PENGUMUMAN: Dibuka pendaftaran bakal calon anggota DPRD Kabupaten Tegal, mulai 1 Januari s/d 28 Februari 2013. Info: Hubungi DPC PPP Kabupaten Tegal, telp.(0283)3275717 | Eko Mahendra Ridho

Follow Us

HEADLINE NEWS

DPC PPP Kabupaten Tegal ©2008-2012 All Right Reserved. Diberdayakan oleh Blogger.
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Baca lainnya »

Bid'ah Politik

17 Januari 2013


Oleh: HA. Chozin Chumaidy*

Politik pada hakekatnya adalah suci dan luhur. Karena merupakan norma, nilai dan aturan yang ditujukan untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi demokratis, berkeadilan, bermartabat sesuai dengan falsafah yang dianut oleh masyarakat dimana politik itu dijalankan.

Akan tetapi akhir-akhir ini politik menjadi sasaran kritik yang sangat tajam dari masyarakat, sebagai akibat prilaku menyimpang dari para pelaku politik itu sendiri, baik mereka yang bergerak dibidang legeslatif, eksekutif maupun yudikatif, bahkan juga dimasyarakat luas disaat mereka bersentuhan dengan aplikasi politik itu sendiri, seperti Pemilukada, Pileg dan Pilpres. Dimana politik tidak menunjukkan wajahnya yang bermoral, santun, dengan ekspresi dan semangat kejuangan untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat serta prilaku yang berkeadaban yang disinari dengan nilai-nilai luhur bangsa dan keyakinan agama yang suci.

Politik tansaksional dewasa ini tengah menghiasi wajah politik bangsa, kedaulatan rakyat telah tergeser dengan “kedaulatan uang”. Dan fenomena yang sangat memprihatinkan telah merobek moralitas dan jatidiri bangsa, dimana secara vulgar masyarakat menyatakan “wanipiro” (berani bayar berapa-bhsjawa), disaat mereka diajak untuk mempergunakan hak pilihnya, dimana hal itu merupakan salah satu hak-hak dasar yang dimiliki oleh rakyat, hak politik yang sangat esensial untuk menentukan masa depan bangsa. Hal itu diucapkannya dengan enteng seperti menukar barang mainan, yang bias ditukar dengan mudah dan murah. Secara tidak sadar mereka telah melakukan penyimpangan terhadap makna dan prilaku politik.

Sebagaimana diketahui bahwa Politik transaksional itu terjadi, adalah merupakan buah dari pragmatism politik, sebagai akibat logis dari tercerabutnya ideology politik dari partai politik, serta sirnanya moralitas politik dari para pelaku politik. Secara transparan dapat kita ikuti, pada proses pemilukada, dimana seorang calon kepala daerah dituntut untuk menyediakan biaya yang sangat besar, konon hingga sampai puluhan milyar, dan untuk calon anggota legeslatif, diperlukan dana sampai satu-dua milyar. Memang kita bias memahami bahwa untuk proses pencalonan seseorang baik untuk calon kepala daerah maupun anggota legeslatif, diperlukan infra struktur seperti baliho, spanduk, poster, sebagai alat kampanye, dan juga pertemuan-pertemuan terbuka maupunt ertutup, sebagai media kampanye. Akan tetapi dengan sampai menghabiskan dana puluhan milyar itulah yang menjadi tanda Tanya besar.  Barang kali dapat dipastikan bahwa dana besar itu diperlukan untuk “membayar” pemilih, atau “membeli” suara. Yang dalam bahasa agama adalah “risywah” atau suap.

Syeh Muhammad Yusuf Qordhowi dalam bukunya “Al-Halal wal haram fil Islam” menyatakan bahwa suap adalah salah satu bentukperbuatan yang diharamkan dalam Islam, dan dilaknat oleh Allah danRasul-Nya, sebagaimana Sabda Rasulullah : “Allah melaknat penyuap dan yang menerima suap”(HR.Ahmad, Tarmidzi, dan Ibnu Hibban), bahkan orang yang menfasilitasi terjadinya suap juga termasuk yang dilaknat. “Rasulullah melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara suap” (HR. Ahmaddan Hakim).

Padahal politik dalam prespektif Islam, adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan, tugas amarma’ruf nahi munkar, tugas merubah kehidupan masyarakat menuju masyarakat yang ber-iman, ber-ahlaqulkarimah, untuk membangun tatanan social yang rukun, damai, saling mengormatidan menghargai, dengan landasan tuntunan ilahi.

Dengan demikian politik sejatinya adalah implementasi dari da’wah, khususnya da’wahsiyasiyah, yaitu mengajak masyarakat untuk berbuat dan berlomba meraih kebajikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar prespektif itulah, maka politik harus dilandasi dengan nilai-nilai Al-Amanah(pertanggungjawaban), Al-Khuriyyah (kebebasan), dan Al-Ukhuwwah (persatuan). Nilai Al-Amanah, maka politik harus memiliki dimensi pertanggung jawaban, tidak hanya kepada masyarakat, akan tetapi kepada Allah swt, karena politik sebagai perwujudan tugas manusia sebagai khalifahfil-ardh. Nilai Al-Khuriyyah, maka politik harus berdimensi membebaskan masyarakat dari kedloliman, ketidak adilan dan penistaan serta kemiskinan dan kebodohan. Nilai Al-Ukhuwwah, maka politik harus memperkuat persatuan bangsa, memperkokoh kebersamaan, bukan merusak dan memecah belah umat. Apalagi sampai menghancurkan NKRI.

Tiga nilai itulah yang akan menghantarkan politik menjadi bermakna dan terjaga keluhuran dank esuciannya, yang selanjutnya dapat memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan Negara, dengan kata lain politik menjadi fungsional, merubah dan membangun masyarakat menjadib aik, maju, mandiri dan sejahtera, menujumasyarakatmadani yang marhamah.

Praktek risywah atau politik transaksional, jelas bertentangan dengan nilai syariat, merusak moralitas bangsa, menghancurkan nilai idealism masyarakat, dikerdilkan wawasan kebangsaannya, serta mendegradasi system dan nilai politik yang suci dan luhur. Politik transaksional adalah merupakan bid’ahpolitik yang harus kita cegah dan kita hindari.[cc].

*Penulis adalah Ketua Mahkamah Partai DPP PPP/Mantan Anggota DPR RI.

