Oleh: Lukman Hakim Saifuddin*
Setelah sekitar setengah abad
menjalankan sistem ketatanegaraan dengan berpedoman UUD 1945, bangsa Indonesia
menuntut perubahan konstitutsi tersebut. Atas dasar desakan dan aspirasi yang
kuat dari berbagai kalangan, pada akhir 1999 bangsa Indonesia melalui Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) secara resmi memulai
perubahan hingga 2002.
Perubahan UUD 1945 pada
hakekatnya merupakan wujud dari perubahan paradigma dan perubahan sistem nilai
masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini seiring dengan
gerak perubahan sistem bernegara yang berlangsung di berbagai belahan dunia:
dari sistem teokrasi ke sistem monarki; dari sistem monarki ke sistem negara
demokrasi; dan dari sistem negara demokrasi ke sistem negara demokrasi
nomokrasi.
Kelahiran konstitusi sebuah negara
tidak lain merupakan hasil kesepakatan warga bangsa itu sendiri (social
contract). Dan dalam proses penyusunan kesepakatan tersebut tidak bisa
menghindar dari pengaruh situasi, cara pandang, dan pengalaman sejarah yang
terjadi pada masa tersebut. Begitu juga dengan proses terbentuknya UUD 1945 di
Indonesia, baik sebelum dan sesudah perubahan. Dengan demikian, UUD 1945
merupakan ekspresi atau wujud dari paradigma dan sistem nilai bangsa Indonesia,
termasuk para penyusunnya (pendiri bangsa), yang berkembang pada masanya.
Pada waktu para pendiri bangsa
yang tergabung dalam BPUPKI menyusun UUD situasi dan pengalaman sejarah yang
terjadi pada masa itu tampak sangat berpengaruh. Pada waktu itu, bangsa
Indonesia masih berada kekuasaan penjajah Jepang dan incaran bangsa Belanda
yang sebelumnya menguasai selama 3,5 abad. Selain itu, bangsa Indonesia sendiri
juga belum memiliki pengalaman menjalankan sistem pemerintahan kecuali
berbentuk kerajaan (monarki) dan sistem yang dijalankan oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Meski demikian, sebagian para pendiri bangsa merupakan
orang-orang yang sudah mengenal dan memahami sistem pemerintahan modern,
khususnya yang berkembang di Eropa masa itu.
Dengan situasi dan latar belakang
yang terjadi pada masa itu, tidak mengherankan apabila pada saat pembahasan
tentang bentuk pemerintahan ada yang mengusulkan kerajaan dan republik. Begitu
juga usulan dan perdebatan mengenai mekanisme kepemimpinan Indonesia setelah
merdeka: ada kelompok yang menginginkan agar negara yang baru lahir ini
dipimpin oleh Dewan Pimpinan Negara yang terdiri atas tiga orang; ada yang usul
dipimpin oleh seorang Pimpinan Besar; ada juga yang usul dipimpin oleh
Maharaja; dan ada pula yang menginginkan negara Indonesia dipimpin oleh seorang
Perdana Menteri dan/atau Presiden.
Kepemimpinan Kuat
Dari seluruh usulan tersebut
tampak bahwa sistem kekuasaan yang dibutuhkan pada saat itu lebih berorientasi
pada sosok kepemimpinan atau manusia yang kuat dalam rangka mempercepat
pembangunan bangsa dan negara yang baru ini. Hal ini juga dimungkinkan karena
kepercayaan masyarakat terhadap sosok pemimpin sangat tinggi, sehingga diberi
kewenangan yang sangat besar karena prinsip yang berkembang pada saat itu
adalah “Baik buruknya suatu negara tergantung pada seseorang”.
Walaupun dalam UUD yang
dihasilkan tersebut tampak sudah ada pembagian kekuasaan berdasarkan trias
politika: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi kewenangan presiden
berada di atas ketiga cabang kekuasaan tersebut. Selain presiden diberi
kekuasaan pemerintahan (eksekutif), presiden memiliki kewenangan membentuk
undang-undang (legislatif), dan presiden juga memiliki kewenangan untuk
mengangkat hakim agung (yudikatif).
Dalam bidang eksekutif, Presiden
memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4), kekuasaan yang tertinggi atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10), kekuasaan untuk
memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi (Pasal 14), kekuasaan untuk
menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12), kekuasaan mengangkat duta dan konsul
(Pasal 13), kekuasaan untuk memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan
lain (Pasal 15), dan lain sebagainya.
