PENGUMUMAN: Dibuka pendaftaran bakal calon anggota DPRD Kabupaten Tegal, mulai 1 Januari s/d 28 Februari 2013. Info: Hubungi DPC PPP Kabupaten Tegal, telp.(0283)3275717 | Eko Mahendra Ridho

Follow Us

HEADLINE NEWS

DPC PPP Kabupaten Tegal ©2008-2012 All Right Reserved. Diberdayakan oleh Blogger.
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan

Kenapa Kader PPP Perlu Membentuk Kelompok Profesi?

30 Juni 2012


Kenapa Kader PPP Perlu Membentuk Kelompok Profesi?
Oleh: Zubairi Hasan dan Sahlul Fuad*

Kelompok profesi adalah kelompok fungsional yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat sesuai dengan profesinya masing-masing, seperti kelompok tani, kelompok dagang, kelompok pemilik bengkel, dan lain sebagainya. Kelompok profesi bisa juga merupakan kelompok yang dibentuk untuk mendukung profesi tertentu. Misalnya, sejumlah pedagang membentuk Koperasi Simpan Pinjam sebagai upaya mendukung usaha perdagangan dari kelompok profesi itu.

Dalam Islam, kelompok itu bisa disebut jemaah, halaqah, majelis, dan lain-lain. Kata-kata berkelompok dalam literatur Islam bermakna positif, karena itu umat Islam tidak boleh merusaknya menjadi hal negatif, misalnya kelompok Geng Motor yang sering anarkis, tidak boleh menggunakan istilah Majelis Motor. Naudzubillah min dzalik…!

Kelompok profesi tidak perlu menggantungkan pada jumlah anggota, sehingga jika anggota yang bergabung sedikit, kelompok profesi itu perlu untuk tetap didirikan. Jadi, meskipun hanya terdiri dari 5 orang, bendera kelompok profesi sudah bisa dikibarkan. Apalagi kemajuan dari sebuah kelompok tidak berhubungan dengan jumlah, melainkan sangat tergantung pada kebersamaan kelompok itu untuk meraih peluang yang ada, meskipun peluang itu sangat kecil.

Mengingat profesi kader-kader PPP tidak hanya satu, karena setiap perubahan musim menimbulkan perubahan mata pencaharian seperti di musim hujan bertani, di musim lain berdagang, maka satu kelompok profesi bisa membawahi beberapa kegiatan secara bersamaan. Misalnya, kelompok “Sinar Rakyat” bisa menjadi menjadi kelompok tani, kelompok dagang, atau koperasi sekaligus. Yang penting, kepada masing-masing instansi pemerintahan di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota, kelompok itu terdaftar. Kalau didaftarkan ke dinas pertanian menjadi kelompok tani, jika di daftarkan ke dinas koperasi menjadi kelompok koperasi, dan seterusnya. Tapi kalau sumber daya manusia yang ada memadai, sebaiknya satu kelompok menangani satu profesi saja.

Urgensi Berkelompok
Kenapa kader-kader PPP, terutama di level paling bawah, perlu membentuk kelompok profesi?

Pertama, Allah menjanjikan bahwa orang-orang yang berkelompok akan ditinggikan  derajatnya 27 kali lipat, seperti tersirat dari perintah untuk shalat berjemaah. Perintah shalat berjemaah, juga merupakan perintah agar di luar shalat pun umat Islam harus berjemaah. Percuma, jika kita rajin berjemaah, namun dalam kehidupan sosioal, ekonomi, dan politik umat Islam bercerai berai. Artinya, filosofi shalat berjemaah kurang dihayati untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, Allah menjanjikan bahwa orang-orang yang berjemaah akan mendapatkan berkah (al-barakatu ma’a al jama’ah). Berkah adalah sebuah konsep dalam Islam yang berarti penghasilan berapapun yang diterima selalu surplus atau mendatangkan manfaat jauh lebih besar dari nilai riil penghasilan itu. Misalnya, orang berpenghasilan Rp 5 juta, tapi hidupnya selalu kekurangan. Maka nilai Rp. 5 juta itu tidak berkah. Sebaliknya, orang yang berpenghasilan Rp. 1 juta, namun ia bisa menabung, berinfak, dan lain-lain, maka nilai Rp. 1 juta itu penuh dengan berkah.

Ketiga, dengan berkelompok maka kader-kader PPP akan saling bersilaturahmi, minimal dalam kelompok itu sendiri. Allah menjanjikan bahwa orang yang rajin bersilaturahmi akan mendapatkan umur yang panjang dan rizki yang luas. Selain itu, konsep rizki “min haitsu la yah tasib” kebanyakan jatuh pada orang yang sering berjemaah, baik dalam shalat maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, di alam demokrasi, kelompok atau yang secara ilmiah disebut civil society atau masyarakat madani merupakan infrastruktur yang dapat memperkuat demokrasi itu sendiri, terutama untuk mencapai tujuan demokrasi yaitu pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik secara lahiriah maupun bathiniah.

Kelima, di alam demokrasi ini, kue pembangunan biasanya mengalir melalui kelompok. Jadi, program-program pembangunan dari pemerintah akan jatuh pada kelompok-kelompok yang ada, bukan melalui individu-individu. Karena itu, orang yang tidak berkelompok sangat sulit untuk mengakses kue pembangunan.

Kelompok Bukan Mie Instan
Setelah membentuk kelompok, kader-kader PPP tidak boleh berpikir instan, seperti merebus mie instan lalu menyantapnya. Artinya, setelah kelompok terbentuk, kita tidak bisa berharap akan mendapatkan bantuan saat itu juga. Walau begitu, salah satu keberadaan kelompok itu memang untuk menjaring bantuan yang halal dan legal, baik dari arah yang disangka maupun dari arah “min haistu la yahgtasib”. Namun selama bantuan belum datang, anggota kelompok tidak boleh berputus asa.

Ini berarti, kelompok profesi itu harus tetap melakukan kegiatan tertentu, meskipun belum ada bantuan dari pihak manapun. Minimal, kelompok profesi mengadakan tukar pikiran setiap bulan mengenai profesi yang digeluti bersama dan bagaimana memajukannya. Di saat itulah, insya Allah, kelompok profesi itu akan mendapatkan jalan keluar dari setiap persoalan yang menimpa masing-masing anggota maupun persoalan kelompok profesi itu sendiri.

