekeluargaan, diperlukan pembahasan secara khusus. Dan kami yakin banyak yang harus dievaluasi, dikaji, karena terdapatnya penyimpangan atau lepas dari tujuan strategis reformsi 1998.
Penutup
Reformasi yang jalan ditempat, apalagi adanya penyimpangan arah reformasi, hal itu tidak boleh terjadi. Reformasi harus terus berjalan, akan tetapi memerlukan arah dan konsep yang jelas menyeluruh dan berkesinambungan.Reformasi bisa gagal disebabkan dua hal, pertama deficit komitmen politik para penyelenggara Negara, dan kedua ketiadaan arah pertumbuhan reformasi yang jelas dalam satu cetak-biru yg disepakati semua komponen bangsa. Tahun 2014 Pemerintahan SBY-Boediono berahir. Kita memerlukan Reformasi jilid II sebagai kelanjutan, pengembangan dan pelurusan pelaksanaan Reformasi 1998.
*Penulis adalah Ketua Mahkamah Partai DPP PPP
Muqoddimah
Reformasi 1998 pada hakekatnya adalah upaya bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan menuju penyelenggaraan Negara yang lebih demokratis, transparan, dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya jaminan kebebasan berpendapat. Upaya ini dilakukan sebagai koreksi terhadap penyelenggaraan Negara dalam era orde baru, dan sekaligus untuk mendekatkan bangsa Indonesia pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana yg diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Butir-butir reformasi dirumuskan dalam 6 (enam) hal pokok yaitu, Amandemen UUD 1945, Penghapusan Dwi-fungsi ABRI, Penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (Otonomi daerah), Mewujudkan Kebebasan pers dan Mewjudkan demokrasi.
Empat belas tahun sudah reformasi ini berjalan, dan sudah banyak hal-hal positif kita hasilkan, khususnya dalam penataan kehidupan politik, pembangunan demokrasi, Reposisi dan restrukturisasi TNI, Kebebasan pers, Otonomi daerah, Perlindungan HAM serta Pemberantasan KKN. Walaupun secara sadar juga harus kita akui bahwa keberhasilan tersebut masih belum memenuhi harapan masyarakat seseuai dg akseptasi masyarakat terhadap gerakan reformasi yang seharusnya dapat melakukan perubahan secara total dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang lebih baik secara kualitatif sesuai dengan arah reformasi itu sendiri.
Realitas Reformasi
Prof. Dr. Eko Prasojo mengatakan bahwa: “reformasi harus dibedakan dengan perubahan. Perubahan tidak selamanya menghasilkan perbaikan-perbaikan, sebagaimana diharapkan diawal, sedangkan reformasi adalah perubahan yang dikehendaki (intended change) dalam suatu kerangka kerja yang jelas dan terarah (Reformasi Kedua, Salemba Humanika, Jakarta, 2009).
Ada terkesan bahwa gerak langkah reformasi saat ini masih dalam batas “kulit” belum menyentuh pada isinya. Seperti misalnya Pembangunan demokrasi masih terbatas pada prosedural, Otonomi daerah terbatas pada pembagian kekuasaan dan jabatan didaerah, Penataan system pemerintahan baru terbatas pada pembentukan lembaga-lembaga baru, dan perkuatan posisi lembaga legeslatif dihadapan Presiden. Pembangunan system politik, baru nampak pada kebebesan mendirikan partai politik dan Pemilu langsung oleh rakyat baik dalam Pilpres, Pemilukada maupun Pemilu legeslatif. Pendirian partai politik hanya diorientasikan untuk perebutan jabatan dan kekuasaan, belum pada perkuatan fungsi-fungsi partai politik itu sendiri, khususnya dalam relasinya dengan masyarakat baik dalam pendidikan politik maupun mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Dr. Syarif Hidayat, MA.APU (LIPI), bahwa “dilihat dari prespektif relasi Negara dan masyarakat, sangat jelas terlihat bahwa dalam kurun waktu 10 tahun pertama (1998-2008), proses reformasi di Indonesia, cenderung lebih banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun institusi Negara. Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas Negara, relatif belum mendapat perhatian yang seimbang.” (Reformasi Setengah Hati, Taraju, Jakarta 2010).