Dalam bidang legislatif, Presiden
memegang kekuasaan penuh membentuk UU dengan persetujuan DPR (Pasal 5 ayat 1).
Dengan kondisi tersebut, pada era Orde Baru, DPR seakan menjadi tukang stempel
saja, karena DPR hanya bertugas menyetujui UU yang diajukan Presiden sebagai
pemegang kekuasaan penuh pembentukan legislasi.
Dalam bidang yudikatif, UUD 1945
memerintahkan agar kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut UU. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman
itu diatur dengan UU (Pasal 24). Karena yang mempunyai kekuasaan penuh
membentuk UU adalah Presiden dengan persetujuan DPR, Pemerintah Orde Baru
berhasil melahirkan UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang memberikan kekuasaan kepada Presiden sebagai Kepala Negara untuk
mengangkat dan memberhentikan hakim, baik itu hakim Pengadilan Negeri, hakim
Pengadilan Tinggi, atau hakim Mahkamah Agung. Hanya dengan sebaris ketentuan
dalam Pasal 31 UU No. 14/1970 yang berbunyi: “Hakim diangkat dan diberhentikan
oleh Kepala Negara”, maka kemudian Presiden sebagai Kepala Negara juga memunyai
kekuasaan yang besar di biang yudikatif, sebagaimana kekuasaan besar di bidang
legislatif dan tentu saja di bidang eksekutif.
Dengan memahami latar belakang
pembentukan UUD 1945 dengan pemberian kekuasaan presiden yang sangat besar
tersebut tampaknya para pendiri bangsa menginginkan bahwa presiden diharapkan
mampu menjaga keutuhan NKRI dan memajukan bangsa Indonesia secara cepat.
Meskipun pada perkembangannya, pemberian kekuasaan yang sangat besar kepada
presiden tersebut memicu terjadinya penyelewengan-penyelewengan. Sebagaimana
ungkapan Lord Acton, power tend to corrupt and absolute power corrupts
absolutely. Kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak juga
akan disalahgunakan secara mutlak, karena tidak ada kekuatan yang bisa
mengimbangi (checks and balances).
Menyeimbangkan Kekuasaan
Berangkat dari penyalahgunaan
kewenangan akibat pemberiaan kekuasaan kepada presiden yang berlebihan oleh
konstitusi tersebut, pada 1998 bangsa Indonesia menuntut adanya reformasi,
termasuk perubahan konstitusi. Pada saat pembahasan perubahan konstitusi
tersebut, suasana dan pengalaman bernegara bangsa Indonesia sudah jauh berbeda
dibandingkan dengan pada masa pembentukan UUD tahun 1945. Para anggota PAH III
dan PAH I MPR RI, 1999-2001, yang bertugas mengubah UUD melakukan telaah kritis
dan juga menyerap aspirasi dari berbagai kalangan mengenai konstitusi yang
selama itu dipergunakan sebagai dasar menjalankan negara.
Dari berbagai masukan yang ada,
tampak pandangan mayoritas masyarakat tentang kekuasaan telah berubah jauh
dibanding dengan pandangan masyarakat pada 1945. Prinsip-prinsip dasar yang
dijadikan pijakan oleh para perumus perubahan pun pada akhirnya berbeda dengan
para pendahulunya. Jika pada periode awal kedaulatan di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pada periode
perubahan ini kedaulatan tetap berada di tangan rakyat, namun dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar [Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3)]. Dari sini tampak
kekuasaan yang semula diserahkan sepenuhnya kepada MPR beralih kepada
hukum dan konstitusi.
Selain itu, pada periode
perubahan ini para perumus mempertegas batas-batas antar cabang kekuasaan
eksekutif, legilatif, dan yudikatif. Masing-masing lembaga menjalankan
kekuasaannya sesuai bidangnya. Kekuasaan presiden yang semula mencakup
pembentukan undangan-undang dan pengangkatan hakim agung, misalnya, diubah
sesuai dengan porsinya. Kekuasaan pembentukan undang-undang diserahkan kepada
DPR (legislatif), sedangkan ekskutif berada dalam posisi memberi persetujuan
secara bersama-sama dengan DPR terhadap setiap undang-undang. Di sini presiden
selaku pimpinan eksekutif berhak menolak suatu rancangan undang-undang jika
presiden tidak menyetujuinya [Pasal 20 ayat (3)].
