PENGUMUMAN: Dibuka pendaftaran bakal calon anggota DPRD Kabupaten Tegal, mulai 1 Januari s/d 28 Februari 2013. Info: Hubungi DPC PPP Kabupaten Tegal, telp.(0283)3275717 | Eko Mahendra Ridho

Follow Us

HEADLINE NEWS

DPC PPP Kabupaten Tegal ©2008-2012 All Right Reserved. Diberdayakan oleh Blogger.
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan

Operasionalisasi Ideologi Islam

05 Agustus 2012


Oleh: Arief Mudatsir Mandan*

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan sadar meyakini bahwa kemerdekaan dan terbentuknya Negara Republik Indonesia adalah atas berkat rahmat dan karunia Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. PPP berpendirian bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam memiliki jiwa dan semangat religious, yang terpancar dari nilai-nilai ajaran agama yang menjadi dasar keyakinan dan menjiwai perikehidupan masyarakat Indonesia.

Berdasarkana pemikiran tersebut, PPP berkeyakinan bahwa dengan nilai-nilai Islam sebagai landasan perjuangan, partai tetap dan terus memiliki semangat religious. Untuk itu PPP bertekad untuk memelihara, mempertahankan dan melestarikan jiwa dan semangat religious Islami sebagai nilai dasar, sikap mental, dan tekad rakyat untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, mandiri dan maju. Sebagaimana partai yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah rakyat, PPP dalam seluruh program dan kegiatannya menitik beratkan kepada pembangunan manusia seutuhnya secara rohaniah dan jasmaniyah yang dijiwai oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, PPP berpendirian bahwa nilai-nilai Islam harus menjadi sumber moral dan etik, sumber inspirasi dan sumber motivasi dalam perjuangan pembangnan nasional.

Namun begitu, rumusan garis perjuangan PPP yang berazas Islam itu masih sangat abstrak dan harus dituangkan dalam bentuk ideology yang siap dioperasionalkan dalam segala gerak dan program partai.

Sebuah ideology partai sesungguhnya harus mampu beroperasi dalam ranah kehidupan sehari-hari, bahkan harus terlihat dominan dalam suatu tatanan social tertentu. Karena ideology sebagai praktek kebudayaan relative memiliki otonominya sendiri, dan dalam kondisi tertentu bahkan sangat sulit direduksi begitu saja oleh kekuatan kelompok social politik maupun kelompok ekonomi manapun. Di sini aspek doktrin dalam kepartaian PPP sangat diperlukan dan harus terus dicari relevansinya dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Ideology PPP harus dapat dilihat secara nyata dalam praktek kebudayaan sehari-hari, melalui berbagai variasi kehidupan nyata dalam masyarakat, misalnya dalam bidang seni budaya kontemporer seperti sastra, puisi, seni lukis maupun perfileman dan teater, serta musik kontemporer. Juga bias berbentuk seni pertunjukkan rakyat seperti ketoprak, seni ludruk jawa timuran, jatilan, wayang, maupun jenis kesenian rakyat lainnya yang begitu banyak tersebar di seluruh wilayah nusantara. Bias juga dalam bentuk kegiatan budaya keolahragaan dan sebagainya.

Dalam kalangan Islam, ritual-ritual tertentu seperti istighosah, bahkan pengajian rutin, kelompok yasinan, majelis taklim, juga bias bersifat ideologis, atau dimasuki berbagai kepentingan ideologi. Ideologi juga dapat diimplementasikan dalam bidang-bidang ekonomi dan kewirausahaan serta bidang perdagangan dan industry. Ideologi dalam hal ini menjadi tidak lagi terpusat dan semata-mata menjadi doktrin politik kekuasaan, melainkan juga tersebar dalam ranah kehidupan keseharian, sebagaimana layaknya kekuasaan juga tersebar dalam seluruh tatanan social masyarakat.

Jadi dalam kesimpulan yang konkrit, partai seperti PPP ini harus bias hadir dan terlibat ke dalam seluruh aspek kehidupan nyata di masyarakat dalam kerangka ideologi yang islami. Seluruh proses kebudayaan yang berdimensi sangat luas itu harus mampu dijangkau oleh PPP, masuk ke dalam wilayah ideologi, dan kemudian menjadi kebudayaan yang Islami, untuk kemudian dipertahankan keberlangsungannya.

Untuk bias operasional, ideologi harus dimaterialkan, dalam arti harus diwujudkan bentuknya yang konkrit dan nyata. Istilah material di sini jangan disalahpahami, lalu dituduh sebagai konsep materialismenya kaum materialis. Kita kaum muslimin juga punya konsep “serba wujud”, dalam arti sesuatu yang konkrit, kasat mata, bias dilihat dengan mata kepala, sebagai padanan dari konsep yang immaterial, abstrak, tidak terjangkau oleh mata kepala. Dalam dunia yang fana ini selalu ada dua konsep yang berbeda satu sama lain, atau bahkan berhadapan seperti konsep spiritual dan material, jiwa dan raga, fana dan baqa, lahir dan batin, dan seterusnya.

Permasalahannya adalah kita harus bisa mematerialkan konsep ideologi yang abstrak itu tetap dalam kerangka yang Islami. Itulah tugas utama para pemimpin PPP dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.

*Penulis adalah Ketua DPW PPP Jawa Tengah.

Pergeseran Paradigma Kekuasaan di Indonesia

29 Juli 2012


Oleh: Lukman Hakim Saifuddin*

Setelah sekitar setengah abad menjalankan sistem ketatanegaraan dengan berpedoman UUD 1945, bangsa Indonesia menuntut perubahan konstitutsi tersebut. Atas dasar desakan dan aspirasi yang kuat dari berbagai kalangan, pada akhir 1999 bangsa Indonesia melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) secara resmi memulai perubahan hingga 2002.

Perubahan UUD 1945 pada hakekatnya merupakan wujud dari perubahan paradigma dan perubahan sistem nilai masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini seiring dengan gerak perubahan sistem bernegara yang berlangsung di berbagai belahan dunia: dari sistem teokrasi ke sistem monarki; dari sistem monarki ke sistem negara demokrasi; dan dari sistem negara demokrasi ke sistem negara demokrasi nomokrasi.

Kelahiran konstitusi sebuah negara tidak lain merupakan hasil kesepakatan warga bangsa itu sendiri (social contract). Dan dalam proses penyusunan kesepakatan tersebut tidak bisa menghindar dari pengaruh situasi, cara pandang, dan pengalaman sejarah yang terjadi pada masa tersebut. Begitu juga dengan proses terbentuknya UUD 1945 di Indonesia, baik sebelum dan sesudah perubahan. Dengan demikian, UUD 1945 merupakan ekspresi atau wujud dari paradigma dan sistem nilai bangsa Indonesia, termasuk para penyusunnya (pendiri bangsa), yang berkembang pada masanya.