Perlunya Reformasi Jilid II

17 Januari 2013


Oleh : HA.Chozin Chumaidy*

Muqoddimah
Reformasi 1998 pada hakekatnya adalah upaya bangsa Indonesia  untuk melakukan perubahan menuju penyelenggaraan Negara yang lebih demokratis, transparan, dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya jaminan kebebasan berpendapat. Upaya ini dilakukan sebagai koreksi terhadap penyelenggaraan Negara dalam era orde baru, dan sekaligus untuk mendekatkan bangsa Indonesia pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana yg diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Butir-butir reformasi dirumuskan dalam 6 (enam) hal pokok yaitu, Amandemen UUD 1945, Penghapusan Dwi-fungsi ABRI, Penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (Otonomi daerah), Mewujudkan Kebebasan pers dan Mewjudkan demokrasi.

Empat belas tahun sudah reformasi ini berjalan, dan sudah banyak hal-hal positif kita hasilkan, khususnya dalam penataan kehidupan politik, pembangunan demokrasi, Reposisi dan restrukturisasi TNI, Kebebasan pers, Otonomi daerah, Perlindungan HAM serta Pemberantasan KKN. Walaupun secara sadar juga harus kita akui bahwa keberhasilan tersebut masih belum memenuhi harapan masyarakat seseuai dg akseptasi masyarakat terhadap gerakan reformasi yang seharusnya dapat melakukan perubahan secara total dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang lebih baik secara kualitatif sesuai dengan arah reformasi itu sendiri.

Realitas Reformasi
Prof. Dr. Eko Prasojo mengatakan bahwa: “reformasi harus dibedakan dengan perubahan. Perubahan tidak selamanya menghasilkan perbaikan-perbaikan, sebagaimana diharapkan diawal, sedangkan reformasi adalah perubahan yang dikehendaki (intended change) dalam suatu kerangka kerja yang jelas dan terarah (Reformasi Kedua, Salemba Humanika, Jakarta, 2009).

Ada terkesan bahwa gerak langkah reformasi saat ini masih dalam batas “kulit” belum menyentuh pada isinya. Seperti misalnya Pembangunan demokrasi masih terbatas pada prosedural, Otonomi daerah terbatas pada pembagian kekuasaan dan jabatan didaerah, Penataan  system pemerintahan baru terbatas pada pembentukan lembaga-lembaga baru, dan perkuatan posisi lembaga legeslatif dihadapan Presiden.  Pembangunan system politik, baru nampak pada kebebesan mendirikan partai politik dan Pemilu langsung oleh rakyat baik dalam Pilpres, Pemilukada maupun Pemilu legeslatif.  Pendirian partai politik hanya diorientasikan untuk perebutan jabatan dan kekuasaan, belum pada perkuatan fungsi-fungsi partai politik itu sendiri, khususnya dalam relasinya dengan masyarakat baik dalam pendidikan politik maupun mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Dr. Syarif Hidayat, MA.APU (LIPI), bahwa “dilihat dari prespektif relasi Negara dan masyarakat, sangat jelas terlihat bahwa dalam kurun waktu 10 tahun pertama (1998-2008), proses reformasi di Indonesia, cenderung lebih banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun institusi Negara. Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas Negara, relatif belum mendapat perhatian yang seimbang.” (Reformasi Setengah Hati, Taraju, Jakarta 2010).

Sehingga perjalanan reformasi ada yang terkesan  mandeg, seperti reformasi birokrasi, jalan ditempat,seperti pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, kebablasan, seperti pelaksanaan demokrasi, dan pemilu langsung oleh rakyat. Tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, seperti perlindungan terhadap HAM, Tidak fokus, seperti pelaksanaan otonomi daerah.

Jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada bulan Mei 2012, menyimpulkan bahwa sebagian besar responden (57,4%) menyatakan reformasi tidak berhasil, hanya 36,2% yang menyatakan berhasil.

Bidang-bidang yang dinilai telah memenuhi tuntutan reformasi adalah kebebasan berpolitik antara lain kebebasan mendirikan partai (65%), kebebasan berekspresi lewat media massa dan demontrasi  (68,2%), sebaliknya yang dinilai belum memenuhi tuntutan reformasi adalah penanganan kasus-kasus korupsi/KKN (84,8%), belum terjangkaunya kebutuhan pokok masyarakat (88,0%).

Walaupun demikian sebagian besar responden (70%) menilai gerakan reformasi masih diperlukan untuk mengubah kondisi bangsa. Gerakan ini harus dibangun bersama melibatkan seluruh komponen bangsa. Dan 49% yakin masih ada tokoh-tokoh yang bisa menggerakkan dan melanjutkan cita-cita reformasi.

Ada beberapa langkah reformasi yang patut kita cermati dan kita evaluasi, serta dicarikan solusinya, sehingga kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masih tetap dalam konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan landasan UUD 45 dan Pancasila dengan semangat menuju Indonesia yang sejahtera, adil dan mandiri. Butir-butir reformasi tersebut antara lain yang berkaitan dengan :

Lembaga Perwakilan
Saat ini distruktur ketata negaraan ada dua lembaga perwakilan, yaitu DPR.RI dan DPD. DPR RI merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan faham politik rakyat, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keaneka ragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah, dan dimaksudkan untuk :

Pertama, memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.

Kedua, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daearh dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan Negara dan daerah.

Ketiga, mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.(lihat Panduan pemasyarakatan UUD Negara  Republik Indonesia Tahun 1945, Setjen MPR, Jakarta 2008).

Kalau dilihat dari kelembagaannya, kita menganut system perwakilan “dua kamar” atau dengan istilahbicameral. Akan tetapi kalau melihat fungsi DPD yang terbatas, sebagaimana diatur dalam pasal 22D UUD 45 yaitu, Mengajukan RUU tertentu kepada DPR, Ikut membahasan RUU tertentu, dan Melakukan pengawasan pelaksanaan UU tertentu yg hasilnya disampaikan kepada DPR, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya kita menganut system perwakilan unicameral. Bahkan ada yang memakai istilahsoft-bicameral.

Relasi antara DPR dan DPD harus diselesaikan, setidaknya kita mengkaji kembali system yg telah ditetapkan dalam UUD 45 (amandemen ketiga), tentang lembaga perwakilan yang kita anut. Karena kondisi seperti saat ini mengakibatkan in-effisiensi dan pemborosan anggaran Negara. Alternatifnya memberikan perkuatan fungsi DPD atau DPD dihapus atau dikembalikan lagi pada system Utusan Daerah.

Sistem Presidensial
Sistem pemerintahan presidensial (UUD 45 pasal 4) sering dihadapkan  dengan system multi partai. Menurut studi kasus di Amerika latin, (1994) menyatakan bahwa presidensialisme yang diterapkan diatas konstruksi politik multi partai, cenderung melahirkan konflik antar lembaga presiden dengan parlemen, serta akan melahirkan demokrasi yg tidak stabil. Hal ini karena adanya dual legitimacy, dimana kedua lembaga tersebut sama-sama dipilih rakyat. Dari 31 negara didunia sejak tahun 1967-1992 yang dinilai stabil demokrasinya, tidak ada satupun yang menganut system presidensial berbasis multi partai ekstrim.