*Zubairi Hasan, Ketua Departemen Website dan Jejaring Sosial DPP PPP Masa Bakti 2011-2015. Sahlul Fuad, Anggota Litbang DPP  PPP Masa Bakti 2011-2015.

Posisi DPC dalam AD/ART PPP


Posisi DPC dalam AD/ART PPP
Oleh Zubairi Hasan dan Sahlul Fuad*

Pendahuluan
            Semua institusi dalam PPP sangat penting, karena sesuai dengan prinsip kal bulyan yasyuddu ba’dluhum ba’dla[1], satu bagian harus harus dapat memperkokoh bagian yang lain, sebagaimana layaknya bangunan. Dengan prinsip itu, maka Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), Dewan Pimpinan Cabang (DPC), Pimpinan Anak Cabang (PAC), dan Pimpinan Ranting (PR) harus saling memperkuat dan saling mendukung satu sama lainnya.  Jika ada di antara institusi itu yang lemah, atau bahkan tidak aktif, maka sudah pasti akan berdampak pada pelemahan PPP secara keseluruhan. Begitu pula sebaliknya, jika semua institusi itu kuat, PPP akan menjadi partai politik yang kuat pula.
Penurunan suara PPP di era reformasi tidak lepas dari melemahnya sebagian institusi itu, baik di tingkat DPP, DPW, DPC, PAC, dan PR. Karena itu, anggota dan seluruh pengurus PPP di berbagai tingkatannya harus memberikan konstribusi maksimal bagi penguatan institusi PPP sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Anggota dan pengurus PPP harus menjadi sumber solusi, bukan sebaliknya menjadi sumber masalah.

DPC PPP
Secara hierarki, DPC berada di tengah-tengah, antara DPP dan DPW di atasnya serta dengan PAC dan PR di bawahnya. DPC  merupakan institusi yang menghubungkan antara institusi paling atas dengan institusi paling bawah. Sudah pasti, harapan, arahana, dan program dari DPP dan DPW tidak akan mencapai PAC dan PR, kecuali harus melewati DPC terlebih dahulu. Begitu pula sebaliknya, aspirasi dari PAC dan PR tidak akan sampai ke DPW dan DPP tanpa perantaraan DPC. Karena itu, DPC harus mampu menjadi jembatan emas bagi seluruh institusi-institusi di PPP untuk sampai ke atas atau sebaliknya untuk sampai ke bawah.
            DPC adalah institusi PPP di tingkat kabupaten/kota yang terdiri atas: a. Pengurus Harian; b. Majelis Syari’ah; c. Majelis Pertimbangan; d. Majelis Pakar; e. Bagian; dan f. Lembaga (Pasal 31 ayat 1 AD PPP).
            Secara prinsip, masa bakti DPP PPP adalah 5 tahun (Pasal 31 ayat 2 AD PPP). Namun dalam masa peralihan ini, Pasal 58 ayat (2) AD PPP menetapkan bahwa Musyawarah Cabang  diselenggarakan selambat-lambatnya 6 bulan setelah Musyawarah Wilayah. Namun ketentuan ini baru diberlakukan setelah Muktamar VIII 2015 nanti sesuai dengan Pasal 73 ayat (3) yang berbunyi: “Ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) mulai dilaksanakan setelah diadakan Muktamar VIII PPP.”
Ini berarti Masa Bakti DPC yang menjabat saat ini bisa lebih dari 5 tahun, karena DPC diperintahkan melaksanakan Musyawarah Cabang 6 bulan setelah Musyawarah Wilayah. Musyawarah Wilayah dilaksanakan 6 bulan setelah Muktamar VIII 2015[2]. Agar masa bakti DPC yang menjabat saat ini tidak terlalu panjang, maka AD PPP memerintahkan agar  dibuat Peraturan Pengurus Harian DPP tentang ketentuan lebih lanjut mengenai masa bakti DPC sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) bahwa: “Ketentuan lebih lanjut tentang masa bakti DPC sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur dalam Peraturan Pengurus Harian DPP.”
            Pengurus Harian DPC maksimal berjumlah 30 orang, minimal 30 persen di antaranya terdiri atas perempuan (Pasal 32 ayat 4 AD PPP).  Majelis Syariah DPC, Majelis Pertimbangan DPC, dan Majelis Pakar DPC maksimal berjumlah 20 orang. Majelis Syariah DPC, sebagaimana Majelis Syari’ah DPW  tidak mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa, karena fatwa menjadi otoritas Majelis Syariah DPP. Walau begitu, pertimbangan, nasihat/arahan, dan hasil kajian dari majelis-majelis DPC harus diperhatikan sungguh-sungguh oleh Pengurus Harian DPC (Lihat Pasal 34-36 AD PPP).
            Pemilihan Ketua dan Pengurus Harian DPC  sangat fleksibel, karena bisa dipilih formatur, bisa dipilih oleh peserta Musyawarah Cabang, bisa juga menggabungkan dua cara ini seperti Ketua DPC dipilih peserta Musyawarah Cabang dan Pengurus Harian ditetapkan oleh formatur. Hal ini juga berlaku di tingkat DPP, DPW, PAC, atau PR. Hal ini karena AD PPP memberikan kewenangan kepada Muktamar/Musyawarah Wilayah/Musyawarah Cabang/Musyawarah  Anak Cabang/ Musyawarah Ranting untuk memilih dan/atau menetapkan Pengurus Harian DPP/DPW/DPC/PAC/PR serta Pimpinan Majelis sesuai dengan tingkatannya. Dalam AD PPP, penormaan penentuan Ketua Umum dan Ketua Dewan Pimpinan berikut Pengurus Harian Dewan Pimpinan sesuai dengan tingkatannya, ada kata “memilih dan/atau menetapkan,” sehingga bermakna penentuan mereka bisa dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau ditetapkan oleh formatur atau gabungan keduanya (Lihat Pasal 51-65 AD PPP).