Pada waktu para pendiri bangsa yang tergabung dalam BPUPKI menyusun UUD situasi dan pengalaman sejarah yang terjadi pada masa itu tampak sangat berpengaruh. Pada waktu itu, bangsa Indonesia masih berada kekuasaan penjajah Jepang dan incaran bangsa Belanda yang sebelumnya menguasai selama 3,5 abad. Selain itu, bangsa Indonesia sendiri juga belum memiliki pengalaman menjalankan sistem pemerintahan kecuali berbentuk kerajaan (monarki) dan sistem yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Meski demikian, sebagian para pendiri bangsa merupakan orang-orang yang sudah mengenal dan memahami sistem pemerintahan modern, khususnya yang berkembang di Eropa masa itu.

Dengan situasi dan latar belakang yang terjadi pada masa itu, tidak mengherankan apabila pada saat pembahasan tentang bentuk pemerintahan ada yang mengusulkan kerajaan dan republik. Begitu juga usulan dan perdebatan mengenai mekanisme kepemimpinan Indonesia setelah merdeka: ada kelompok yang menginginkan agar negara yang baru lahir ini dipimpin oleh Dewan Pimpinan Negara yang terdiri atas tiga orang; ada yang usul dipimpin oleh seorang Pimpinan Besar; ada juga yang usul dipimpin oleh Maharaja; dan ada pula yang menginginkan negara Indonesia dipimpin oleh seorang Perdana Menteri dan/atau Presiden.

Kepemimpinan Kuat
Dari seluruh usulan tersebut tampak bahwa sistem kekuasaan yang dibutuhkan pada saat itu lebih berorientasi pada sosok kepemimpinan atau manusia yang kuat dalam rangka mempercepat pembangunan bangsa dan negara yang baru ini. Hal ini juga dimungkinkan karena kepercayaan masyarakat terhadap sosok pemimpin sangat tinggi, sehingga diberi kewenangan yang sangat besar karena prinsip yang berkembang pada saat itu adalah “Baik buruknya suatu negara tergantung pada seseorang”.

Walaupun dalam UUD yang dihasilkan tersebut tampak sudah ada pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi kewenangan presiden berada di atas ketiga cabang kekuasaan tersebut. Selain presiden diberi kekuasaan pemerintahan (eksekutif), presiden memiliki kewenangan membentuk undang-undang (legislatif), dan presiden juga memiliki kewenangan untuk mengangkat hakim agung (yudikatif).

Dalam bidang eksekutif, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4), kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10), kekuasaan untuk memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi (Pasal 14), kekuasaan untuk menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12), kekuasaan mengangkat duta dan konsul (Pasal 13), kekuasaan untuk memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lain (Pasal 15), dan lain sebagainya.

Dalam bidang legislatif, Presiden memegang kekuasaan penuh membentuk UU dengan persetujuan DPR (Pasal 5 ayat 1). Dengan kondisi tersebut, pada era Orde Baru, DPR seakan menjadi tukang stempel saja, karena DPR hanya bertugas menyetujui UU yang diajukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan penuh pembentukan legislasi.

Dalam bidang yudikatif, UUD 1945 memerintahkan agar kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut UU. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan UU (Pasal 24). Karena yang mempunyai kekuasaan penuh membentuk UU adalah Presiden dengan persetujuan DPR, Pemerintah Orde Baru berhasil melahirkan UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kekuasaan kepada Presiden sebagai Kepala Negara untuk mengangkat dan memberhentikan hakim, baik itu hakim Pengadilan Negeri, hakim Pengadilan Tinggi, atau hakim Mahkamah Agung. Hanya dengan sebaris ketentuan dalam Pasal 31 UU No. 14/1970 yang berbunyi: “Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara”, maka kemudian Presiden sebagai Kepala Negara juga memunyai kekuasaan yang besar di biang yudikatif, sebagaimana kekuasaan besar di bidang legislatif dan tentu saja di bidang eksekutif.

Dengan memahami latar belakang pembentukan UUD 1945 dengan pemberian kekuasaan presiden yang sangat besar tersebut tampaknya para pendiri bangsa menginginkan bahwa presiden diharapkan mampu menjaga keutuhan NKRI dan memajukan bangsa Indonesia secara cepat. Meskipun pada perkembangannya, pemberian kekuasaan yang sangat besar kepada presiden tersebut memicu terjadinya penyelewengan-penyelewengan. Sebagaimana ungkapan Lord Acton, power tend to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak juga akan disalahgunakan secara mutlak, karena tidak ada kekuatan yang bisa mengimbangi (checks and balances).

Menyeimbangkan Kekuasaan
Berangkat dari penyalahgunaan kewenangan akibat pemberiaan kekuasaan kepada presiden yang berlebihan oleh konstitusi tersebut, pada 1998 bangsa Indonesia menuntut adanya reformasi, termasuk perubahan konstitusi. Pada saat pembahasan perubahan konstitusi tersebut, suasana dan pengalaman bernegara bangsa Indonesia sudah jauh berbeda dibandingkan dengan pada masa pembentukan UUD tahun 1945. Para anggota PAH III dan PAH I MPR RI, 1999-2001, yang bertugas mengubah UUD melakukan telaah kritis dan juga menyerap aspirasi dari berbagai kalangan mengenai konstitusi yang selama itu dipergunakan sebagai dasar menjalankan negara.

Dari berbagai masukan yang ada, tampak pandangan mayoritas masyarakat tentang kekuasaan telah berubah jauh dibanding dengan pandangan masyarakat pada 1945. Prinsip-prinsip dasar yang dijadikan pijakan oleh para perumus perubahan pun pada akhirnya berbeda dengan para pendahulunya. Jika pada periode awal kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pada periode perubahan ini kedaulatan tetap berada di tangan rakyat, namun dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar [Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3)]. Dari sini tampak kekuasaan yang semula diserahkan sepenuhnya  kepada MPR beralih kepada hukum dan konstitusi.  

Selain itu, pada periode perubahan ini para perumus mempertegas batas-batas antar cabang kekuasaan eksekutif, legilatif, dan yudikatif. Masing-masing lembaga menjalankan kekuasaannya sesuai bidangnya. Kekuasaan presiden yang semula mencakup pembentukan undangan-undang dan pengangkatan hakim agung, misalnya, diubah sesuai dengan porsinya. Kekuasaan pembentukan undang-undang diserahkan kepada DPR (legislatif), sedangkan ekskutif berada dalam posisi memberi persetujuan secara bersama-sama dengan DPR terhadap setiap undang-undang. Di sini presiden selaku pimpinan eksekutif berhak menolak suatu rancangan undang-undang jika presiden tidak menyetujuinya [Pasal 20 ayat (3)].