Maka berdasarkan hal tsb di Indonesia pada setiap lima tahun, menjelang Pemilu selalu dilakukan perubahan UU Pemilu dan Partai Politik,atau bongkar pasang UU  untuk merumuskan kembali system pemilu dan untuk “merampingkan” partai politik agar sinergi dengan system Presidensial. Dan hal ini senantiasa meramaikan opini public.dan tidak jarang menyita pemikiran bangsa hanya untuk berkutat masalah politik, dengan mengabaikan  permasalahan peningkatan kesejahteraan rakyat  Padahal pelembagaan system multi partai di Indonesia menurut pandangan kami, sulit untuk dihindari, karena ada tiga factor yang dominant, yaitu (a) tingginya tingkat pluralitas masyarakat (suku, ras, daerah dan agama), (b) sosiokultural masyarakat, (c) desain system pemilu (proporsional).

Untuk terciptanya efektifitas pemerintahan presidensiel, sebetulnya tidak terletak pada system multi partai yg sering dijadikan alasan  “penghambat”, akan tetapi sebetulnya banyak tergantung padakarekter presiden yg sedang berkuasa. Memiliki ketegasan dan kelugasan sikap ataukah penuh keraguan dan sering kompromistis. Atau dapat juga justru yg harus dirampingkan  adalah Fraksi di Parlemen, yaitu dg dibatasi jumlah fraksinya, bukan jumlah partai peserta pemilunya, agar demokrasi dan kebebasan berpartai tetap terjamin, proses politik lebih efisien dan stabil. Dengan konstruksi presidensiel seperti ini, maka proporsi politik presiden untuk mengurus kesejahteraan rakyat jauh lebih besar ketimbang disibukkan urusan negoisasi dengan partai politik.

Otonomi Daerah
Salah satu agenda reformasi adalah penyelenggaraan otonomi daerah, yg pada awal reformasi dirumuskan dalam UU 22 Tahun 1999. dengan memberikan kewenangan yang luas kepada daerah mencakup kewenangan dlm seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangn dlm bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal,  serta agama.

Otonomi yg pada hakekatnya adalah desentralisasi, khususnya dalam bidang politik dan ekonomi, dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran fungsi DPRD. Sehingga otonomi secara utuh berada di Kabupaten/Kota, sedangkan di Propinsi otonomi terbatas. Format otonomi seperti ini dalam perjalanannya melahirkan “power”daerah yang berlebih, sehingga memunculkan raja-raja kecil didaerah, bahkan terasa ada aroma federal dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya pendulum desentralisasi yang terlalu kekanan, kedaerah Kabupaten/Kota, ditarik ketengah, dengan dilakukannya perubahan UU No. 22 Tahun1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang pendulumnya cenderung terlalu kekanan, sentralisasi kembali. Format otonomi daerah menganut system “dua jenjang” di Kabupaten/Kota dan di Provinsi. Tarik menarik antara daerah Kabupaten/Kota dan Propinsi masih terus terjadi, bahkan kadang-kadang tumpang tindih. Kedepan perlu dirumuskan kembali format otonomi, yang tetap memberikan keluasan kewenangan kepada daerah dengan tidak menggoyahkan Negara kesatuan. Sebagai alternatif sebaiknya otonomi itu hanya satu jenjang bisa ditingkat propinsi atau ditingkat kabupaten-kota.

Disamping itu, ada juga otonomi khusus yaitu Propinsi Aceh dan Propinsi Papua dan Papua Barat, yg memiliki kekhususan aturan, yg berbeda dengan daerah-daerah lain walaupun tetap dlm NKRI.Namun bukan berarti tanpa permasalahan.

Pemilukada Langsung
Pemilihan kepala daerah bisa melalui dua cara, dipilih lewat lembaga perwakilan rakyat (DPRD) atau dipilih langsung oleh rakyat. Konstitusi kita tidak secara tegas menentukan cara pemilihan kepala daerah. Didalam UUD 45 hanya disebutkan “dipilih secara demokratis” (pasal 18 ayat 4).

Sejalan dengan semangat reformasi dengan agenda otonomi daerah yang salah satu perwujudannya adalah perkuatan fungsi dan wewenang DPRD, maka UU 22 Tahun 1999 menetapkan pilkada dipilih lewat DPRD. Akan tetapi selanjutnya terjadi distorsi pelaksanaan kewenangan DPRD sehingga Pilkada tidak lagi mencerminkan kehendak sejatinya dari masyarakat, hal ini karena telah terjadi “perselingkuhan” antara DPRD dengan calon kepala daerah dengan melakukan tindakan yg tidak terpuji yaitu suap dan money-politic.

Untuk menghindari politik uang dan keinginan agar semua pejabat public dipilih langsung oleh rakyat, maka Pilkada dialihkan pemilihannya dari DPRD ke “pasar bebas” yaitu langsung oleh rakyat. (UU 32 Tahun 2004) Akan tetapi rupanya sejak Pilkada dipilih langsung, politik uang bukannya dapat dihindari dan dihapus, akan tetapi justru semakin menyebar dan meluas keseluruh polosok masyarakat didaerah dimana Pilkada diselenggarakan. Bahkan sering juga terjadi konflik social yang melibatkan masyarakat secara luas. Dengan demikian demokrasi telah tercederai, dan Pilkada menjadi tidak efisien, penuh dengan kekerasan serta  menghabiskan uang Negara yang sangat besar.

Saatnya sekarang Pilkada dikembalikan ke DPRD, untuk menyelamatkan masyarakat dari kerusakan moral, kehancuran karekter, serta menjaga” keluhuran” esensi demokrasi, serta tetap terpeliharanya kehidpan social yang harmonis. Pilkada melalui DPRD sebetulnya hanyalah memindahkan ruang demokrasi, dari pasar bebas dimasyarakat, keruang DPRD. Kedua-duanya tetap demokratis, yang satu demokrasi langsung dan yang satunya lagi demokrasi perwakilan. Memang tidak menjamin bahwa pilkada melalui DPRD akan “bersih” dari politik uang, oleh karenanya menjadi tanggung jawab bersama, untuk mengawasinya secara ketat. Begitu dijumpai ada politik uang dan suap, maka saat itu juga calon kepala daerah didiskualifikasi, dan anggota DPRD yang bersangkutan dipecat (diganti antar waktu/PAW).

