Jakarta — Politisi yang meloncat
partai harus bisa menjelaskan alasannya. Jika tidak ada penyebab prinsipiil
terkait idealisme, berarti kepindahannya itu memang demi meraih keuntungan
pragmatis.
"Orang berpolitik, aktif
sebagai pengurus partai, atau menjadi anggota legislatif, tentu punya visi
perjuangan melalui partai itu. Jika kemudian pindah ke partai lain, dia harus
menjelaskan, apa yang membuatnya meninggalkan partai itu," kata Wakil
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman
Hakim Saifuddin, di Jakarta, Jumat (27/7/2012).
Saat ini, memang ada tren
politisi loncat partai. Jika banyak politisi merapat ke Partai Demokrat
menjelang Pemilu 2009, kini sebagian politisi mulai hijrah ke partai yang
dianggap menjanjikan, seperti Partai Nasional Demokrat (Nasdem) atau Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Lukman Hakim Saifuddin menilai,
ada dua tipe politisi loncat partai. Sebagian politisi berpindah ke partai lain
karena merasa partainya sudah tak lagi sesuai dengan cita-cita atau garis
perjuangannya. Sementara partai baru diyakini lebih memungkinkan dia untuk mewujudkan
cita-citanya.
Sebagian politisi lain meloncat
dari satu partai ke partai lain semata-mata demi mengejar kekuasaan atau
keuntungan yang lebih menjanjikan. Politisi semacam ini tidak menunjukkan
alasan prinsipiil ketika pindah partai, tetapi hanya dilatari kepentingan
pragmatis. Itu bisa mencakup jabatan, status, atau materi.
"Untuk menentukan politisi
yang loncat partai itu masuk kelompok mana, serahkan pada masyarakat yang
menilai. Masyarakat semakin cerdas menyoroti perilaku politisi saat ini,"
katanya.
Perpindahan partai demi
kepentingan pragmatis semacam itu tentu berdampak buruk bagi demokrasi. Dengan
berpindah-pindah partai, sulit membangun partai menjadi kuat atau melakukan
kaderisasi. Itu bukan pendidikan politik yang baik.
"Sekeras apa pun beda pendapat dalam sebuah
partai, sebaiknya politisi itu bertahan dan menghadapinya. Jika menghadapi
konflik sedikit saja, orang lantas keluar dari satu partai dan mendirikan
partai baru lagi, itu gejala yang tidak sehat," katanya. (Kompas, 27 Juli
2012)