Begitu juga dengan kekuasaan kehakiman. Dalam UUD 1945 setelah perubahan, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan [Pasal 24 ayat (1)], tanpa ada pengaruh kekuasaan dari eksekutif atau legislatif. Karena itu, hakim agung selaku pimpinan di kekuasaan yudikatif ini tidak dipilih dan diangkat oleh presiden secara langsung, tetapi diseleksi oleh Komisi Yudisial untuk disetujui DPR dan ditetapkan oleh Presiden.

Dengan demikian, kalau dilihat pada pergeseran kekuasaan tersebut tampak bahwa “bandul” kekuasaan bukan berubah dari kekuasaan presiden (eksekutif) ke DPR (legislatif), tetapi “bandul” kekuasaan berada di tengah dengan semangat saling mengontrol dan mengimbangi (checks and balances). Saat ini tidak ada lembaga negara yang benar-benar memegang kekuasaan sepenuhnya sebagaimana sebelum perubahan. Bahkan MPR sendiri telah memangkas kekuasaannya sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara seperti lembaga-lembaga negara lainnya.

Kekuasaan Presiden Masih Sangat Besar
Meski demikian, banyak orang berpandangan bahwa kekuasaan Presiden Indonesia terlampau kecil untuk menjalankan fungsinya. Padahal jika dibandingkan dengan delapan negara maju (Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Afrika Selatan, Kuwait, Jepang, RRC, dan Australia), sebagaimana tesis yang ditulis Abdul Ghoffar (2009), menunjukkan bahwa kekuasaan presiden di Indonesia masih sangat besar.

Hanya saja, presiden tidak mempergunakan semua hak konstitusionalnya sebanyak sepuluh pokok kekuasaan secara maksimal. Kesepuluh kekuasaan tersebut  adalah: kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, bidang peraturan perundang-undangan, bidang yudisial, dalam hubungan luar negeri, menyatakan keadaan bahaya, sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, memberi gelar dan tanda kehormatan lainnya, membentuk dewan pertimbangan presiden, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, serta mengangkat, menetapkan atau meresmikan pejabat negara tertentu lainnya.

Pertimbangan Vs. Persetujuan
Beberapa hal yang sering disalahpahami banyak kalangan adalah kata “pertimbangan” dari DPR atau Mahkamah Agung dengan kata “persetujuan”. Padahal kewenangan presiden yang dibatasi dengan kata “persetujuan” hanya ada pada beberapa hal yang bersifat sangat penting, antara lain:
1.    menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain [Pasal  11 ayat (1)];
2.    membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang [Pasal 11 ayat (2)];
3.    pembuatan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang jika ada hal ihwal kegentingan yang memaksa [Pasal 22 ayat (1) dan (2)];
4.    pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Yudisial [Pasal 24B ayat (3)].

Dalam hal pembentukan undang-undang memang sejak awal rancangan harus mendapat persetujuan bersama dari pihak legislatif dan eksekutif. Jika salah satu pihak menyatakan tidak setuju dengan suatu rancangan undang-undang tersebut, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu [Pasal 20 ayat (3)]. Adapun di ayat (5) yang menyatakan bahwa “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan” juga sering disalahpahami sebagai kasus yang mengecilkan kekuasaan presiden. Padahal dalam ayat tersebut jelas dinyatakan “yang telah disetujui bersama” yang berarti sejak awal presiden terlibat bersama DPR.

Jika kata “persetujuan” yang melekat pada kewenangan presiden bersifat “memaksa” atau membatasi kekuasaan presiden, maka hal ini berbeda dengan kata “pertimbangan” yang juga melekat pada beberapa kewenangan presiden. Kata “pertimbangan” tersebut bukan merupakan suatu pembatasan kekuasaan presiden, sebab sifat “pertimbangan” boleh dilaksanakan atau diabaikan oleh presiden.

*Penulis adalah Wakil Ketua Umum DPP PPP

2014, Partai Islam Wassalam?

18 Juli 2012


Oleh: Muhammad Itsbatun Najih

Ada kabar kurang bagus bagi partai berasas Islam atau massa Islam (sebut saja dengan partai Islam). Sejumlah lembaga survei—Lembaga Survei Nasional (LSN), Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI)—beberapa waktu lalu memuat laporan yang memprediksi perolehan suara partai Islam semakin menurun pada Pemilu 2014.  

Partai Islam yang dimaksud di sini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hasil survei LSN pada Juni lalu, jumlah suara yang diperoleh empat partai Islam itu hanya 15,7%.  Bahkan, SSS mengindikasikan sebagian dari keempat partai itu akan di bawah ambang batas parliamentary threshold (PT) 3,5%.

Pasca-Reformasi
Padahal, setelah kran reformasi terbuka, Pemilu 1999 menjadi awal manis kemunculan beberapa partai Islam yang dimotori para elite ‘islamis’. PKB dengan  Abdurrahman Wahid (Gus Dur), PAN dengan Amien Rais. PKS, sebagai partai baru memberi alternatif politik bagi kaum muslim perkotaan yang (mungkin) tidak sepaham dengan Islam versi Gus Dur atau Amien Rais. Selain menyasar basis perkotaan, PKS terbilang melejit oleh agenda politiknya yang diterjemahkan sebagian kalangan dengan “penerapan syariah”. Dari itu, PKS terkesan lebih islamis dibanding partai Islam lainnya.

Sedangkan pemilih PPP—partai berlambang Ka’bah—secara otomatis menurun karena ada tiga partai Islam baru yang menyedot perhatian masyarakat. Walaupun begitu, PPP masih tetap menjadi pilihan kaum muslim yang kadung fanatik. Kefanatikan mereka terbentuk oleh fragmentasi politik yang tercipta semasa Orba dengan selalu menjadi oposisi pemerintah (Golkar/partai nasionalis). Jumlah perolehan suara keempat partai itu sebesar 36.52%.

Pemilu 1999, PDIP—sebagai partai nasionalis—keluar sebagai pemenang. Namun, Megawati gagal menduduki kursi kepresidenan. Poros tengah yang digalang oleh Amien Rais dengan mengajak partai-partai Islam menjadi satu suara berperan penting menjadikan Gus Dur duduk di tampuk kekuasaan lewat voting yang sengit bersaing dengan Megawati. Bisa dikatakan, partai Islam memang kalah dalam pemilu, tapi menang dalam pencapresan. Meskipun akhirnya “kekompakan” partai Islam itu kandas di tengah jalan dengan dilengserkannya Gus Dur dari kursi kepresidenan.