Hukum, Ekonomi, dan Administrasi Publik
Reformasi harus menyentuh berbagai aspek pembangunan. Pada dasarnya terdapat tiga aspek yang saling bertautan, sebagai aspek fundamental, yaitu aspek politik, hukum dan administrasi public, yang dalam istilah Dr. Sofian Effendi adalah administrasi pemerintahan. Menurut Dr. Sofian effendi (UGM) “kecenderungan system pemerintahan yang semakin demokratis, dan system ekonomi nasional yang bebas, memerlukan system administrasi pemerintahan yang berkapasitas tinggi, transparan dan akuntabel” (Reformasi tata kepemerintahan, Gajahmada University Press, Jogjakarta, 2010).

Reformasi birokrasi, reformasi administrasi pemerintahan dan Penegakan hukum serta pelaksanaan politik-ekonomi yg berbasis pada semangat kekeluargaan, diperlukan pembahasan secara khusus. Dan kami yakin banyak yang harus dievaluasi, dikaji, karena terdapatnya penyimpangan atau lepas dari tujuan strategis reformsi 1998.

Penutup
Reformasi yang jalan ditempat, apalagi  adanya penyimpangan arah reformasi, hal itu  tidak boleh terjadi. Reformasi harus terus berjalan, akan tetapi memerlukan arah dan konsep yang jelas menyeluruh dan berkesinambungan.Reformasi bisa gagal disebabkan dua hal, pertama deficit komitmen politik para penyelenggara Negara, dan kedua ketiadaan arah pertumbuhan reformasi yang jelas dalam satu cetak-biru yg disepakati semua komponen bangsa. Tahun 2014 Pemerintahan SBY-Boediono berahir. Kita memerlukan Reformasi jilid II sebagai kelanjutan, pengembangan dan pelurusan pelaksanaan Reformasi 1998.

*Penulis adalah Ketua Mahkamah Partai DPP PPP

Meneladani Peristiwa Fusi Partai Islam Menjadi PPP

17 Januari 2013


 
Dalam dimensi sejarahnya nampak bahwa kelahiran partai politik berkaitan erat dengan proses perubahan sosial, politik, ekonomi dan budya dalam masyarakat.

Kehidupan kepartaian di Indonesia berakar pada sejarah sosial dan politik Indonesia di awal abad ke – 20 di kala bangsa Indonesia masih berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Sejarah mencatat bahwa Syarikat Islam (SI) merupakan cikal bakal partai politik yang telah menaburkan benih nasionalisme menjadi suatu negara Indonesia yang merdeka.

Oleh karena itu sejak zaman kolonial Belanda kekuatan politik Islam selalu muncul ke permukaan walaupun kadar dan bobotnya berbeda di setiap kurun waktu.

Dalam konteks Islam dan politik Indonesia sejarah juga menunjukkan dua kecenderungan yang menonjol, pertama partai-partai selalu bergelut dengan batang tubuhnya sendiri yang kunjung selesai. Kedua, partai-partai Islam relatif selalu terlibat dalam konflik dan konsensus dengan pihak pemerintah baik ketika zaman konolial Belanda dan Jepang maupun Indonesia. Dimana pada akhirnya pihak kekuatan partai Islam tunduk pada kendali politik pemerintah tersebut.

Walau pada suatu waktu partai Islam bisa mewarnai keputusan politik tanah air, tapi lebih sering menjadi objek politik yang fungsinya tidak lebih dari sekedar pelengkap penyerta bahkan hanya menjadi pelengkap penderita.

Ada peristiwa menarik yang patut diteladani oleh generasi muda Islam sekarang dan akan datang. Yaitu peristiwa ketika rezim Orde Baru melakukan restrukturisasi organisasi sosial politik yang menggerakkan sejumlah tokoh melakukan pendekatan untuk menyamakan persepsi dan mengadakan kesepakatan bersama.

Maka pada tanggal 5 Januari 1973 empat partai politik Islam yaitu, NU, Parmusi, PSII dan Perti bersepakat memfusikan kegiatan politiknya dalam suatu wadah. Keempat partai politik Islam tesebut masing diwakili oleh KH. DR. Idham Chalid (NU), HMS Mintaredja, SH (Parmusi), H. Anwar Tjokroaminoto (PSII), dan KH. Rusli Halil (Perti).

Dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab serta tekad untuk membina masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT telah sepakat untuk berfusi ke dalam satu wadah yang bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sejatinya peristiwa tersebut bisa diteladani sebagai sebuah amanah sejarah untuk melangkah dan melakukan konsolidasi organisasi agar PPP menjadi partai politik yang tangguh karena didasari dengan kebersamaan dan kekeluargaan serta komitmen pada nilai-nilai yang telah dikembangkan oleh pendahulu para pemimpin partai politik Islam yaitu, nilai-nilai keimanan, keadilan, kebenaran, kejujuran dan demokrasi.

Pemberian nama Partai Persatuan Pembangunan sendiri memiliki arti dan makna yang cukup memberikan harapan kepada bangsa Indonesia untuk bersatu dan melaksanakan pembangunan negara serta menyatukan persepsi dalam menyikapi berbagai masalah kenegaraan serta dalam menjalankan amanat UUD 1945.

Bahkan secara spesisifik pemakaian Ka’bah sebagai lambang partai juga memiliki dimensi spiritual sendiri bagi umat Islam Indonesia khususnya. Dengan memakai lambang Ka’bah para pendahulu pemimpin partai politik Islam seolah ingin mengatakan bahwa hanya dengan persatuan dan memohon rahmat Allah SWT sajalah segala tujuan dan cita-cita negara bisa direalisasikan.

Dengan satunya persepsi perjuangan dan cita cita maka tidak dikenal lagi konflik yang didasari interest pribadi atau golongan. Setiap personal PPP memiliki peran yang sama pada perjuangan partai dalam mewujudkan cita citanya, dan memiliki tanggungjawab yang sepadan dalam menegakkan prinsip-prinsip perjuangannya.

Melalui refleksi sejarah kelahiran PPP tersebut diharapkan PPP sekarang bisa melakukan konsolidasi internal secara empirik dan bukan sekedar slogan sejarah semata. Cita-cita para pendahulu yang menginginkan tumbuhnya kekuatan dari persatuan yang dibentuk harus selalu terpelihara melalui konsolidasi internal sehingga melahirkan langkah-langkah  strategis yang jitu untuk merebut masa depan PPP dan politik Islam di Indonesia.

Sumber: http://www.pppmajalengka.or.id/

Latar Historis PPP dan Pelembagaan Partai

17 Januari 2013

Oleh: Isa Muchsin*

Dalam kurun waktu 40 tahun PPP masih eksis dalam kehidupan politik nasional di Indonesia, satu-satunya partai Islam yang dapat bertahan sejak 5 Januari 1973 sampai sekarang memasuki usianya yang ke 40 tahun. Dibandingkan dengan dua partai Islam yang pernah eksis ;  Masyumi (1945 -1960)  hanya bertahan 15 tahun, NU sebagai partai politik ( 1952 – 1973, sebelum fusi ke PPP ) bertahan hingga 21 tahun.