Begitu juga dengan kekuasaan
kehakiman. Dalam UUD 1945 setelah perubahan, ditegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
[Pasal 24 ayat (1)], tanpa ada pengaruh kekuasaan dari eksekutif atau
legislatif. Karena itu, hakim agung selaku pimpinan di kekuasaan yudikatif ini
tidak dipilih dan diangkat oleh presiden secara langsung, tetapi diseleksi oleh
Komisi Yudisial untuk disetujui DPR dan ditetapkan oleh Presiden.
Dengan demikian, kalau dilihat
pada pergeseran kekuasaan tersebut tampak bahwa “bandul” kekuasaan bukan
berubah dari kekuasaan presiden (eksekutif) ke DPR (legislatif), tetapi
“bandul” kekuasaan berada di tengah dengan semangat saling mengontrol dan
mengimbangi (checks and balances). Saat ini tidak ada lembaga negara yang
benar-benar memegang kekuasaan sepenuhnya sebagaimana sebelum perubahan. Bahkan
MPR sendiri telah memangkas kekuasaannya sebagai lembaga tertinggi negara
menjadi lembaga tinggi negara seperti lembaga-lembaga negara lainnya.
Kekuasaan Presiden Masih Sangat Besar
Meski demikian, banyak orang
berpandangan bahwa kekuasaan Presiden Indonesia terlampau kecil untuk
menjalankan fungsinya. Padahal jika dibandingkan dengan delapan negara maju
(Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Afrika Selatan, Kuwait, Jepang, RRC, dan
Australia), sebagaimana tesis yang ditulis Abdul Ghoffar (2009), menunjukkan
bahwa kekuasaan presiden di Indonesia masih sangat besar.
Hanya saja, presiden tidak
mempergunakan semua hak konstitusionalnya sebanyak sepuluh pokok kekuasaan
secara maksimal. Kesepuluh kekuasaan tersebut adalah: kekuasaan
penyelenggaraan pemerintahan, bidang peraturan perundang-undangan, bidang
yudisial, dalam hubungan luar negeri, menyatakan keadaan bahaya, sebagai
panglima tertinggi angkatan bersenjata, memberi gelar dan tanda kehormatan lainnya,
membentuk dewan pertimbangan presiden, mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri, serta mengangkat, menetapkan atau meresmikan pejabat negara
tertentu lainnya.
Pertimbangan Vs. Persetujuan
Beberapa hal yang sering
disalahpahami banyak kalangan adalah kata “pertimbangan” dari DPR atau Mahkamah
Agung dengan kata “persetujuan”. Padahal kewenangan presiden yang dibatasi
dengan kata “persetujuan” hanya ada pada beberapa hal yang bersifat sangat
penting, antara lain:
1. menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain [Pasal 11 ayat (1)];
2. membuat
perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang [Pasal 11 ayat (2)];
3. pembuatan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang jika ada hal ihwal
kegentingan yang memaksa [Pasal 22 ayat (1) dan (2)];
4. pengangkatan
dan pemberhentian Anggota Komisi Yudisial [Pasal 24B ayat (3)].
Dalam hal pembentukan
undang-undang memang sejak awal rancangan harus mendapat persetujuan bersama
dari pihak legislatif dan eksekutif. Jika salah satu pihak menyatakan tidak
setuju dengan suatu rancangan undang-undang tersebut, rancangan undang-undang
itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu [Pasal 20 ayat
(3)]. Adapun di ayat (5) yang menyatakan bahwa “Dalam hal rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut
disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan” juga sering disalahpahami sebagai kasus yang mengecilkan kekuasaan
presiden. Padahal dalam ayat tersebut jelas dinyatakan “yang telah disetujui
bersama” yang berarti sejak awal presiden terlibat bersama DPR.
Jika kata “persetujuan” yang
melekat pada kewenangan presiden bersifat “memaksa” atau membatasi kekuasaan
presiden, maka hal ini berbeda dengan kata “pertimbangan” yang juga melekat
pada beberapa kewenangan presiden. Kata “pertimbangan” tersebut bukan merupakan
suatu pembatasan kekuasaan presiden, sebab sifat “pertimbangan” boleh
dilaksanakan atau diabaikan oleh presiden.