Pemilu 2004, giliran Golkar merebut posisi pertama. Nasib keempat partai Islam itu menunjukkan tren positif. Perolehan jumlah suara mereka naik walau tak signifikan dengan raihan 38,39%. Sayangnya, hal itu tak berbanding lurus dengan capaian pada pilpres yang pertama kali digelar secara langsung itu. Jago-jago calon presiden dari partai Islam takluk dari partai nasionalis. Megawati yang menggandeng Hasyim Muzadi—dengan harapan mampu menyedot massa Nahdliyin—toh tidak mampu menandingi keperkasaan pasangan dari partai nasionalis SBY-JK (Demokrat-Golkar). Nasib Megawati-Hasyim setali tiga uang dengan Wiranto-Shalahuddin, Agum-Hamzah (PPP), dan Amien-Siswono (PAN).

Setelah Pemilu 2004, dinamika perpolitikan di partai Islam mulai dirundung banyak persoalan. Perpecahan di internal partai mulai terjadi. Itu setidaknya terlihat pada PKB, PAN dan PPP. Perpecahan itu menjadi pukulan keras karena sangat mengurangi perolehan suara di Pemilu 2009. Sebut saja di PKB dengan munculnya PKNU, PAN dengan Partai Matahari Bangsa (PMB), dan PPP dengan Partai Bintang Reformasi (PBR). Terkecuali PKS yang terbilang masih solid. Terbukti Pemilu 2009, perolehan jumlah keempat partai Islam itu anjlok dengan raihan suara sebesar 29,14%.

Sulit Bertahan
Ketidaksatupaduan suara umat Islam di Indonesia dalam orientasi politiknya dengan munculnya banyak partai Islam disebabkan salah satunya oleh perbedaan ragam corak pemikiran dan pemahaman keagamaan. PKB, misalnya, didirikan oleh para kiai NU dan menjadi rumah besar kaum Nahdliyin berpolitik. Sedangkan PAN, tak dipungkiri sebagai muara dari suara warga Muhammadiyah. Sedangkan PPP, pasca-reformasi tetap menjadi rumah besar kaum muslim yang tanpa melibatkan tendensi ormas keagamaan tertentu—meskipun faktanya menunjukkan banyak simpatisannya berbondong-bondong hijrah ke partai Islam lainnya. Adapun PKS, mereka dikesankan sebagian pihak sebagai pembawa paham Islam yang kaku. Tak bersahabat dengan kultur lokal Indonesia. Pemilihnya merupakan kalangan muslim perkotaan yang mempunyai jiwa militansi beragama tinggi.

Sulit atau bahkan mustahil mengharapkan peleburan partai-partai Islam itu menjadi hanya ada satu partai semata sebagai representasi suara umat Islam di Indonesia. Jangankan menyatukan antarpartai Islam, di tubuh internalnya sendiri masih diwarnai oleh pelbagai perpecahan seperti fakta di atas. Melihat realita itu, gagasan Cak Nur yang kontroversial; ‘Islam Yes, Partai Islam No’ pada konteks perpolitikan sekarang rasanya menuai pembenaran.

Cak Nur mungkin mengkhawatirkan agama hanya akan dijadikan kedok belaka untuk  mendapatkan kekuasaan bila agama masuk ke wilayah politik praktis. Agama yang pada realitanya terdapat multiwajah penafsiran ketika mencoba masuk pada wilayah politik praktis, justru akan berpotensi mereduksi esensi agama itu sendiri; karena politik praktis selalu berciri penuh intrik dan kepentingan sesaat. Jika pun (harus) masuk ke wilayah politik, agama hanya relevan berada pada ranah substansi politik seperti menegakkan prinsip-prinsip kemaslahatan rakyat (kejujuran, keadilan, amanah). Bukan justru dijadikan atribut teknis-formal kepartaian.

Simalakama
Masuknya PPP, PKB, PAN, dan PKS dalam jajaran kabinet pemerintahan SBY jilid dua ini lewat para kadernya yang duduk di kursi kementerian menjadi simalakama. Ketika kinerja pemerintahan SBY pada akhirnya dianggap gagal menyejahterakan rakyat, maka partai Islam akan terkena getahnya karena ikut masuk dalam sistem pemerintahan. Sebaliknya, jika pemerintahan SBY dianggap berhasil maka tidak lantas berimbas langsung pada naiknya popularitas partai Islam—dikarenakan sedikitnya jumlah kursi mereka di kabinet, melainkan Demokrat dan Golkar-lah yang meraih simpati masyarakat.  

Masyarakat Indonesia sebenarnya tidak memedulikan entah partai Islam atau partai nasionalis-sekuler yang akan mendasari pilihannya pada Pemilu 2014 mendatang. Yang dilihat masyarakat hanyalah rekam jejak mereka yang duduk di Senayan dan di kursi kabinet selama ini; apakah benar-benar merakyat atau mengkhianatinya dengan laku korupsi dan tidur saat rapat.

Masih ada waktu bagi partai-partai Islam untuk membuktikan diri bahwa 2014 bukan pemilu terakhir. Salah satu caranya adalah dengan membuat kebijakan yang populer, menggebrak, serta revolusioner yang tentunya dilakukan oleh para kader partai Islam yang menjabat sebagai menteri. Dari situlah, rakyat mulai bersimpati lagi dengan partai Islam. Jika tidak, partai Islam benar-benar akan wasalam alias tamat sesuai prediksi sejumlah lembaga survei baru-baru ini.

Muhammad Itsbatun Najih, Aktivis Forum Studi Arab dan Islam (FSAI), Yogyakarta
Sumber: Blog FSAI Yogyakarta

Partai Islam dan Partai Islami

14 Juli 2012

Oleh: Ardi Winangun*
Tersinggung dengan sebuah survei yang menunjukan bahwa partai berhaluan Islam elektabilitasnya terus merosot hingga Pemilu 2014. Banyak faktor yang menyebutkan mengapa elektabilitasnya terus menurun, salah satu faktornya disebutkan, pemilih semakin sekuler di mana agama tidak lagi menjadi faktor utama yang mempengaruhi pilihan publik dalam pemilu.

Apa yang dilakukan oleh salah satu lembaga survei itu sebenarnya bukan hal yang baru. Partai-partai berhaluan Islam sudah sejak lama memprediksi hal itu dan segera menyusun strategi baru. Partai-partai Islam sudah merasa kalau hanya mengandalkan pemilih tradisional, dengan semakin tingginya angka parlement threshold, maka keberadaan partai-partai Islam akan segera hilang di parlemen.