Sejarah kelahirannya di awal Orde Baru, PPP merupakan kelanjutan partai politik Islam yang menjadi peserta Pemilu 197. Menjelang pelantikan angota-anggota DPR RI hasil Pemiu 1971, Presiden Soeharto mengundang parpol-parpol dan Golkar ke Istana Merdeka, guna membicarakan masalah-masalah kenegaraan yang penting. Pertemuan terbatas berlansgung selama dua kali masing-masing tagl 6 dan 8 Oktober 1971. Dua forum ini membahas tiga maslah politik : Pertama masalah yang menyangkut hasil Pemilu 1971, yang meliputi pelantikan, pembagian fraksi  serta masalah voting. Gagasan pembentukan fraksi bersama muncul  ke permukaan sebagai salah satu agenda yang harus dipikirkan pihak kekuatan-kekuatan politik. Kedua masalah yang  berkaitan dengan pengelompokan politik, agar dtindak lanjuti kearah fedrasi partai-partai politik.

Pada tanggal 25 Oktober 1971 sekali lagi Presiden mengundang partai-partai Politik, Golkar dan ABRI, untuk membicarakan masalah-masalah Pimpinan DPR, Pimpinan fraksi-fraksi di DPR dan juru bicaranya. Mengenai Pimpinan DPR posisi yang sangat terhormat Presiden menguslkan agar diberikan kepada partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu 1971, yakni NU dan secara langsung Soeharto menunjuk Idham Cholid untuk menjadi Ketua MPR/DPR. Sedangkan untuk Wakil-wakil Ketua, Presiden mengusulkan adanya 4 wakil ketua yang mewakili empat fraksi di DPR, Fraksi ABRI Irjen (Pol) Domo Pratomo, Drs.Sumiskun mewakili Fraksi Golkar, Mh.Isnaeni mewakili kepentingan Kelompok Demokrasi Pembangunan ( cikal bakal Fraksi PDI ), J.Naro bertindak atas nama Kelompok Persatuan Pembanguan ( akhirnya menjadi Fraksi PPP ).

Partai-partai Islam kemudian merespon anjuran Soeharto itu dengan merancang kelahiran Kelompok Persatuan Islam. Dalam sebuah pertemuan  di rumah Ketua Umum PBNU KH.Idham Chalid, para pemimpin partai Islam tersebut menghasilkan sebuah rancangan tentang kelompok Persatuan Islam tersebut. Turut hadir dalam pertemuan tersebut adalah Kepala BAKIN Sutopo Juwono, rancangan naskah pembentukan Kelompok Persatuan Islam itu disampaikan kepada Soeharto. Pada prinsipnya  menyetujui rancangan itu, namun dia berpendapat bahwa kata Islam akan mengundang sikap antagonistis dari pihak lain.

Kegiatan politik untuk menggabungkan partai-partai Islam tetap berlansung kembali, seperti dilakukannya pertemuan pada bulan Desember 1972 oleh Ketua Umum Parmusi HMS.Mintaredja,SH selaku Menteri Sosial mengundang  para pimpinan partai politik Islam untuk merealisasikan penggabungkan partai-partai Islam kedalam sebuah kelompok, rapat juga  diselenggarakan di rumah Anwar Tjokroaminoto tokoh PSII Jl.Sisingamangaraja Kebayoran Baru Jakarta, dalam pertemuan itu tercetus usulan partai yang didirikan akan menggunakan lambang Ka’bah, hal ini disetujui oleh forum rapat dan kemudian pimpinan meminta KH.Bisri Syansuri untuk melakukan istikharah  terhadap usulan lambang dan gambar Ka’bah.  Mengenai masalah  nama partai setelah melakukan berbagai pertimbangan termasuk usulan pemerintah,  akhirnya pimpinan partai Islam itu mengubah nama Kelompk Persatuan Islam  menjadi Kelompok Persatuan Pembangunan.

Proses pembentukan  PPP, terhambat karena  adanya konflik dalam tubuh PSII, bahkan  dipicu adanya tandingan DPP PSII  terhadap  kepemimpinan M.CH.Ibrahim, memang dalam Kongrses PSII 1972 di Majalaya tidak mengambil keputusan tentang fusi politik partai, oleh karena itu kepemimpinan baru PSII mengambil kebijakan untuk menolak fusi partai-partai Islam.  Tindakan Pimpinan Pusat PSII akhirnya diambil alih oleh Team penyelamat PSII, yakni  H.Anwar Tjokroaminoto, M.A.Gani,  Th.Moh.Gobel, Syarifuddun Harahap, Barlianta Harahap salah satu alasan team penyelamat adalah menyelamatkan misi pemerintah Orde Baru  dimana proses penyederhanaan partai politik perlu didukung.

Setelah ada persetujuan dari semua pihak  dalam rapat tersebut akhirnya disepakati deklarasi fusi politik 4 partai Islam yaitu : Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Islam PERTI,  pada tangal 5 Januari 1973 / 30 Dzulqaidah 1392 H. Para deklator PPP adalah KH.Idham Cholid (NU), HMS.Mintaredja (Parmusi), H.Anwar Tjokroaminoto (PSII), Rusli Halil (Perti), dan KH.Masjkur (NU).

Untuk menjalankan roda organisasi maka di tingkat pusat dibentuk struktur DPP PPP yang terdiri dari Presiden Partai, Pimpinan Pusat, Majelis Pertimbangan dan Majelis Syuro, ditingkat DPW  terdiri dari Koordinator Wilayah dan Pimpinan Wilayah.

Problem kelembagaan partai ditemukenali sejak berdirinya PPP, dimana sejak berdiri 5 Januari 1973, baru terselenggara Sidang Dewan Partai I pada tangal 6-8 Nopember   1975 untuk merumuskan berbagai langkah menghadapi Pemilu 1977. Dengan berbagai intervensi pemerintah, PPP akhirnya menyelenggarakan Muktamar I Agustus tahun 1984 yang menetapkan Pancasila sebagai asas partai dan kemudian lambang Ka’bah diganti dengan Bintang dalam bingkai segi lima. Struktur kepengurusan diubah dengan menghilangkan lembaga Presiden Partai, dan Majleis Syuro. Dalam konteks inilah berbagai tokoh NU merasa kecewa dengan kepemimpinan J.Naro, dan berujung pada keputusan NU dalam Muktamarnya tahun 1984 menyatakan kembali ke Khithoh 1926, dengan tidak terikat pada partai politik manapun termasuk PPP.