Antara DPC dengan DPP dan DPW
            Sesuai dengan AD/ART PPP, hubungan legal formal antara DPC dengan DPP dan DPW tertata, antara lain,  dalam beberapa hal berikut:
(1)     Pengurus Harian DPC harus mematuhi garis kebijakan dan petunjuk yang disampaikan oleh Pengurus Harian DPP[3] dan DPW[4].
(2)  Pengurus Harian DPC harus mematuhi jika Pengurus Harian DPP[5] /DPW[6] melaksanakan kewenangannya untuk membatalkan/meluruskan/ memperbaiki keputusan yang diputuskan dalam Musyawarah Cabang atau ditetapkan oleh Pengurus Harian DPC yang dianggap bertentangan dengan AD/ART, peraturan perundang-undangan, serta pertimbangan Majelis Syari’ah dan Majelis Pertimbangan DPP dan DPW.
(3)   Pengurus Harian DPC harus mematuhi Peraturan Pengurus Harian DPP PPP. Pasal 67 ART PPP memberikan kewenangan kepada DPP untuk mengatur hal-hal tertentu seperti dalam penetapan pejabat publik di tingkat  kabupaten/kota[7] dan hal-hal yang belum diatur di ART[8] dalam atau dengan Peraturan Harian DPP PPP.
(4)  Pengurus Harian DPC harus meminta pengesahan dari Pengurus Harian DPW mengenai Hasil Keputusan Musyawarah Cabang tentang Susunan dan Personalia Pengurus Harian DPC, Pimpinan Majelis Syari’ah DPC, Pimpinan Majelis Pertimbangan DPC, dan Pimpinan Majelis Pakar DPC.[9] Khusus untuk Majelis Syari’ah DPC Masa Bakti 2011-2015, Pengurus Harian DPC dapat membentuk Majelis Syari’ah melalui Rapat Pengurus Harian DPC saja[10], bukan melalui Musyawarah Cabang, sehingga pembentukan Majelis Syari’ah DPC tidak perlu mendapatkan pengesahan dari DPW, tapi sebagai organisasi cukup diberitahukan dan dilaporkan saja.
(5)  Pengurus Harian DPC harus meminta persetujuan Pengurus Harian DPW sebelum mengambil keputusan tentang pencalonan/pergantian anggota-anggota yang ditugaskan pada lembaga-lembaga di luar PPP di tingkat cabang/kabupaten/ kota.[11]
(6) Pengurus Harian DPC harus menyampaikan usulan kepada Pengurus Harian DPW sebelum menentukan calon bupati/walikota[12].
(7)   Pengurus Harian DPC harus meminta persetujuan Pengurus Harian DPW sebelum menyelenggarakan Musyawarah Anak Cabang Luar Biasa jika DPC menilai terjadi kevakuman pada PAC.[13]
(8)  Jika DPC tidak setuju dengan kebijakan DPP dan DPW, DPC dapat mengajukan perkara ke Mahkamah Partai agar kebijakan DPP/DPW itu dibatalkan/diluruskan/diperbaiki.[14]

DPC dalam Lingkup Kabupaten/Kota
            Dalam lingkup kabupaten/kota DPC mempunyai tugas dan kewenangan tertentu, baik yang bersifat independen atau masih terikat dengan institusi PPP di atasnya, yaitu DPP dan DPW.  Tugas dan kewenangan DPC itu, antara lain, adalah:
(1)  Pengurus Harian DPC bertugas melaksanakan kebijakan PPP di tingkat cabang sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta ketetapan-ketetapan yang diterbitkan oleh Pengurus Harian DPP dan Pengurus Harian DPW (Pasal 33 ayat 1 huruf a AD PPP).

(2)  Pengurus Harian DPC bertugas menetapkan Personalia Anggota Majelis Syari’ah DPC, Anggota Majelis Pertimbangan DPC, dan Anggota Majelis Pakar DPC dengan memerhatikan sungguh-sungguh usulan Pimpinan Majelis yang bersangkutan (Pasal 33 ayat 1 huruf b).

(3) Pengurus Harian DPC bertugas membentuk dan mengoordinasikan Bagian-Bagian/Lembaga-Lembaga (Pasal 33 ayat 1 huruf c).

(4)  Pengurus Harian DPC berwenang mengambil keputusan tentang pencalonan/penggantian anggota-anggota yang ditugaskan pada lembaga-lembaga di luar PPP di tingkat cabang/kabupaten/kota dengan persetujuan Pengurus Harian DPW (Pasal 33 ayat 2 huruf a AD PPP). Maksud dari “lembaga di luar PPP di tingkat cabang” adalah jabatan di luar jabatan publik (jabatan kenegaraan) seperti direktur perusahaan, pimpinan organisasi massa Islam, pimpinan pondok pesantren dan lain-lain. Walaupun dalam soal pencalonan/penggantian anggota yang ditugaskan di luar PPP di tingkat cabang harus ada persetujuan dari DPW, namun yang mengambil keputusan tentang hal itu adalah Pengurus Harian DPC.

(5)  Pengurus Harian DPC mengusulkan kepada Pengurus Harian DPW tentang pencalonan pejabat publik di tingkat kabupaten/kota dan menetapkannya, yang mekanismenya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pengurus Harian DPP PPP (Pasal 33 ayat 2 huruf b AD PPP). Ketentuan ini merupakan takhshis atau lex specialis dari ketentuan sebelumnya (Pasal 33 ayat 2 huruf a AD PPP), sehingga dalam hal pencalonan pejabat publik (seperti bupati/walikota), Pengurus Harian cukup mengusulkan saja kepada Pengurus Harian DPW. Bagaimana Pengurus Harian DPW menyikapi usulan itu, apakah DPW berwenang menolak usulan itu atau cukup memberikan catatan pertimbangan atas usulan itu, atau cukup menerima saja tanpa kaifiyah (tanpa bertanya apa ini apa itu), tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam AD/ART PPP. Jawabatan atas pertanyaan “Bagaimana Pengurus Harian DPW menyikapi usulan Pengurus Harian DPC?” harus diatur dalam Peraturan Pengurus Harian DPP PPP. Selain itu, pemberhentian seseorang dari jabatan publik itu sudah diluar PPP, karena pemberhentian bupati misalnya sudah mengikuti mekanisme yang diatur peraturan perundang-undangan, bukan mengikuti mekanisme yang diatur PPP.