Pengurus partai-partai Islam sudah banting stir untuk meluaskan cakupan pemilih. Misalnya, dalam sebuah kesempatan membuka Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II dan Harlah XXXVII PPP (Partai Persatuan Pembangunan), di Medan, Sumatera Utara, Januari 2010, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali mengatakan, isu keislaman tidak mampu mendongkrak dukungan bagi partai Islam. Ini bisa terjadi karena dikatakan, persoalan krusial yang menjadi perhatian utama masyarakat adalah keterjangkauan harga
kebutuhan pokok, bukan lagi pada isu ritual keagamaan.

Sementara partai-partai politik Islam, saat-saat ini, masih mengemukakan isu keislaman yang masih pada tataran simbol dan ritual keagamaan. Untuk itu Suryadharma Ali mengharap, PPP harus bisa mengartikulasikan gagasan yang lebih membumi dan menyentuh hajat hidup orang banyak.

Pun demikian, PKS saat menggelar Munas (Musyawarah Nasional) II PKS, Juni 2010, di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, menyatakan dirinya menjadi partai yang transformatif, menumbuhkembangkan diri di internal maupun luar. PKS sudah saatnya masuk ke dalam wacana kebangsaan yang lebih menukik. Tidak ada lagi dikotomi antara Islam, nasionalisme, maupun sekularisme dalam pandangan PKS dan Pancasila sebagai konsensus tidak perlu lagi diperdebatkan. Untuk itu PKS ingin menjadi partai nasionalis religius.

Apa yang dikatakan PKS di tempat itu sebenarnya menjadi gong dari pernyataan-pernyataan sebelumnya. Pada Januari 2008, PKS mengadakan Mukernas di Bali. Mukernas yang diadakan di pulau di mana mayoritas penduduknya beragama Hindhu itu merupakan tindak lanjut dari apa yang pernah disampaikan oleh Presiden PKS Tifatul Sembiring, saat itu, dalam Rapimnas PKS di Hotel Putri Gunung, lembang, Bandung, Jawa Barat, Agustus 2007, mengatakan partainya akan melakukan ekspansi terhadap kalangan nasionalis dan sekuler.

Kalau dibilang ceruk pemilih Islam semakin menurun sebenarnya tidak tepat, sebab beberapa partai yang berbasis nasionalis bahkan sekuler pun membentuk organ-organ yang hendak mewadahi kaum santri. Misalnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), untuk mewadahai kalangan santri mereka membentuk Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi). PDIP membentuk wadah yang demikian bukan hanya sekadar menunjukan bahwa kaum nasionalis juga agamis, namun juga melihat potensi dari kalangan santri, Muhmmadiyah dan NU, yang cukup melimpah.

Alasan elektabilitas partai yang berhaluan Islam semakin menurun terkait dengan semakin banyaknya ummat Islam mencoblos partai berhaluan nasionalis atau sekuler bukan sebuah ukuran masyarakat menjadi sekuler, namun ini sebuah gejala baru di tengah masyarakat kita sejak Orde Baru memberi ruang kepada ummat Islam. Dengan memberi ruang kepada ummat Islam, seperti diperbolehkannya memakai jilbab, adanya bank Islam, dan berdirinya ICMI, maka masyarakat semakin religius dan lebih islami.

Ketika Orde Baru memberi ruang kepada ummat Islam, maka simbolisasi agama bukan dimonopoli oleh golongan santri, namun kaum abangan dan priyayi pun menggunakan simbol-simbol yang biasanya digunakan kaum santri itu. Bila dahulu, jilbab digunakan hanya di pesantren, namun setelah Orde Baru memberi ruang kepada ummat Islam maka perempuan berjilbab bisa ditemui di sekolah, kampus, kantor, dan di setiap-setiap tempat yang ada. Demikian pula semakin banyak kaum abangan dan priyayi yang melakukan ibadah haji.

Gejala seperti ini merembes ke partai-partai nasionalis dan sekuler. Banyak kader-kader organisasi Islam, seperti HMI, PMII, Pemuda Muhammadiyah, GP Ansor, difasilitasi, masuk, dan direkrut ke dalam parta-partai politik berhaluan nasionalis dan sekuler, seperti Partai Golkar, PDIP, Partai Demokrat, dan partai lainnya. Semakin banyaknya alumni-alumni organisasi Islam masuk ke dalam partai berhaluan nasionalis dan sekuler tentu mempengaruhi wajah dan gerak partai-partai itu.

Pengaruh dari banyaknya alumni organisasi Islam masuk ke partai-partai berhaluan nasionalis bahkan sekuler membuat kebijakan partai-partai itu tidak membahayakan eksistensi ummat Islam dalam menjalankan ibadah. Bahkan kebijakan-kebijakan partai-partai itu sejalan dengan kepentingan ummat Islam. Misalnya, Partai Golkar mendukung UU. Sisdiknas dan UU Antipornografi dan Antipornoaksi. Partai Demokrat pun demikian. Dalam beberapa hal, PDIP pun juga memperjuangkan kepentingan ummat Islam, seperti masalah ongkos naik haji agar lebih terjangkau dan transparan.

Dengan demikian, bila partai-partai Islam elektabilitasnya semakin menurun dalam Pemilu 2014, dan ancaman tak lolos dari parlement threshold, itu bukan menjadi masalah bagi ummat Islam, sebab seperti paparan di atas, dengan semakin banyaknya alumni organisasi Islam yang masuk dalam partai berhaluan nasionalis atau sekuler, membuat partai nasionalis atau sekuler menjadi islami. Dari waktu ke waktu akan semakin banyak ummat Islam yang menghiasi partai-partai berhaluan nasionalis dan sekuler, sehingga secara otomatis partai-partai itu akan lebih menjadi islami.

*Penulis adalah Pengamat Politik
(Sumber: Okezone, 13 Juli 2012)

Korupsi dan Lingkaran Partai Politik

12 Juli 2012


Korupsi dan Lingkaran Partai Politik
Oleh: Khaerudin

Saat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan institusinya tengah menyelidiki dugaan korupsi pengadaan Al Quran, banyak yang terenyak. Sesuatu yang suci pun dikorupsi di negeri ini. Belakangan, saat KPK menetapkan anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar, sebagai tersangka dalam kasus ini, efek kejutannya tidak sama lagi.

Korupsi pembahasan pengadaan Al Quran membuat kita terkejut. Namun, begitu mengetahui bahwa pelakunya diduga adalah anggota DPR, mereka yang tadinya kaget pun seperti sudah mafhum. Survei Transparency International Indonesia tahun 2009 menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup di Indonesia, sementara partai politik berada di urutan ketiga terkorup. Kondisi ini tak banyak berubah dalam tiga tahun terakhir.

Sejauh ini, lebih dari 40 anggota DPR yang dihukum karena korupsi. Jika benar-benar terbukti, Zulkarnaen mungkin akan menambah panjang daftar anggota DPR yang menjadi pesakitan karena korupsi.