Sehingga perjalanan reformasi ada yang terkesan mandeg, seperti reformasi birokrasi, jalan ditempat,seperti pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, kebablasan, seperti pelaksanaan demokrasi, dan pemilu langsung oleh rakyat. Tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, seperti perlindungan terhadap HAM, Tidak fokus, seperti pelaksanaan otonomi daerah.
Jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada bulan Mei 2012, menyimpulkan bahwa sebagian besar responden (57,4%) menyatakan reformasi tidak berhasil, hanya 36,2% yang menyatakan berhasil.
Bidang-bidang yang dinilai telah memenuhi tuntutan reformasi adalah kebebasan berpolitik antara lain kebebasan mendirikan partai (65%), kebebasan berekspresi lewat media massa dan demontrasi (68,2%), sebaliknya yang dinilai belum memenuhi tuntutan reformasi adalah penanganan kasus-kasus korupsi/KKN (84,8%), belum terjangkaunya kebutuhan pokok masyarakat (88,0%).
Walaupun demikian sebagian besar responden (70%) menilai gerakan reformasi masih diperlukan untuk mengubah kondisi bangsa. Gerakan ini harus dibangun bersama melibatkan seluruh komponen bangsa. Dan 49% yakin masih ada tokoh-tokoh yang bisa menggerakkan dan melanjutkan cita-cita reformasi.
Ada beberapa langkah reformasi yang patut kita cermati dan kita evaluasi, serta dicarikan solusinya, sehingga kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masih tetap dalam konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan landasan UUD 45 dan Pancasila dengan semangat menuju Indonesia yang sejahtera, adil dan mandiri. Butir-butir reformasi tersebut antara lain yang berkaitan dengan :
Lembaga Perwakilan
Saat ini distruktur ketata negaraan ada dua lembaga perwakilan, yaitu DPR.RI dan DPD. DPR RI merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan faham politik rakyat, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keaneka ragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah, dan dimaksudkan untuk :
Pertama, memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.
Kedua, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daearh dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan Negara dan daerah.
Ketiga, mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.(lihat Panduan pemasyarakatan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Setjen MPR, Jakarta 2008).
Kalau dilihat dari kelembagaannya, kita menganut system perwakilan “dua kamar” atau dengan istilahbicameral. Akan tetapi kalau melihat fungsi DPD yang terbatas, sebagaimana diatur dalam pasal 22D UUD 45 yaitu, Mengajukan RUU tertentu kepada DPR, Ikut membahasan RUU tertentu, dan Melakukan pengawasan pelaksanaan UU tertentu yg hasilnya disampaikan kepada DPR, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya kita menganut system perwakilan unicameral. Bahkan ada yang memakai istilahsoft-bicameral.
Relasi antara DPR dan DPD harus diselesaikan, setidaknya kita mengkaji kembali system yg telah ditetapkan dalam UUD 45 (amandemen ketiga), tentang lembaga perwakilan yang kita anut. Karena kondisi seperti saat ini mengakibatkan in-effisiensi dan pemborosan anggaran Negara. Alternatifnya memberikan perkuatan fungsi DPD atau DPD dihapus atau dikembalikan lagi pada system Utusan Daerah.
Sistem Presidensial
Sistem pemerintahan presidensial (UUD 45 pasal 4) sering dihadapkan dengan system multi partai. Menurut studi kasus di Amerika latin, (1994) menyatakan bahwa presidensialisme yang diterapkan diatas konstruksi politik multi partai, cenderung melahirkan konflik antar lembaga presiden dengan parlemen, serta akan melahirkan demokrasi yg tidak stabil. Hal ini karena adanya dual legitimacy, dimana kedua lembaga tersebut sama-sama dipilih rakyat. Dari 31 negara didunia sejak tahun 1967-1992 yang dinilai stabil demokrasinya, tidak ada satupun yang menganut system presidensial berbasis multi partai ekstrim.