Posisi PPP dalam setiap Pemilu semakin meredup, dan mengalami penurunan suara baik pada Pemilu 1982, (27,78%.) Pemilu 1987,( 15,96 % ) dan naik sedikit pada Pemilu 1992, (17,01 %). Sedangkan pada pemilu 1997 mengalami lkenaikan signifikan (22,43 %)  karena faktor Mega – Bintang. Muktamar II 1987 dan Muktamar III 1994, pelembagaan partai mulai ditata dengan perbaikan diberbagai bidang, seperti dibentuknya Wanita Persatuan untuk mengelola sumberdaya politik kaum perempuan, dibidang generasi muda dibentuk Generasi Muda Pembangunan  Indonesia, yang merupaka revitalisasi GMP dan GPK yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah Orde Baru, difungsikan kembali, dismaping itu didirikan AMK.

Dalam kurun waktu ini juga mulai disosialisasikan konsep Pola dan Sistem Pendidikan Kader, sekarang dikenal dengan Kaderisasi Berbasis Dapil.  Untuk melaksanakan program pemenangan pemilihan umum, dibetuk Lajnah Pemenangan Pemilu PPP ( LP4 ) yang sekarang diperbaharui menjadi LP2, bahkan untuk menjaring, menseleksi dan menetapkan calon Anggota DPRRI dan DPRD dibentuk lajnah khusus penetapan calon (LPC).

PPP merupakan partai yang memiliki akar sejarah panjang dalam pergerakan kebangsaan dan politik nasional. Hal ini tercermin dari empat parti politik Islam yang mengikuti Pemilu 1955 partai politik tersebut telah memiliki keanggotaan dan struktur partai diseluruh tanah air, dengan tradisi keislaman yang kuat dengan kategori Islam tradisional dan Islam modernis, sehingga nampak bahwa  PPP merupakan gerakan sosial politik Islam  yang terikat dalam wadah partai politik.

Greg Fealy membagi partai-partai  bercorak Islam kedalam kelompok (1) Formalist islamics Parties ( partai islam formalis ), partai-partai ini memperjuangkan nilai-nilai islam kedalam perundang-undangan dan kebijakan – kebijakan negara. Misalnya kelompok partai ini di Indonesia;  PPP, PBB, PKS. (2). Pluralis Islamic Parties ( partai islam pluralis ),  partai-partai demikian berusaha memperjuangkan nilai-nilai Islam kedalam konteks negara bangsa Indonesia yang plural, seperti PKB dan PAN. Meski demikian kategori ini dapat dipersempit lagi karena yang disebut kelompok Formalis Islamic Parties terdapat perbedaan-perbedaan, misalnya PPP lebih moderat dibandingkan dengan PKS dan PBB. Maka partai islam dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok: (1).Pluralist Islamic Parties yaitu PKB dan PAN, (2).Moderat Formalist Islamic Parties seperti PPP, dan (3).Radical Formalist Islamic Parties, yakni PKS dan PBB.

PPP Pasca Reformasi
Gerakan reformasi yang ditandai runtuhnya sistem politik Orde Baru dan mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998, kebebasan politik menjadi sangat terbuka. Berbagai tokoh politik Islam seperti  Abdurrahman Wahid Ketua Umum PBNU mendirikan PKB, Amin Rais Ketrua PP Muhammadiyah mendirikan PAN. Mereka telah mengambil basis konsituen tradisional PPP yakni warga NU dan Muhammadiyah. Demikian pula kalangan intelektual muslim seperti Hidayat Nur Wahid dan Nurmahmudi Ismail mendirikan Partai Keadilan yang selanjutnya menjadi PKS, Yusril Ihza Mahendra dan Hartono Mardjono mendirikan PBB, dan terakhir KH.Zainuddin MZ dan Jafar Badjeber menyatakan keluar dari PPP mendirikan PBR. Apabila dihitung secara keseluruhan ada 20 partai politik baru yang didirikan oleh aktivis PPP.

Kepemimpinan PPP di era reformasi sebenarnya memberikan pencerahan dan harapan bagi eksistensi PPP ditengah sistem multi partai. Harapan besar tersebut ditunjukan dengan kerja keras elite partai untuk ikut dalam pemerintahan, yang sejak Orde Baru tidak mendapat poisis terhormat, maka di era reformasi PPP menempati jabatan publik mulai dari posisi  menteri sampai menjadi Wakil Presiden, namun realitas politik tetap tidak sesuai dengan harapan masyarakat PPP, kita dapat melihat dan merasakan  pada setiap Pemilu sejak reformasi PPP selalu mengalami penurunan perolehan suara.

Agar dalam Pemilu 2014 PPP bisa melampaui ambang batas parlemen 3,5 % bahkan mencapai target 12 juta kader, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut ; (1), Penguatan kelembagaan partai dengan berfungsinya strukur partai dari pusat hingga ranting, (2), Thema sentral Rumah Besar Umat Islam, harus membumi secara praksis kedalam platform politik, program dan kinerja Fraksi PPP di palemen yang bersumber dari ideologi Islam, termasuk membuka diri dengan kekuatan-kekuatan Islam – Politik, (3) Merencanakan secara sistematis startegi pemenangan Pemliu, seperti metode dan model kampanye, kemasan partai yang modern, serta jaringan media yang kuat, (4) Rekrutmen caleg Anggota DPR dan DPRD yang memilik akar dan hubungan yang kuat dengan konsituen di daerah pemilihannya, (5) Meningkatkan kualitas SDM dan penokohan figur pemimpin partai baik ditingkat nasional maupun di daerah, (5) Adanya dana yang cukup dan membangun jaringan politik dengan kekuatan-kekuatan politik baik ditnigkat nasional dan internasional.

*Penulis adalah Wakil Sekretaris Jendral DPP PPP

Berita Duka: Bendahara Umum PPP Era Hamzah Haz Tutup Usia

17 Januari 2013


Jakarta - Kabar duka datang dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bendahara Umum PPP era Hamzah Haz yang juga anggota DPR periode 1999-2004 tutup usia pagi tadi.

"Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun, telah wafat bapak H. Faisal Baasir, SH hari ini, pukul 09.30 WIB," kata Sekjen PPP Romahurmuziy dalam pesan singkatnya, Rabu (16/1/2013).

Menurutnya, almarhum merupakan anggota komisi keuangan (waktu itu komisi IX) DPR Masa Bakti 1999-2004 dan Ketua Fraksi PPP di MPR.

"Alamat duka di Jalan Ciputat Raya nomor 47 depan Puskesmas Pondok Pinang Jaksel. Jenazah akan dikebumikan pukul 15.30 WIB," ucapnya. (Detiknews News, 16 Januari 2013)

Wardatul Asriah: PPP Serius Bidik Suara Perempuan

17 Januari 2013

Jakarta – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kian fokus membidik suara perempuan pada pemilu legislatif 2014.  Suara kaum perempuan itu diyakini mampu mendongkrak perolehan suara partai berlambang Kakbah ini.

Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak PPP Wardatul Asriah mengatakan, amanat UU Politik telah membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk terlibat lebih besar pada lembaga politik. Amanat itu perlu diwujudkan sebagai langkah meningkatkan
keterlibatan kaum perempuan.
 
“PPP melihat amanat UU Politik yang memberikan porsi besar pada kaum perempuan tak boleh disia-siakan. Harus direbut melalui kerja politik,” kata Wardatul Asriah dalam dialog politik Strategi Perempuan dalam Pemenangan Pemilu 2012 di Jakarta,  Selasa (15/1).

Kuota perempuan  sebagaimana diamanatkan oleh UU Parpol menyebutkan 30 persen dari kursi yang tersedia di parlemen harus diisi oleh kaum perempuan.  Dengan amanat itu, trend kaum perempuan yang terjun pada dunia politik pun  bertambah.  “Makanya PPP pun perlu memiliki pedoman merebut suara perempuan,” ujarnya.

Wanita yang akrab disapa Bunda Indah ini melanjutkan, pertarungan merebut suara perempuan tentu tidak mudah. Pedoman strategi merebut suara perempuan mesti disusun, agar semua kader mengetahui langkah-langkah itu.

Forum diskusi inilah akan menginspirasi pedoman strategis itu disusun. “Karena ini berbentuk dialog, kita mendengarkan masukan-masukan dari ibu-ibu yang hadir, dari ibu-ibu yang sekarang ini menjadi anggota DPR RI, maupun yang akan bertarung nanti,” tukas istri dari Ketua Umum PPP  Suryadharma Ali, ini. (Jawa Pos, 16 Januari 2013)

Apa Makna Nomor 9 bagi PPP?

15 Januari 2013


Jakarta — Partai Persatuan Pembangunan bersyukur mendapatkan nomor urut sembilan sebagai peserta Pemilu 2014. Pasalnya, nomor itu sesuai harapan PPP.

Sekretaris Jenderal PPP Romahurmuziy atau akrab disapa Romi mengatakan, angka sembilan mudah untuk digunakan untuk sosialisasi partai karena sederhana untuk jargon. "Jangan lupa, tanggal 9 (April 2014) nanti coblos nomor 9," kata Romi di Jakarta, Senin (14/1/2013).

Menurut Romi, angka sembilan juga memiliki histori lantaran Pemilu 1999 PPP juga mendapat nomor urut sembilan. Ketika itu, perolehan suara PPP berada di tiga besar.

"Tidak berlebihan PPP berharap kembali menjadi tiga besar. Angka sembilan juga sosiologis karena pendakwah Islam generasi pertama adalah Wali Sembilan. Sehingga ini pertanda kembali besarnya PPP di Pileg 2014," kata Romi.

PPP, tambah Romi, menyiapkan sembilan langkah strategis untuk menghadapi Pemilu 2014. Pertama, mempertahankan perolehan suara pada Pemilu 2009 yang mencapai 5,7 juta suara. Kedua, mengambil kembali suara yang pernah menjadi milik PPP di basis Pemilu 1999 yang mencapai 11,2 juta suara.

PPP, kata Romi, akan berupaya merebut simpati pemilih pemula yang mencapai seperempat dari total pemilih di Pileg 2014. Keempat, membuka 30 persen kuota pencalegan pada parpol yang tak lolos sebagai peserta pemilu. Kelima, melakukan silaturahim yang intensif dengan semua parpol Islam.

"Keenam, mencetak 1,9 juta atau 3 kader inti di setiap 631.000 TPS. Ketujuh, meneruskan perjuangan Wali Sembilan dengan memperjuangkan pelegalan nilai syariat di Nusantara melalui peraturan perundangan dan perda dalam bingkai NKRI. Delapan, memenuhi 30 persen kuota perempuan dalam pencalegan. Sembilan, menempatkan caleg bersih, kompeten, dan amanah," pungkas Romi. (Kompas, 15 Januari 2013)

PPP Nomor 9, Pemilu 9 April

15 Januari 2013


 
Jakarta - Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD akan diadakan pada 9 April 2014. Sedangkan PPP mendapatkan nomor 9. Jadi mudah diingat.

Dalam teori marketing, PPP sudah maju selangkah dibandingkan dengan partai politik lain. Kalau partai lain kerepotan untuk memasyarakatkan nomornya, PPP bisa mengambil keuntungan dari setiap sosialisasi Pemilu yang akan diadakan KPU. Dalam berbagai kesempatan, KPU akan menyebut angka 9.

Pengurus PPP harus memanfaatkan momen ini sebaik mungkin, agar elektabilitas PPP semakin meningkat. Allah telah memberikan kesempatkan kepada PPP agar mudah diingat. Selanjutnya, tergantung pengurus PPP apakah akan memanfaatkan anugerah ini, atau mendiamkannya saja.

Kalau perlu, setiap tanggal 9 di setiap bulan, pengurus PPP diberbagai tingkatannya mengadakan acara yang merakyat, seperti melakukan santunan anak yatim, melakukan perbaikan masjid, dan lain sebagainya. Selamat berjuang. (Situs DPP PPP, 15 Januari 2013)

Alhamdulillah, PPP Nomor 9

15 Januari 2013

Jakarta - Sesuai dengan keinginan Sekjen DPP PPP, Ir. H. Romahurmuziy, PPP mendapatkan nomor urut 9. Nomor 9 merupakan nomor cantik, karena mudah diingat. Banyak memori kita yang terkait dengan nomor 9. Walisongo artinya 9 Wali. Asmaul Husna juga terdiri dari gabungan dua angka 9. Ingat, Pemilu 2014 nanti akan  dilaksanakan pada tanggal 9 April. Sekali lagi 9 April.  Kader PPP harus menjadikan nomor 9 lebih bernas dan lebih bermakna dalam Pemilu 2014 nanti. Bagaimana Caranya?

Caranya gampang, seluruh kader dan pengurus PPP harus melaksanakan amanat sepenuh jiwa, baik sebagai rakyat, sebagai tokoh masyarakat, sebagai pejabat negara, dan terutama sebagai pengurus PPP. Pengurus PPP harus aktif, karena ketika menjadi pengurus, sejatinya seorang kader telah berjanji kepada Allah untuk menegakkan agama Islam melalui PPP. Ingat PPP merupakan partai Islam, sehingga pengurus yang terlibat di dalamnya berarti telah mengadakan perjanjian dengan Allah untuk berjuang bersama partai Islam. Pengurus PPP yang hanya "numpang" nama, lalu tidak aktif untuk membesarkan PPP, maka ia telah melanggar perjanjiannya dengan Allah.