Setahun terakhir kita seperti disuguhi pertunjukan tentang betapa korupnya anggota DPR di Indonesia. Dimulai ketika KPK membongkar kasus suap wisma atlet SEA Games di Palembang. Ketika itu, yang ditangkap memang seperti tidak ada kaitannya dengan anggota DPR atau partai politik. Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam tertangkap tangan oleh KPK saat menerima suap dari Direktur Marketing PT Duta Graha Indah dan anggota staf marketing Grup Permai.

Belakangan, melalui serangkaian penyidikan, KPK menemukan, Grup Permai sebenarnya dikendalikan  mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Dalam persidangan dengan terdakwa Nazaruddin, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun menyebutnya sebagai pengendali Grup Permai.

Persidangan Nazaruddin memberi gambaran jelas ada hubungan nyata antara aktivitas politik anggota DPR dan korupsi berbagai proyek pemerintah yang anggarannya dibahas di parlemen.

Grup Permai adalah entitas berbagai kelompok bisnis yang dipakai untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah lewat cara curang, seperti menyuap pemilik proyek. Grup Permai membawahi beberapa perusahaan. Anak perusahaan itulah yang bertugas mencari proyek pemerintah untuk dimenangkan tendernya. Setelah menang dan memperoleh proyek, mereka bisa mengerjakan sendiri atau menyerahkan ke perusahaan lain yang bersedia membayar fee. Fee itu kemudian disimpan di brankas milik Grup Permai.

Untuk bisa mendapat proyek, pegawai Grup Permai seperti Mindo Rosalina Manulang harus dekat dengan anggota DPR. Dengan Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu, tak sulit bagi Nazaruddin menginstruksikan anak buahnya seperti Mindo untuk berhubungan erat dengan anggota DPR yang membahas anggaran proyek.

Dalam kasus wisma atlet, Mindo mengaku bekerja sama dengan anggota Komisi X DPR dari Fraksi Demokrat, Angelina Sondakh. Angelina merupakan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR. Pembahasan seluruh anggaran yang diajukan pemerintah yang melalui Banggar DPR membuat alat kelengkapan ini jadi tempat pertama korupsi direncanakan.

Kerja sama dengan anggota Banggar DPR menjadi kunci permainan korup ini. Dakwaan jaksa KPK terhadap Wa Ode Nurhayati dengan jelas menggambarkannya. Wa Ode adalah mantan anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Jaksa mendakwa Wa Ode menerima suap dari pengusaha Fadh Arafiq melalui Haris Andi Surahman.

Dalam dakwaan jaksa disebut, Fadh minta tolong Haris agar dicarikan anggota Banggar yang bisa mencairkan dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) untuk tiga kabupaten, yaitu Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Bener Meriah. Imbalannya, Wa Ode minta 6 persen dari total DPID untuk tiga kabupaten itu.

Dalam kasus korupsi pembahasan pengadaan Al Quran, sebagai anggota Banggar DPR sekaligus Komisi VIII, Zulkarnaen ikut mengarahkan perusahaan tertentu agar dimenangkan tendernya. Untuk perannya ini, Zulkarnaen diduga menerima suap miliaran rupiah. Zulkarnaen membantah terlibat kasus itu saat diperiksa Badan Kehormatan DPR. Namun, dia sudah dicopot dari Banggar DPR.

Secara sederhana, peran anggota Banggar DPR terlihat dari komisi tempatnya berasal. Zulkarnaen ada di Komisi VIII yang mitranya antara lain Kementerian Agama. Angelina yang tersangkut kasus wisma atlet dan 16 universitas negeri ada di Komisi X yang bermitra kerja dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Namun, ada juga yang bermain lintas komisi seperti Nazaruddin. Dia bisa seperti itu karena posisinya di struktur partai termasuk paling tinggi, yakni bendahara umum. Tampaknya siapa pun yang dipilih menjadi anggota Banggar DPR oleh fraksinya punya tugas sebagai penggalang dana (fundraiser) bagi partai. Rata-rata bendahara partai merupakan anggota Banggar DPR.

*Penulis adalah wartawan Kompas.

PPP dan Perjuangan Kaum Perempuan

30 Juni 2012


PPP dan Perjuangan Kaum Perempuan
Oleh: Lukman Hakim Saifuddin*
PPP menempatkan kaum perempuan pada posisi yang sangat mulia. Sebagai partai Islam, PPP harus menempatkan  kaum perempuan pada posisi sesuai dengan hadist Nabi Muhammad “surga berada di bawah telapak kaki ibu”. Surga merupakan impian setiap manusia. Karena itu,  jika kita tidak menghormati kaum perempuan yang nota bene adalah ibu kita semua, maka kita telah menjauhi impian kita sendiri.
Selain itu, Islam menempatkan perempuan sebagai pondasi suatu bangsa yang menentukan baik buruknya bangsa itu. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad bahwa perempuan merupakan pondasi bangsa, jika kaum perempuan shalehah, maka bangsa itu akan menjadi bangsa yang ishlah (damai, lurus, dan adil). Begitu pula sebaliknya.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PPP memberikan perintah afirmatif agar perempuan di lingkungan PPP maju dan berkembang, antara lain:
Pertama, Pasal 71 AD PPP memerintahkan agar setiap tingkatan kepemimpinan PPP harus memerhatikan kesetaraan dan keadilan gender berdasarkan kualitas sumber daya manusia.
Kedua, dalam ketentuan komposisi Pengurus Harian di berbagai tingkatannya ada perintah afirmatif agar minimal 30 persen dari Pengurus Harian terdiri atas kaum perempuan. Pasal 15 AD PPP, misalnya, berbunyi: “Pengurus Harian DPP berjumlah sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) orang dan sebanyak-banyaknya 55 (lima puluh lima) orang, dengan minimal 30 (tiga puluh) persen dari jumlah keseluruhan terdiri atas perempuan.” Ketentuan jumlah minimal kaum perempuan dalam Pengurus Harian juga terdapat dalam pengaturan komposisi Pengurus Harian DPW, DPC, PAC, dan PR.
Ketiga, dalam pembidangan yang harus ditindaklanjuti dan diimplementasikan oleh Pengurus Harian di berbagai tingkatannya, ada perintah untuk melakukan pemberdayaan perempuan dan anak (Pasal 15 ayat 3 huruf n). Ini berarti, PPP harus melakukan langkah-langkah dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan kaum perempuan.
Keempat, dalam komposisi Mahkamah Partai yang mempunyai kewenangan memutus perkara perselisihan internal yang bersifat final dan mengikat ada perintah afirmatif agar 2 dari 9 anggota Mahkamah Partai terdiri atas perempuan. Dalam kenegaraan, dalam UU Mahkamah Konstitusi tidak ada perintah semacam itu.
Perintah afirmatif itu menjadi kurang efektif jika kaum perempuan di lingkungan PPP tidak memanfaatkan kesempatan yang tersedia dengan mengembangkan diri semaksimal mungkin, baik dari sisi mental, intelektual, kepemimpinan, dan lain sebagainya. Artinya, jika hanya santai-santai saja, maka kaum perempuan di PPP hanya akan memperoleh posisi minimalis. Namun jika kaum perempuan di PPP berkualitas, bukan tidak mungkin 70 persen bahkan 100 persen dari Pengurus Harian sesuai dengan tingkatannya diisi oleh kaum perempuan.