Maka berdasarkan hal tsb di Indonesia pada setiap lima tahun, menjelang Pemilu selalu dilakukan perubahan UU Pemilu dan Partai Politik,atau bongkar pasang UU untuk merumuskan kembali system pemilu dan untuk “merampingkan” partai politik agar sinergi dengan system Presidensial. Dan hal ini senantiasa meramaikan opini public.dan tidak jarang menyita pemikiran bangsa hanya untuk berkutat masalah politik, dengan mengabaikan permasalahan peningkatan kesejahteraan rakyat Padahal pelembagaan system multi partai di Indonesia menurut pandangan kami, sulit untuk dihindari, karena ada tiga factor yang dominant, yaitu (a) tingginya tingkat pluralitas masyarakat (suku, ras, daerah dan agama), (b) sosiokultural masyarakat, (c) desain system pemilu (proporsional).
Untuk terciptanya efektifitas pemerintahan presidensiel, sebetulnya tidak terletak pada system multi partai yg sering dijadikan alasan “penghambat”, akan tetapi sebetulnya banyak tergantung padakarekter presiden yg sedang berkuasa. Memiliki ketegasan dan kelugasan sikap ataukah penuh keraguan dan sering kompromistis. Atau dapat juga justru yg harus dirampingkan adalah Fraksi di Parlemen, yaitu dg dibatasi jumlah fraksinya, bukan jumlah partai peserta pemilunya, agar demokrasi dan kebebasan berpartai tetap terjamin, proses politik lebih efisien dan stabil. Dengan konstruksi presidensiel seperti ini, maka proporsi politik presiden untuk mengurus kesejahteraan rakyat jauh lebih besar ketimbang disibukkan urusan negoisasi dengan partai politik.
Otonomi Daerah
Salah satu agenda reformasi adalah penyelenggaraan otonomi daerah, yg pada awal reformasi dirumuskan dalam UU 22 Tahun 1999. dengan memberikan kewenangan yang luas kepada daerah mencakup kewenangan dlm seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangn dlm bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, serta agama.
Otonomi yg pada hakekatnya adalah desentralisasi, khususnya dalam bidang politik dan ekonomi, dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran fungsi DPRD. Sehingga otonomi secara utuh berada di Kabupaten/Kota, sedangkan di Propinsi otonomi terbatas. Format otonomi seperti ini dalam perjalanannya melahirkan “power”daerah yang berlebih, sehingga memunculkan raja-raja kecil didaerah, bahkan terasa ada aroma federal dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya pendulum desentralisasi yang terlalu kekanan, kedaerah Kabupaten/Kota, ditarik ketengah, dengan dilakukannya perubahan UU No. 22 Tahun1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang pendulumnya cenderung terlalu kekanan, sentralisasi kembali. Format otonomi daerah menganut system “dua jenjang” di Kabupaten/Kota dan di Provinsi. Tarik menarik antara daerah Kabupaten/Kota dan Propinsi masih terus terjadi, bahkan kadang-kadang tumpang tindih. Kedepan perlu dirumuskan kembali format otonomi, yang tetap memberikan keluasan kewenangan kepada daerah dengan tidak menggoyahkan Negara kesatuan. Sebagai alternatif sebaiknya otonomi itu hanya satu jenjang bisa ditingkat propinsi atau ditingkat kabupaten-kota.
Disamping itu, ada juga otonomi khusus yaitu Propinsi Aceh dan Propinsi Papua dan Papua Barat, yg memiliki kekhususan aturan, yg berbeda dengan daerah-daerah lain walaupun tetap dlm NKRI.Namun bukan berarti tanpa permasalahan.
Pemilukada Langsung
Pemilihan kepala daerah bisa melalui dua cara, dipilih lewat lembaga perwakilan rakyat (DPRD) atau dipilih langsung oleh rakyat. Konstitusi kita tidak secara tegas menentukan cara pemilihan kepala daerah. Didalam UUD 45 hanya disebutkan “dipilih secara demokratis” (pasal 18 ayat 4).