(6) Pengurus Harian DPC menetapkan Susunan/Personalia Pimpinan Fraksi PPP DPRD Kabupaten/Kota dengan memerhatikan aspirasi Anggota Fraksi (Pasal 33 ayat 2 huruf d AD PPP).

(7)  Pengurus Harian DPC memberikan garis kebijakan dan petunjuk kepada Fraksi PPP di DPRD Kabupaten/Kota dengan memerhatikan aspirasi Anggota Fraksi (Pasal 33 ayat 2 huruf e AD PPP).

(8)  Pengurus Harian DPC dapat membatalkan/meluruskan/ memperbaiki keputusan yang diambil oleh Musyawarah Anak Cabang, Pengurus Harian PAC, Musyawarah Ranting, dan Pengurus Harian PR yang bertentangan dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, setelah mendengarkan pertimbangan dari Majelis Syari’ah DPC dan Majelis Pertimbangan DPC sesuai dengan sifat keputusannya (Pasal 33 ayat 2 huruf g AD PPP).

(9)  Pengurus Harian DPC harus memanfaatkan secara maksimal Rapat Pleno DPC yang harus diadakan setiap tahun. Rapat Pleno ini penting untuk mengevaluasi pelaksanaan program kerja, memutuskan program kerja yang harus ditindaklanjuti, dan memutus hal-hal lain yang perlu diputuskan oleh DPC. Peserta Rapat Pleno adalah Pengurus Harian, Pimpinan Majelis,  Pimpinan Bagian, Pimpinan Lembaga, dan Ketua Badan Otonom.[15]

(10)  Pengurus Harian DPC harus memaksimalkan peran-peran Majelis, antara lain dengan mengadakan Rapat Majelis Musyawarah Partai yang dihadiri oleh Ketua DPC, Sekretaris DPC, Ketua Majelis Syari’ah DPC, Ketua Majelis Pertimbangan DPC, dan Ketua Majelis Pakar DPC. Rapat Majelis Musyawarah Partai berwenang memberikan usulan kepada DPP/DPW/DPC berkaitan dengan pencalonan jabatan publik di berbagai lembaga negara/ pemerintahan dan di lembaga-lembaga lain di luar partai[16]. AD/ART PPP tidak menentukan kapan harus diadakan Rapat Majelis Musyawarah Partai, sehingga rapat ini dapat diadakan sesering mungkin, minimal setiap DPC PPP akan melakukan pencalonan jabatan publik.

Antara DPC dengan PAC dan PR
              Sementara itu, dalam konteks hubungan antara DPC dengan institusi di bawahnya yakni dengan PAC dan PR, DPC mempunyai beberapa kewenangan, antara lain:
(1)  Pengurus Harian DPC mengesahkan Hasil Keputusan Musyawarah Anak Cabang tentang Susunan dan Personalia Pengurus Harian PAC serta Pimpinan Majelis Pertimbangan PAC (Pasal 33 ayat 2 huruf c AD PPP). 

(2)  Pengurus Harian DPC berwenang menyelenggarakan Musyawarah Anak Cabang Luar Biasa dalam hal Pengurus Harian DPC menilai bahwa telah terjadi kevakuman organisasi dan kepemimpinan pada Pengurus Harian PAC dengan persetujuan Pengurus Harian DPW (Pasal 33 ayat 2 huruf f AD PPP). Tujuan dari ketentuan ini adalah agar Pengurus  Harian DPC selalu memantau agar organisasi dan kepemimpinan PAC selalu aktif dalam menjalankan roda organisasi kepartaian. Jika tidak aktif, DPC dapat mengambil inisiatif Musyawarah Anak Cabang Luar Biasa.

(3)  Pengurus Harian DPC mempunyai kewenangan untuk membentuk PAC yang masih belum ada, baik akibat pemekaran daerah atau karena alasan lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) bahwa: “Pembentukan organisasi kepemimpinan dilaksanakan dengan ketentuan: a. Wilayah dibentuk dan ditetapkan oleh Pengurus Harian DPP; b. Cabang dibentuk dan ditetapkan oleh Pengurus Harian DPW; c. Anak Cabang dibentuk dan ditetapkan oleh Pengurus Harian DPC; d. Ranting dibentuk dan ditetapkan oleh Pengurus Harian PAC.”

(4)  Terkait PAC dan PR, DPC harus mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan AD/ART PPP  serta Khitthah dan Program Perjuangan PPP serta peraturan perundang-undangan. Jika tidak maka PAC dan PR, secara institusional maupun secara personal, menganggap kebijakan itu bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, maka PAC dan PR dapat mengajukan perkara ke Mahkamah Partai yang keputusannya bersifat final dan mengikat.

Penutup
            Pemilu 2014 nanti merupakan Pemilu yang sangat penting bagi PPP. Saat itu PPP bisa bungah karena suara meningkat sebagaimana juga bisa punah karena tidak memenuhi ambang batas perolehan suara minimal. Semuanya sangat tergantung pada seluruh anggota dan pengurus PPP dari tingkat DPP sampai PR.
AD/ART PPP hasil kreasi manusia sehingga tidak akan mampu mancapai status kesempurnaan. Karena itu, dengan segala kelemahan dan kekurangannya, mari kita manfaatkan ketentuan yang ada dalam AD/ART PPP ini untuk memajukan PPP, bukan justru sebaliknya dijadikan alat politik untuk bertikai satu sama lain yang pada akhirnya justru merugikan PPP.
         Jika PPP punah berarti kita semua telah berdosa besar karena menghancurkan organisasi politik warisan ulama dan  organisasi Islam. Selamat beribadah dan berjuang bersama PPP. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberkahi langkah-langkah kita semua. Amin…!

*Zubairi Hasan adalah Ketua Departemen Website dan Jejaring Sosial DPP PPP Masa Bakti 2011-2015. Sahlul Fuad adalah Anggota Litbang DPP PPP Masa Bakti 2011-2015. Keduanya merupakan Tenaga Ahli Anggota DPR dari Fraksi PPP serta terlibat aktif dalam Tim Perubahan/Perumusan AD/ART, baik sebelum Muktamar, saat Muktamar, maupun pasca Muktamar VII PPP.