Perempuan PPP di Lembaga Publik
Kaum perempuan di PPP yang mendapatkan amanah sebagai pejabat publik mempunyai tanggung jawab besar untuk memberikan tauladan bahwa kaum perempuan bisa menjadi pejabat publik yang handal, sebagaimana juga mempunyai tanggung jawab lebih guna memberdayakan kaum perempuan lainnya.
Tugas utama pejabat publik adalah mendengar, menyerap, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat sebaik mungkin. Tindak lanjut dari aspirasi itu beragam. Untuk pejabat publik di lembaga legislatif, tindak lanjut aspirasi diimplementasikan, antara lain, dalam pembentukan legislasi, penyusunan anggaran, dan pengawasan. Untuk pejabat publik di lembaga eksekutif, aspirasi itu ditindaklanjuti, antara lain, dalam bentuk legislasi, anggaran, dan melaksanakan legislasi dan anggaran itu dengan baik. Pelaksanaan amanah sebagai pejabat publik itu harus dilandaskan pada semangat untuk beribadah, mengabdi kepada bangsa dan negara, serta dilakukan secara transparan dan akuntabel sehingga tidak terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan.
Aspirasi masyarakat sangat beragam, kompleks, dan bahkan seringkali bertentangan satu sama lain. Sudah begitu, dalam upaya mewujudkan aspirasi itu, banyak kepentingan yang berkembang, sehingga jika pejabat publik keliru mengambil langkah, ia dapat berurusan dengan aparat penegak hukum, baik di kepolisian, kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Karena itulah kaum perempuan, sebagaimana juga kaum lelaki, yang menjadi pejabat publik harus selalu belajar kepada siapapun agar dapat melaksanakan amanah dengan baik. Fasilitas yang tersedia untuk pejabat publik, mulai dari teknologi informasi , tenaga ahli, serta kesempatan untuk melakukan studi banding, seminar, riset, dan lain-lain harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Khusus berkaitan dengan teknologi informasi, kaum perempuan di lingkungan PPP tidak boleh gagap teknologi, karena saat ini perkembangan teknologi informasi sudah sangat maju dan seluruh kebutuhan data, metode analisa, dan bahkan berbagai macam langkah kebijakan di berbagai manca negara tersedia di dalamnya. Jika ada kader PPP yang gagap teknologi, maka kesempatan bagi yang bersangkutan untuk menjadi kader yang baik, apalagi menjadi pejabat publik yang handal, akan sangat berkurang.
Upaya untuk mengakses teknologi informasi sangat gampang, selama ada kemauan dan dilakukan secara terus menerus. Teknologi informasi dibuat untuk memudahkan, bukan untuk mempersulit. “Yassiru wa la tu’assiru…”, demikian dikatakan al-Qur’an.

Perempuan PPP di Luar Lembaga Publik
Meski tidak berada di lembaga publik atau menjadi pejabat publik, bukan berarti perempuan di PPP tidak berada di wilayah publik. Peran dan fungsinya di wilayah publik ini pun tidak kalah penting dengan para perempuan yang menjadi pejabat publik. Karena sesungguhnya, meski secara biologis adalah perempuan, tetap memiliki peran sosial-politik yang tidak berbeda dengan lelaki, bahkan bisa jadi potensinya jauh lebih besar dalam kehidupan sosial politik yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.
Perempuan di banyak kelompok masyarakat terbukti menunjukkan memiliki potensi sosial yang luar biasa dalam membangun kesadaran, jaringan, dan empati sosial yang tinggi di lingkungannya. Potensi tersebut tergerakkan secara kultural, dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mampu membentuk hubungan-hubungan sosial yang spontan dan rileks. Terkadang, modal sosial dan kultural yang dimiliki oleh para perempuan dalam kehidupan bermasyarakat ini jauh lebih penting perannya di tengah masyarakat dibandingkan dengan lembaga-lembaga publik formal tersebut.
Kehidupan di kompleks-kompleks perumahan, di lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, bahkan di lembaga-lembaga publik negara ternyata tampak menjadi lebih semarak dan bermakna karena peran perempuan. Banyak yayasan atau lembaga informal, seperti forum arisan, pengajian, atau paguyuban sosial lainnya yang dibentuk dan digerakkan oleh kaum perempuan mampu menyentuh kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat secara umum. Karena itulah, kaum perempuan di lingkungan PPP yang belum menjadi pejabat publik harus aktif untuk membentuk sendiri atau bergabung dengan kelompok perempuan yang sudah ada, baik itu kelompok keagamaan, kelompok profesi, kelompok hobi, dan lain sebagainya. Kaum perempuan PPP harus menjadikan kelompok itu sebagai bagian dari upaya membangun eksistensi diri, terutama dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain.
Sebagai “pondasi suatu bangsa”, perempuan di PPP benar-benar diharapkan menjadi sosok kokoh secara mental dan spiritual, serta berkarakter kuat sehingga memiliki kepercayaan diri yang tinggi di ranah publik. Perempuan PPP dengan kepercayaan diri yang tinggi seperti itu merupakan sosok pemimpin sejati di tengah masyarakat, yang tidak bisa digulingkan oleh sistem-sistem formal. Sebaliknya, jika potensi tersebut diasah secara istiqamah dan dikembangkan terus, ia akan menjadi sosok yang tangguh dan sangat berpotensi menjadi pemimpin di lembaga publik formal yang jauh sangat tangguh.
Oleh karena itu, eksplorasi segala potensi dan modal sosial-kultural-politik para perempuan di PPP yang dimiliki tersebut membutuhkan perjuangan tersendiri, sehingga gerakan perjuangan para perempuan di PPP memang bersumber dari “energi suci” yang sudah ada dalam diri perempuan di PPP, bukan “energi hitam” yang dipaksa dari luar. Melalui “energi suci” tersebut, hampir bisa dipastikan perempuan PPP akan menjalani kehidupan berpartai ini sebagai panggilan nurani dan bentuk ibadah, bukan panggilan pragmatisme politik dan bentuk penghambaan pada “berhala kekuasaan”.
Perjuangan kader PPP, khususnya para kader “pondasi suatu bangsa” pada kenyataannya tidak melulu berebut kursi jabatan publik, tetapi juga harus ada yang bergerak di wilayah yang tidak kalah strategisnya, yaitu ranah publik informal. Maka, menjaga jamaah majelis taklim, halaqah-halaqah, kelompok-kelompok penyantun anak yatim, pasar murah, dan berbagai gerakan bakti sosial lainnya merupakan bentuk-bentuk yang niscaya disemarakkan. Jadi, kaum perempuan mempunyai banyak saluran untuk mengabdikan diri kepada agama, bangsa, dan negara.

