Menghayati Makna Ibadah dalam Berpartai dan Berpolitik
Oleh: Lukman Hakim
Saifuddin*
Ibadah merupakan tujuan tunggal
dan pokok dari penciptaan umat manusia, sesuai dengan pesan al-Qur’an dalam
Surat al-Dzariyat ayat 56: “Tidaklah Aku
(Allah) ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku (Allah).”
Ayat itu tidak berbunyi: “Aku ciptakan jin dan manusia untuk beribadah,” karena
dimaksudkan untuk memberikan penekanan bahwa tujuan penciptaan manusia dan jin
adalah hanya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu
Wata’ala, bukan untuk tujuan lain.
Karena itu, dalam kehidupan
berpartai dan berpolitik prinsip ibadah merupakan keniscayaan yang tidak bisa
ditinggalkan, apalagi kita beraktivitas dalam partai Islam, yakni melalui
Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
PPP sendiri menempatkan prinsip
ibadah sebagai prinsip pertama sehingga bermakna memayungi prinsip lainnya,
seperti prinsip amar ma’ruf nahi munkar, prinsip kebenaran, kejujuran, dan
keadilan, prinsip musyawarah, prinsip persamaan, kebersamaan, dan persatuan,
serta prinsip istiqamah (Pasal 4 AD
PPP). Ini berarti amar ma’ruf nahi munkar dan
prinsip lainnya tidak akan bermakna apa-apa jika tidak diniatkan untuk
beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Prinsip ibadah juga dimuat dalam Khitthah dan Program Perjuangan PPP.
AD/ART serta Khitthah dan Program
Perjuangan PPP diubah dan ditetapkan dalam forum tertinggi di PPP, yaitu di
muktamar. Terkahir, AD/ART serta Khitthah
dan Program Perjuangan PPP ditetapkan dalam Muktamar VII PPP tanggal 3-6 Juli
2011 di Bandung, Jawa Barat.
Karena prinsip ibadah dimuat
dalam AD/ART dan Khitthah, maka seluruh anggota dan pengurus PPP harus
memperhatikan, mendalami, dan merealisasikan prinsip ibadah itu dengan baik.
Artinya, anggota dan pengurus PPP harus menanamkan prinsip ibadah dalam lubuk
hati yang paling dalam, lalu mewujudkannya dalam berbagai dimensi kehidupan
baik dalam konteks personal maupun dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dengan prinsip ibadah, anggota dan
pengurus PPP harus meniatkan segala tindak tanduk kehidupannya secara personal
maupun secara publik untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bukan untuk mencari jabatan secara legal,
apalagi menghalalkan segala cara. Namun jika aktivitas kita di PPP berimplikasi
pada adanya amanat kepada kita, melalui jabatan tertentu, maka kita harus
bertanggung jawab penuh, di dunia dan akhirat, untuk menjalankan amanat itu.
Dengan niat ibadah, anggota dan
pengurus PPP harus selalu mawas diri untuk melakukan penyimpangan dan
penyalahgunaan wewenang yang dapat merusak nilai ibadah dan merusak nama baik
PPP, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selain itu, prinsip ibadah menjadi tameng bagi anggota dan kader PPP
agar tidak mudah stress jika dalam kehidupan berpolitik mengalami kekecewaan
karena berbagai alasan atau karena kejadian tertentu yang sering terjadi di
dunia politik. Dengan demikian,
konsekwensi dari prinsip ibadah dalam
kehidupan berpartai dan berpolitik, antara lain, adalah:
Pertama, anggota dan pengurus PPP
harus mempertanggung-jawabkan
aktivitiasnya di PPP, tidak saja di dunia, melainkan juga di akhirat, karena
sebagai partai Islam, PPP tidak hanya berdimensi duniawi, melainkan juga
berdimensi ukhrawi. Memang, Malaikat Munkar dan Nakir tidak akan bertanya: “Apa
partai kamu?” Namun jika kita memilih PPP, di akhirat pasti kita akan ditanya:
“Apakah kita menggunakan PPP untuk kepentingan umat atau hanya untuk
kepentingan pribada saja?” Karena itu, anggota dan pengurus PPP harus bekerja
sungguh-sungguh untuk PPP, karena jika diniatkan ibadah, kiprah kita di PPP
akan mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu
Wata’ala.
Kedua, anggota dan pengurus PPP
harus memberikaan sumbangsih kepada umat dan agama Islam melalui PPP sesuai
dengan kemampuan masing-masing, baik ketika yang bersangkutan menjadi pengurus
PPP atau hanya menjadi anggota biasa. Seseorang yang hanya memberikan
sumbangsih kepada umat melalui PPP di saat terpilih menjadi pengurus, lalu
melupakan PPP bahkan malah mencibir PPP di saat tidak menjadi pengurus patut
dipertanyakan niatnya untuk beribadah bersama PPP.
Ketiga, anggota dan pengurus PPP
tidak boleh berkiprah di PPP untuk meraih jabatan publik semata, lalu melupakan
tanggung jawab pokoknya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Walau begitu, anggota dan aparat PPP harus siap
mengemban amanat yang dipercayakan kepadanya. Jika ada keputusan Partai yang
memberikan tanggung jawab kepada anggota/aparat PPP, maka yang bersangkutan
harus melaksanakan amanat itu walaupun untuk itu harus mengorbankan harta dan
bahkan jiwa.
Keempat, anggota dan pengurus PPP
harus saling mendukung satu sama lain, bukan saling menjatuhkan. PPP adalah
partai Islam yang didirikan untuk beribadah, karena itu PPP berbeda dengan
partai politik lainnya yang didirikan semata-mata sebagai kendaraan meraih
jabatan publik. Karena itu, sikut-sikutan yang lumrah terjadi dunia politik
tidak boleh terjadi di PPP. Jika hal yang lumrah terjadi di dunia politik juga
terjadi di PPP, maka PPP tidak berhak mengklaim sebagai partai Islam atau
partai ibadah.