[1] Dikutip dari sebuah hadist yang arti lengkapnya berbunyi: “Seorang mukmin yang satu dengan yan lain bagaikan suatu bangunan, di mana satu bagian memperkuat bagian yang lain” (Hadist Riwayat Bukhari Muslim).
[2] Tidak hanya itu saja, Musyawarah Anak Cabang juga dilaksanakan 6 bulan setelah Musyawarah Cabang (Pasal 61 ayat 2 AD PPP) dan Musyawarah Ranting dilaksanakan 6 bulan setelah Musyawarah Anak Cabang (Pasal 64 ayat 2 AD PPP).
[3] Pasal 16 ayat (2) huruf e menjelaskan: “Wewenang Pengurus Harian DPP adalah: e. memberikan garis kebijakan dan petunjuk kepada Fraksi PPP di MPR-RI/DPR-RI dan Pengurus Harian DPW/DPC”.
[4] Pasal 25 ayat (2) huruf e. menjelaskan: “Wewenang Pengurus Harian DPW adalah: e. memberikan garis kebijakan dan petunjuk kepada Fraksi PPP di DPRD Provinsi dan DPC PPP”.
[5] Pasal 16 ayat (2) huruf f AD PPP berbunyi: “Wewenang Pengurus Harian DPP adalah: f. membatalkan/meluruskan/memperbaiki suatu keputusan yang diambil oleh Fraksi PPP di MPR-RI/DPR-RI, Musyawarah Wilayah/Cabang, serta Pengurus Harian DPW/DPC yang bertentangan dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, setelah mendengarkan pertimbangan dari Majelis Syari’ah atau Majelis Pertimbangan DPP sesuai dengan sifat keputusannya.”
[6] Pasal 25 ayat (2) huruf f. berbunyi: “Wewenang Pengurus Harian DPW adalah f. membatalkan/meluruskan/memperbaiki keputusan yang diambil oleh Fraksi PPP di DPRD Provinsi, Musyawarah Cabang dan Pengurus Harian DPC yang bertentangan dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, setelah mendengarkan pertimbangan dari Majelis Syari’ah DPW dan Majelis Pertimbangan DPW sesuai dengan sifat keputusannya.”
[7] Pasal 33 ayat (2) huruf b AD PPP berbunyi: “Wewenang Pengurus Harian DPC adalah mengusulkan kepada Pengurus Harian DPW tentang pencalonan pejabat publik di tingkat kabupaten/kota dan menetapkannya, yang mekanismenya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pengurus Harian DPP PPP.”
[8] Pasal 67 ayat (1) ART PPP berbunyi: “Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini akan diatur lebih lanjut dalam/dengan Peraturan Pengurus Harian DPP PPP”.
[9] Pasal 25 ayat (2) huruf c AD PPP berbunyi: “Wewenang Pengurus Harian DPW adalah mengesahkan Hasil Keputusan Musyawarah Cabang tentang Susunan dan Personalia Pengurus Harian DPC, Pimpinan Majelis Syari’ah DPC, Pimpinan Majelis Pertimbangan DPC, dan Pimpinan Majelis Pakar DPC.”
[10] Pasal 73 AD PPP berbunyi: “Pengurus Harian DPW/DPC menyesuaikan diri dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga hasil Muktamar VII PPP paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Muktamar VII PPP melalui Rapat Pengurus Harian Dewan Pimpinan sesuai dengan tingkatannya”.
[11] Pasal 33 ayat (2) huruf a berbunyi: “Wewenang Pengurus Harian DPC adalah a. mengambil keputusan tentang pencalonan/penggantian anggota-anggota yang ditugaskan pada lembaga-lembaga di luar PP di tingkat cabang/kabupaten/kota dengan persetujuan Pengurus Harian DPW.”
[12] Pasal 33 ayat (2) huruf b AD PPP berbunyi: “Wewenang Pengurus Harian DPC adalah mengusulkan kepada Pengurus Harian DPW tentang pencalonan pejabat publik di tingkat kabupaten/kota dan menetapkannya, yang mekanismenya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pengurus Harian DPP PPP.”
[13] Pasal 33 ayat (2) huruf f AD PPP berbunyi: “Wewenang Pengurus Harian DPC adalah f. menyelenggarakan Musyawarah Anak Cabang Luar Biasa dalam hal Pengurus Harian DPC menilai bahwa telah terjadi kevakuman organisasi dan kepemimpinan pada Pengurus Harian PAC dengan persetujuan Pengurus Harian DPW.”
[14] Pasal 20 ayat (4) dan (5) AD PPP berbunyi: “Mahkamah Partai DPP bertugas dan berwenang: a. memutus perkara perselisihan kepengurusan internal PPP; memutus perkara pemecatan dan pemberhentian anggota PPP; c. memutus perkara dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh Anggota Dewan Pimpinan; d. memutus perkara dugaan penyalahgunaan keuangan.”
[15] Pasal 55 ART PPP berbunyi: “(1) Rapat Pleno adalah rapat yang dihadiri oleh Pengurus Harian, Pimpinan Majelis, Pimpinan Mahkamah Partai, Pimpinan Departemen/Biro/Bagian/Seksi/Kelompok Kerja sesuai dengan tingkatannya, Pimpinan Lembaga, serta Ketua Badan Otonom sesuai dengan tingkatannya yang diselenggarakan oleh Pengurus Harian sesuai dengan tingkatannya sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali; (2) Rapat Pleno sah apabila dihadiri oleh lebih dari ½ (seperdua) peserta rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1); (3) Apabila jumlah peserta rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, maka rapat ditunda selama 60 menit. Setelah waktu 60 menit peserta rapat belum mencapai kuorum, maka Rapat Pleno dapat dilangsungkan dan dapat mengambil keputusan; (4) Rapat Pleno berwenang: a. Mengevaluasi pelaksanaan program kerja Departemen/Biro/Bagian/ Seksi/Kelompok Kerja, dan Pimpinan Lembaga yang dikoordinasikan oleh Ketua-Ketua Bidang; b. Memutuskan program kerja yang harus segera ditindaklanjuti; c. Memutuskan hal-hal lain yang perlu diputuskan oleh Dewan Pimpinan PPP di tingkatannya masing-masing.”