Banyak cara murah dan mudah untuk memasyarakatkan nomor 9. Misalnya, di hari-hari besar, seperti di hari agraria, pengurus PPP di tingkat PAC, DPC, dan DPW dapat menulis: Selamat Hari Agraria, Laksanakan Segera Pembagian Lahan Untuk Rakyat. Di hari pertanian, pengurus PPP dapat membuat spanduk: selamat Hari Tani: PPP Berjuang Meningkatkan Kesejahteraan Petani. Spanduk harganya murah, sekitar Rp. 15.000 permeter. DPC yang tidak mampu menyiarkan nomor 9, meskipun hanya melalui spanduk, sudah sangat keterlaluan.

Sementara di hari besar Islam, pengurus PPP perlu melakukan langkah konkret, misalnya membuat santunan untuk anak yatim. Jangan segan-segan untuk melakukan langkah konkret meskipun kecil. Jika hanya mampu membuat spanduk, isi spanduk jangan terlalu normatif, misalnya hanya berisi: Selamat Memperingat Maulid Nabi. Harus ada pesan yang bisa dibaca. Misalnya: Dengan Maulid Nabi, Kita Perangi Korupsi.

Jika tidak mampu membuat spanduk, pengurus PPP bisa melakukan langkah konkret. Misalnya, datang saja ke masjid yang sedang dibangun, dengan berkaos PPP, lalu ikut kerja bakti. Murah tapi meriah. Kalau mau lebih meriah, pengurus bisa menyumbang 10 sak semen ke masjid itu, lalu membayar 4 orang simpatisan PPP yang berseragam PPP untuk bekerja bakti di masjid yang sedang dibangun itu selama 10 hari full. Keren...

Banyak cara untuk menyiarkan PPP sebagai partai Islam. yang penting ada kemauan. Banyak jalan menuju Ka'bah. Selamat berjuang. (Situs DPP PPP, 15 Januari 2013)

Mungkinkah PPP Capreskan Ketua Umumnya?

14 Januari 2013


 Oleh: Joko Dwi Cahyana* 
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tengah mempersiapkan calon presiden dan wakil presiden yang akan didukung dalam pemilihan presiden 2014. Menteri Agama Suryadharma Ali salah satu yang diunggulkan menjadi calon presiden usungan PPP. Ketua Umum PPP tersebut mendapat dukungan kuat untuk maju menjadi calon presiden di 2014 oleh para pengasuh pondok pesantren se Indonesia. Karena dia dinilai kaya pengalaman dan kepemimpinan serta memiliki sikap tegas dan paham terhadap karakteristik umat Islam serta umat agama lain di Indonesia.

Hingga kini, PPP masih merupakan koalisi pendukung pemerintahan SBY – Boediono. Partai Persatuan Pembangunan akan membahas calon presiden 2014 di Musyawarah Kerja Nasional Partai Persatuan Pembangunan 2013. ada dua agenda utama mukernas kali ini. yaitu, melakukan pembahasan mengenai program strategis partai yang baru diluncurkan. Kemudian, membahas strategi agar PPP menangkan pemilihan umum dan pemilihan presiden 2014.

Berdasarkan survey beberapa nama yang dinilai pantas untuk diusung menjadi calon presiden pada pemilihan presiden 2014. Nama - nama tersebut berasal dari internal dan dari eksternal partai. Untuk internal, Ketua Umum PPP, Suryadharma Ali masih mendominasi pilihan kader. Sedangkan untuk tokoh dari eksternal, rata - rata nama yang masuk yaitu mereka yang masih dan sudah mendapat dukungan dari partai - partai lain. Antara lain, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, dan Hatta Rajasa.

Partai berlambang Kabah ini memprioritaskan mengusung Suryadharma Ali menjadi calon presiden pada Pemilihan Presiden 2014. Untuk mempersiapkan itu, saat ini DPP PPP telah membentuk Lembaga Pemenangan Pemilu Presiden yang dikomandani oleh Bapak Lukman Hakim Saefudin. Menurut Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu PPP bahwa partainya akan lebih berkonsentrasi memenangkan pemilu legislatif 2014 daripada buru-buru menetapkan calon presiden - wakil presiden yang akan diusung partai itu.

Saat ini PPP memantau sejumlah nama yang potensial untuk dijadikan kandidat calon presiden – wakil presiden yang akan diusung di Pemilihan presiden 2014 mendatang. Nama - nama yang dipantau itu antara lain Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua MK Mahfud MD, Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Khofifah indar Parawansa, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, hingga Ketua Umum PPP Suryadharma Ali. Sambil memenuhi syarat raihan suara pemiilihan umum seperti  dinyatakan dalam Undang – Undang Pemilihan Presiden. PPP konsentrasi memenangkan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Sementara itu, Ketua DPC PPP Kabupaten Pekalongan mengatakan bahwa dirinya belum mengetahui persis apakah mantan menteri koperasi dan UKM itu mau maju pada Pilpres 2014 karena hingga kini belum ada keputusan resmi dariparta berlambang Kabah itu.
Sehubungan dengan hal ini Ketua Umum PPP Suryadharma Ali menuturkan partainya sangat terbuka mengusung siapa pun menjadi capres atau cawapres. Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan Syaifullah Tamliha menegaskan Surya­dharma Ali merupakan figur utama capres PPP untuk Pemilihan Presiden 2014. Ma­yo­ritas PPP menginginkan Pak Suryadharma men­jadi calon presiden.

Sekretaris Jenderal PPP Romahurmuziy menyatakan partainya akan berupaya keras mendongkrak nama Suryadharma. Menurut Romi, panggilan Romahurmuziy, upaya mendongkrak nama Suryadharma juga akan dilakukan melalui publikasi di media massa. Belakangan Menteri Agama itu kian sering tampil di media massa, terutama televisi. PPP juga sudah melakukan survei internal untuk melihat elektabilitas Suryadharma sebagai calon presiden. Partai Persatuan Pembangunan saatnya membuka pintu lebar-lebar mengusung calon presiden dalam Pemilu 2014 dari kalangan muda mampu memimpin bangsa.

Masukan itu disampaikan oleh politisi senior yang pernah menjabat Ketua Dewan Pertimbang PPP Bachtiar Chamsyah menegaskan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali mengubur obesinya menjadi capres dari PPP. Mantan Menteri Sosial ini mengakui, untuk menyiasati partai Islam tetap memiliki fans pada Pemilu 2014, mau tidak mau menggaet harus kalangan muda. Pasalnya, banyak kalangan muda yang dikenal publik selama ini yang mampu memimpin negeri ini.

*Joko Dwi Cahyana (Kompasianer, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta)
Pages (16) 123456789
Baca lainnya »
 

© Copyright 2008-2013 DPC PPP Kabupaten Tegal | Design by Eko Mahendra Ridho | Powered by Blogger.com.