Sejalan dengan semangat reformasi dengan agenda otonomi daerah yang salah satu perwujudannya adalah perkuatan fungsi dan wewenang DPRD, maka UU 22 Tahun 1999 menetapkan pilkada dipilih lewat DPRD. Akan tetapi selanjutnya terjadi distorsi pelaksanaan kewenangan DPRD sehingga Pilkada tidak lagi mencerminkan kehendak sejatinya dari masyarakat, hal ini karena telah terjadi “perselingkuhan” antara DPRD dengan calon kepala daerah dengan melakukan tindakan yg tidak terpuji yaitu suap dan money-politic.
Untuk menghindari politik uang dan keinginan agar semua pejabat public dipilih langsung oleh rakyat, maka Pilkada dialihkan pemilihannya dari DPRD ke “pasar bebas” yaitu langsung oleh rakyat. (UU 32 Tahun 2004) Akan tetapi rupanya sejak Pilkada dipilih langsung, politik uang bukannya dapat dihindari dan dihapus, akan tetapi justru semakin menyebar dan meluas keseluruh polosok masyarakat didaerah dimana Pilkada diselenggarakan. Bahkan sering juga terjadi konflik social yang melibatkan masyarakat secara luas. Dengan demikian demokrasi telah tercederai, dan Pilkada menjadi tidak efisien, penuh dengan kekerasan serta menghabiskan uang Negara yang sangat besar.
Saatnya sekarang Pilkada dikembalikan ke DPRD, untuk menyelamatkan masyarakat dari kerusakan moral, kehancuran karekter, serta menjaga” keluhuran” esensi demokrasi, serta tetap terpeliharanya kehidpan social yang harmonis. Pilkada melalui DPRD sebetulnya hanyalah memindahkan ruang demokrasi, dari pasar bebas dimasyarakat, keruang DPRD. Kedua-duanya tetap demokratis, yang satu demokrasi langsung dan yang satunya lagi demokrasi perwakilan. Memang tidak menjamin bahwa pilkada melalui DPRD akan “bersih” dari politik uang, oleh karenanya menjadi tanggung jawab bersama, untuk mengawasinya secara ketat. Begitu dijumpai ada politik uang dan suap, maka saat itu juga calon kepala daerah didiskualifikasi, dan anggota DPRD yang bersangkutan dipecat (diganti antar waktu/PAW).
Hukum, Ekonomi, dan Administrasi Publik
Reformasi harus menyentuh berbagai aspek pembangunan. Pada dasarnya terdapat tiga aspek yang saling bertautan, sebagai aspek fundamental, yaitu aspek politik, hukum dan administrasi public, yang dalam istilah Dr. Sofian Effendi adalah administrasi pemerintahan. Menurut Dr. Sofian effendi (UGM) “kecenderungan system pemerintahan yang semakin demokratis, dan system ekonomi nasional yang bebas, memerlukan system administrasi pemerintahan yang berkapasitas tinggi, transparan dan akuntabel” (Reformasi tata kepemerintahan, Gajahmada University Press, Jogjakarta, 2010).
Reformasi birokrasi, reformasi administrasi pemerintahan dan Penegakan hukum serta pelaksanaan politik-ekonomi yg berbasis pada semangat kekeluargaan, diperlukan pembahasan secara khusus. Dan kami yakin banyak yang harus dievaluasi, dikaji, karena terdapatnya penyimpangan atau lepas dari tujuan strategis reformsi 1998.
Penutup
Reformasi yang jalan ditempat, apalagi adanya penyimpangan arah reformasi, hal itu tidak boleh terjadi. Reformasi harus terus berjalan, akan tetapi memerlukan arah dan konsep yang jelas menyeluruh dan berkesinambungan.Reformasi bisa gagal disebabkan dua hal, pertama deficit komitmen politik para penyelenggara Negara, dan kedua ketiadaan arah pertumbuhan reformasi yang jelas dalam satu cetak-biru yg disepakati semua komponen bangsa. Tahun 2014 Pemerintahan SBY-Boediono berahir. Kita memerlukan Reformasi jilid II sebagai kelanjutan, pengembangan dan pelurusan pelaksanaan Reformasi 1998.
*Penulis adalah Ketua Mahkamah Partai DPP PPP