[16] Pasal 56 ART PPP berbunyi: (1) Rapat Majelis Musyawarah Partai DPP adalah rapat yang dihadiri oleh Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, Ketua Majelis Syari’ah, Ketua Majelis Pertimbangan, dan Ketua Majelis Pakar, serta Ketua Mahkamah Partai DPP; (2) Rapat Majelis Musyawarah Partai DPW/DPC adalah rapat yang dihadiri oleh Ketua DPW/DPC, Sekretaris DPW/DPC, Ketua Majelis Syari’ah DPW/DPC, Ketua Majelis Pertimbangan DPW/DPC, dan Ketua Majelis Pakar DPW/DPC; (3) Rapat Majelis Musyawarah DPP dipimpin oleh Ketua Umum DPP, Rapat Majelis Musyawarah DPW dipimpin oleh Ketua DPW, Rapat Majelis Musyawarah DPC dipimpin oleh Ketua DPC; (4) Rapat Majelis Musyawarah Partai berwenang memberikan usulan kepada DPP/DPW/DPC berkaitan dengan pencalonan jabatan publik di berbagai lembaga negara/pemerintahan dan di lembaga-lembaga lain di luar partai; (5) Pengambilan keputusan dalam Rapat Majelis Musyawarah Partai berdasarkan musyawarah mufakat, tanpa voting.”

Menghayati Makna Ibadah dalam Berpartai dan Berpolitik


Menghayati Makna Ibadah dalam Berpartai dan Berpolitik
Oleh: Lukman Hakim Saifuddin*

Ibadah merupakan tujuan tunggal dan pokok dari penciptaan umat manusia, sesuai dengan pesan al-Qur’an dalam Surat al-Dzariyat ayat 56: “Tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku (Allah).” Ayat itu tidak berbunyi: “Aku ciptakan jin dan manusia untuk beribadah,” karena dimaksudkan untuk memberikan penekanan bahwa tujuan penciptaan manusia dan jin adalah hanya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bukan untuk tujuan lain.

Karena itu, dalam kehidupan berpartai dan berpolitik prinsip ibadah merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditinggalkan, apalagi kita beraktivitas dalam partai Islam, yakni melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

PPP sendiri menempatkan prinsip ibadah sebagai prinsip pertama sehingga bermakna memayungi prinsip lainnya, seperti prinsip amar ma’ruf nahi  munkar, prinsip kebenaran, kejujuran, dan keadilan, prinsip musyawarah, prinsip persamaan, kebersamaan, dan persatuan, serta prinsip istiqamah (Pasal 4 AD PPP).  Ini berarti amar ma’ruf nahi  munkar dan prinsip lainnya tidak akan bermakna apa-apa jika tidak diniatkan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Prinsip ibadah juga dimuat dalam Khitthah dan Program Perjuangan PPP. AD/ART serta Khitthah dan Program Perjuangan PPP diubah dan ditetapkan dalam forum tertinggi di PPP, yaitu di muktamar. Terkahir, AD/ART serta Khitthah dan Program Perjuangan PPP ditetapkan dalam Muktamar VII PPP tanggal 3-6 Juli 2011 di Bandung, Jawa Barat.

Karena prinsip ibadah dimuat dalam AD/ART dan Khitthah,  maka seluruh anggota dan pengurus PPP harus memperhatikan, mendalami, dan merealisasikan prinsip ibadah itu dengan baik. Artinya, anggota dan pengurus PPP harus menanamkan prinsip ibadah dalam lubuk hati yang paling dalam, lalu mewujudkannya dalam berbagai dimensi kehidupan baik dalam konteks personal maupun dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan prinsip ibadah, anggota dan pengurus PPP harus meniatkan segala tindak tanduk kehidupannya secara personal maupun secara publik untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bukan untuk mencari jabatan secara legal, apalagi menghalalkan segala cara. Namun jika aktivitas kita di PPP berimplikasi pada adanya amanat kepada kita, melalui jabatan tertentu, maka kita harus bertanggung jawab penuh, di dunia dan akhirat, untuk menjalankan amanat itu.

Dengan niat ibadah, anggota dan pengurus PPP harus selalu mawas diri untuk melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dapat merusak nilai ibadah dan merusak nama baik PPP, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.  Selain itu, prinsip ibadah menjadi tameng bagi anggota dan kader PPP agar tidak mudah stress jika dalam kehidupan berpolitik mengalami kekecewaan karena berbagai alasan atau karena kejadian tertentu yang sering terjadi di dunia politik. Dengan demikian, konsekwensi dari  prinsip ibadah dalam kehidupan berpartai dan berpolitik, antara lain, adalah:

Pertama, anggota dan pengurus PPP harus mempertanggung-jawabkan aktivitiasnya di PPP, tidak saja di dunia, melainkan juga di akhirat, karena sebagai partai Islam, PPP tidak hanya berdimensi duniawi, melainkan juga berdimensi ukhrawi. Memang, Malaikat Munkar dan Nakir tidak akan bertanya: “Apa partai kamu?” Namun jika kita memilih PPP, di akhirat pasti kita akan ditanya: “Apakah kita menggunakan PPP untuk kepentingan umat atau hanya untuk kepentingan pribada saja?” Karena itu, anggota dan pengurus PPP harus bekerja sungguh-sungguh untuk PPP, karena jika diniatkan ibadah, kiprah kita di PPP akan mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu Wata’ala.

Kedua, anggota dan pengurus PPP harus memberikaan sumbangsih kepada umat dan agama Islam melalui PPP sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik ketika yang bersangkutan menjadi pengurus PPP atau hanya menjadi anggota biasa. Seseorang yang hanya memberikan sumbangsih kepada umat melalui PPP di saat terpilih menjadi pengurus, lalu melupakan PPP bahkan malah mencibir PPP di saat tidak menjadi pengurus patut dipertanyakan niatnya untuk beribadah bersama PPP.

Ketiga, anggota dan pengurus PPP tidak boleh berkiprah di PPP untuk meraih jabatan publik semata, lalu melupakan tanggung jawab pokoknya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Walau begitu, anggota dan aparat PPP harus siap mengemban amanat yang dipercayakan kepadanya. Jika ada keputusan Partai yang memberikan tanggung jawab kepada anggota/aparat PPP, maka yang bersangkutan harus melaksanakan amanat itu walaupun untuk itu harus mengorbankan harta dan bahkan jiwa.

Keempat, anggota dan pengurus PPP harus saling mendukung satu sama lain, bukan saling menjatuhkan. PPP adalah partai Islam yang didirikan untuk beribadah, karena itu PPP berbeda dengan partai politik lainnya yang didirikan semata-mata sebagai kendaraan meraih jabatan publik. Karena itu, sikut-sikutan yang lumrah terjadi dunia politik tidak boleh terjadi di PPP. Jika hal yang lumrah terjadi di dunia politik juga terjadi di PPP, maka PPP tidak berhak mengklaim sebagai partai Islam atau partai ibadah.

*Penulis adalah Wakil Ketua Umum DPP PPP Masa Bakti 2011-2015

Dari Pesantren Baitullah Sampai Menginap di PAC/PR


Catatan Khitthah dan Program Perjuangan PPP
Dari Pesantren Baitullah Sampai Menginap di PAC/PR

Oleh: Zubairi Hasan*

Pendahuluan
Dalam Rapat Pleno I DPP PPP 2011-2015, 21-22 Oktober 2011 di Jakarta, Ketua DPP PPP Ibu Ermalena menyampaikan pertanyaan mendasar, apakah pengurus PPP dari tingkat pusat sampai ranting yang berjumlah 1 juta lebih orang betul-betul ada dan bekerja untuk PPP atau hanya tertulis di atas kertas saja? Kalau 1 juta pengurus itu bekerja, kenapa suara PPP menurun terus? Sayang, dalam Rapat Pleno itu, pertanyaan Ibu Ermalena tidak mendapatkan jawaban yang tuntas.

Kalau dilakukan audit secara mendalam, niscaya kita tahu bahwa memang banyak PAC dan PR PPP yang kurang aktif atau tidak aktif sama sekali. Selain itu, banyak PAC/PR yang aktif jika ada even partai di atasnya, seperti Pemilihan Ketua DPC atau even lainnya. Di luar itu, wujuduhu ka’adamihi. Namun kita juga tidak perlu menutup mata terhadap beberapa PAC/PR yang melakukan aktivitas kepartaian secara rutin, antara lain melakukan kaderisasi, pelatihan, diskusi, dan kegiatan positif lainnya. Kita patut bangga dengan PAC/PR yang terus bekerja untuk PPP, meskipun sumber daya yang dimiliki sangat terbatas. Untuk itu, DPP PPP perlu memberikan penghargaan khusus terhadap PAC dan PR yang melakukan aktivitasnya dengan baik, bukan didiamkan saja. Apalagi mereka merupakan ujung tombak PPP yang berhadapan langsung dengan masyarakat.

Sebenarnya, Khitthah dan Program Perjuangan PPP yang disahkan dalam Muktamar VII PPP 2011 di Bandung sedikit memberikan jawaban dalam soal bagaimana menghidupkan PAC dan PR. Ada dua amanat yang diberikan oleh Khitthah, yaitu agar (1) PPP segera membangun Pesantren Baitullah dan (2) PPP mewajibkan pengurus di level atas menginap di rumah Ketua PAC dan PR minimal setiap 6 bulan.

Dalam Rapat Pleno I DPP PPP, Ketua Umum PPP H. Suryadharma Ali membacakan dan sedikit mengulas kedua program itu. Ini berarti, Ketua Umum sudah mengetahui bahwa Khitthah dan Program Perjuangan PPP sudah mengamanatkan kedua program itu, sehingga selanjutnya tinggal direalisasikan oleh DPP PPP agar tidak dicap telah mengkhianati amanat forum tertinggi PPP, yaitu Muktamar VII 2011.

Pesantren Baitullah
Amanat pendirian Pesantren Baitullah diulas dalam Bab Pemenangan Pemilu Khitthah dan Program Perjuangan PPP yang berbunyi:
DPW PPP dengan bantuan DPP membangun Pondok Pesantren Ka’bah/Baitullah paling sedikit satu lembaga di setiap provinsi yang mendidik secara gratis anak muda berusia 16-19 yang putus sekolah, tidak mampu, atau anak yatim/piatu dengan pendidikan (1) ke-Islam-an, (2) ke-PPP-an, dan (3) kewirausahaan dan praktikumnya, sehingga Pondok Pesantren Ka’bah itu mampu melahirkan peserta didik yang siap untuk  mandiri dan berjuang bagi PPP di anak cabang atau ranting yang membutuhkannya. Pesantren ini merupakan pintu masuk agar PPP meningkatkan kepeduliannya pada kaum dhua’fa (wong cilik/kaum lemah) dan mustad’afin (kaum tertindas) serta pada saat bersamaan membangun sistem kaderisasi yang berkesinambungan dan institusional.

Menurut peserta Muktamar yang mengusulkan hal ini bahwa Pesantren Baitullah adalah program unggulan PPP yang dimaksudkan untuk: (a) secara internal PPP menyelesaikan masalah kaderisasi yang kurang berjalan efektif, (b) secara keumatan, mengangkis umat Islam di level paling bawah dari kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan, serta (c) secara kebangsaan, merupakan pintu masuk untuk menyelesaikan persoalan pengangguran yang merupakan persoalan akut bagi bangsa Indonesia.

Pesantren Baitullah ini tidak akan mahal, karena meskipun gratis, namun peserta didik dituntut untuk berwirausaha di luar jam belajar. Misalnya, waktu belajar dari jam 07.00 sampai jam 11.00 dengan 3 materi utama yaitu Ke-Islam-an, ke-PPP-an, dan kewirausahaan. Setelah itu peserta didik berjualan keliling atau membuka toko yang difasilitasi Pesantren, di mana keuntungan menjadi hak peserta didik dan sebagian kecil disetorkan ke Pesantren Baitullah. Hal ini terus dilakukan minimal selama 3 tahun.

Peserta didik diupayakan berasal dari anak yatim piatu dan kaum dluafa/mustad’afin berusia 16-19 tahun yang selama ini mereka bekerja serabutan atau menganggur, karena tidak mempunyai asset/modal usaha atau pengetahuan memadai, kecuali hanya tenaga saja. Dengan sentuhan sedikit kewirausahaan dan modal dasar seperti gerobak, mereka siap untuk menjadi kader PPP yang mandiri dan militant di masa mendatang.

Alumni Pesantren Baitullah tidak akan menjadi pengangguran, karena sejak dini sudah dibiasakan berwirausaha. Selain itu, alumni Pesantren Baitullah siap untuk memperkuat barisan PPP di level paling lemah di PPP yaitu di tingkat kecamatan dan ranting dengan militansi yang tidak dapat diragukan lagi.

Masyumi besar karena aktivisnya atau Masyumi secara institusional meninggalkan lembaga-lembaga Islam yang sampai kini dinikmati umat Islam, seperti Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, dan lain sebagainya. Padahal usia Masyumi dalam kancah perpolitikan nasional hanya sekitar 15 tahun. Lalu bagaimana dengan PPP yang sudah berusia 30 tahun? Apa saja yang sudah didedikasikan untuk umat? Pesantren Baitullah ini merupakan cikal bakal agar PPP dapat membangun pesantren yang mempunyai visi kewirausahaan namun pada saat bersamaan melahirkan kader militan untuk kemajuan PPP. Jika PPP mati karena berbagai alasan, masyarakat Indonesia akan terus mencatatnya dengan tinta emas, sebagaimana mereka mencatat Masyumi dahulu.

Menginap Di rumah PAC/PR
Program menginap di rumah Ketua PAC/PR dijelaskan dalam Bab Pemenangan Pemilihan Umum Khitthah dan Program Perjuangan PPP yang berbunyi:

DPP PPP dan DPW PPP mewajibkan dan mengatur agar Pengurus Harian DPP dan DPW  serta ditemani Pengurus Harian DPC secara bergiliran dan sesuai dengan daerah pemilihannya “menginap” di rumah Ketua Anak Cabang atau Ketua Ranting, atau di mushalla terdekat, lalu melakukan pendidikan politik, santunan anak yatim, dan kegiatan positif lainnya. Seorang Pengurus Harian melakukan kegiatan seperti ini paling sedikit setiap 6 bulan.

DPP PPP, DPW PPP, dan DPC PPP mengatur anggota DPR dan DPRD Provinsi dari PPP ditemani anggota DPRD Kabupaten/kota dari PPP sesuai dengan daerah pemilihannya secara bergiliran “menginap”  di rumah Ketua Anak Cabang atau Ketua Ranting, atau di mushalla terdekat, lalu melakukan pendidikan politik, santunan anak yatim, dan kegiatan positif lainnya. Seorang anggota DPR atau DPRD dari PPP melakukan kegiatan seperti ini paling sedikit setiap 3 bulan.

Ketentuan di atas merupakan salah satu upaya agar pengurus PPP di level paling atas dapat bersilaturahmi secara langsung pada pengurus PPP di level paling bawah. Perlu ditegaskan di sini, pengurus PPP di level bawah paling banyak menghadapi persoalan, karena pada satu sisi pengurus PPP di level bawah dituntut untuk membantu menyelesaikan persoalan kader dan keumatan secara langsung, namun pada saat bersamaan sumber daya yang mereka miliki sangat terbatas. Sementara itu, pengurus PPP di level atas tidak bersentuhan langsung dengan persoalan riil di lapangan, namun mereka mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengakses sumber daya yang halal dan legal.

Nah, kewajiban bagi Pengurus Harian DPP dengan ditemani Pengurus Harian DPW dan DPC serta kewajiban anggota DPR dengan ditemani anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dimaksudkan agar persoalan di level paling bawah dapat diselesaikan dengan bantuan pengurus PPP di level paling atas. Selain itu acara ini penting bahwa PPP merupakan organ yang seperti disitir al-Hadist “kal bulyan, yasyuddu ba’dluhum ba’dla”. PPP merupakan sebuah organisasi yang seperti bangunan di mana satu bagian dapat memperkuat bagian lainnya.

Katakanlah, jika dalam satu waktu ada 55 Pengurus Harian dan 38 anggota DPR menginap di rumah Ketua PAC/PR, ada sekitar 90 titik, di mana pengurus PPP di level atas menghidupkan sel-sel dan roda organisasi PPP di level paling bawah. Lalu, dengan inspirasi itu DPW melakukan hal yang sama, maka pada saat bersamaan aka nada ratusan titik di mana upaya untuk menghidupkan sel paling bawah dari organ PPP diintensifkan. Jika hal itu dilakukan secara istiqamah, maka seluruh 6.000 lebih PAC dapat dihidupkan. Hanya dengan cara ini, PPP akan  menjadi partai besar, karena mesin organisasi di level paling bawah terus hidup. Pengurus PPP di level paling atas tidak bisa hanya menyerahkan masalah PAC dan PR kepada DPC, karena 

Kejayaan Masyumi di masa lalu, salah satunya, karena para tokoh nasionalnya rela datang ke sebuah pelosok pedesaan, meskipun hanya untuk meresmikan kantor di tingkat kecamatan atau tingkat desa. Tokoh Masyumi seperti M. Natsir dan Kasman Singademedjo, sebagai diulas dalam buku biografinya menceritakan bagaimana mereka berkunjung ke kantor Masyumi tingkat kecamatan meskipun untuk mencapainya harus naik kereta, naik perahu, naik kuda, lalu berjalan kaki. Kenapa PPP tidak melakukannya untuk mengikuti jejak kejayaan Masyumi?

Penutup
Khitthah dan Program Perjuangan PPP merupakan landasan bagi PPP untuk merumuskan kebijakan dan program kerja. Khitthah diubah dan disahkan setiap Muktamar, sehingga mempunyai kekuatan hukum paling tinggi di internal PPP karena disahkan dalam forum tertinggi. Untuk itu, DPP PPP berkewajiban merealisasikannya agar tidak dianggap mengkhianati amanat Muktamar. Selamat bekerja….!

*Penulis adalah Ketua Departemen Website & Jejaring Sosial DPP PPP
Baca lainnya »
Baca lainnya »
 

© Copyright 2008-2013 DPC PPP Kabupaten Tegal | Design by Eko Mahendra Ridho | Powered by Blogger.com.