* Wakil Ketua Umum DPP PPP Masa Bakti 2011-2015.

Berjihad di Alam Maya


Berjihad di Alam Maya
Oleh: Zubairi Hasan dan Sahlul Fuad*

Allah SWT menciptakan berbagai alam bagi kehidupan yang berbeda: alam dunia; alam barzah; dan alam akhirat. Alam dunia merupakan alam yang sedang bergeliat dinamis saat ini. Di alam dunia ini, umat manusia dan mahluk hidup lainnya berjuang menghadapi lingkungannya, baik sesama mahluk bernyawa maupun dengan mahluk yang tak bernyawa. Alam dunia menjadi medan permainan dan pertempuran untuk mengukuhkan dan menghancurkan eksistensi di antara mahluk-mahluk yang ada di dalamnya, dan manusia telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai khalifah (pemimpin) atas keberlangsungan alam dunia. Rusak dan tidaknya alam dunia sebagian besar menjadi tanggung jawab umat manusia.

Hampir seluruh umat manusia mengetahui bahwa alam dunia terbelah menjadi dua wilayah, yaitu dunia nyata dan dunia gaib. Dunia nyata merupakan dunia yang bisa dijangkau melalui pancaindera, bisa dilihat bentuknya, dicium aromanya, diraba permukaannya, dan didengar suaranya, atau setidaknya bisa dijangkau oleh satu atau dua dari kelima kemampuan indera tersebut. Sedangkan dunia gaib merupakan realitas yang hanya bisa dijangkau melalui kamampuan-kemampuan tertentu, seperti mata hati. Seseorang yang memiliki kemampuan bisa mengaktifkan mata hatinya, kemungkinan besar dia mampu menjangkau dunia gaib dengan salah satu inderanya.

Di era teknologi maju saat ini, muncul jenis alam dunia baru yang, seperti, berada di antara dunia gaib dan nyata. Keberadaan jenis alam dunia yang baru ini bisa dikatakan gaib, namun kenyataannya ia bisa dijangkau oleh indra penglihatan dan indera pendengaran tanpa harus melakukan ritual spiritual. Semua orang normal hampir bisa dipastikan bisa menjangkaunya. Bentuknya tampak nyata di hadapan kita, bahkan kita bisa mendengarnya secara jernih. Meski sama-sama harus menggunakan kemampuan tertentu untuk menjangkaunya, dunia gaib hanya bisa dijangkau dengan kekuatan hati (qalb), sedangkan alam dunia jenis ini bisa dijangkau dengan kenormalan pikiran (fikr). Memang, untuk bisa menguasai kedua jenis alam dunia, kita membutuhkan cara dan mantera yang berbeda. Bagi orang yang ingin menguasai dunia gaib, mungkin, perlu mengasah kemampuan spiritualnya dengan cara banyak berzikir atau berpuasa, sedangkan alam dunia yang baru ini memerlukan pengasahan logika berpikir dan kecermatan menggunakan kode-kode. Karena jenis alam dunia yang baru ini tampaknya seakan-akan ada, namun wujudnya tidak bisa dipegang, ia biasa disebut dengan nama “Alam Maya”.

“Alam maya” merupakan jenis alam dunia yang sebenarnya berusia relatif tua. Ditemukannya teknologi yang mampu mengubah hal-hal yang tidak tampak menjadi bisa dirasakan kehadirannya, seperti listrik, radio, televisi, kalkulator, dan telepon merupakan cikal bakal berkembangnya “alam maya”. Ditemukannya komputer dan jaringan internet, “alam maya” makin kukuh keberadaannya masuk ke dunia nyata dan kian meninggalkan statusnya sebagai bagian dari dunia gaib. Dan kini, berbagai perangkat lunak (software) diciptakan dan terus bermunculan untuk mengukuhkan eksistensinya sebagi bagian dari dunia nyata.

Sebagai entitas baru di dunia nyata, “alam maya” disambut oleh umat manusia dari pelbagai penjuru dunia penuh gegap (sekaligus gagap) gempita. Ia kini sudah masuk ke seluruh kota, bahkan ke pelosok kampung terpencil di Indonesia. Manusia tidak lagi merasa kesepian di tengah malam, apalagi di tengah kota. Di kantor-kantor, rumah-rumah, mall-mall, bahkan di jalan raya, orang-orang masa kini sudah benar-benar kecanduan hasil olah teknologi tersebut (gadgets freak). Mereka malah sibuk dengan dunia barunya, bermain, senda-gurau, ribut, dan sebagainya, sehingga cenderung abai dengan lingkungan sekelilingnya. Alam maya tak ada beda dengan dunia nyata, meski kalau dilihat tampak sepi. Joko Pinurbo, seorang penyair pernah bilang, “Sepi makin modern”.

Meski sudah banyak orang memanfaatkan alam maya semaksimal mungkin, khususnya untuk kepentingan bisnis atau sekadar narsis, namun pengguna yang memanfaatkan sebagai alat berjihad, bisa dikatakan, masih kurang. Padahal potensi sebagai media dan medan berjihad di jalan Allah, “alam maya” benar-benar sangat luar biasa.

Memang, banyak orang memanfaatkan kecanggihan teknologi di “alam maya” sebagai media dan medan jihad, tetapi apakah orang banyak tersebut adalah bagian dari kelompok kita? Seberapa besar kelompak kita benar-benar memanfaatkan alam dan segala isinya tersebut untuk kepentingan dan kemajuan yang kita inginkan? Dan bagaimana cara memaksimalkan potensi yang dimiliki alam tersebut untuk menjalankan misi jihad kita?

Peta “Alam Maya”
Bukan hanya dunia nyata yang memiliki peta, sebaliknya peta dunia nyata telah terkonversi dalam “alam maya” secara detail dan lebih konkret dibanding peta-peta yang dipajang di kantor-kantor kelurahan. Peta-peta dunia nyata yang telah dikonversi ke “alam maya” jauh lebih canggih. Melalui peta “alam maya”, kita bisa tahu rute perjalanan yang umum atau paling cepat dari Yogyakarta ke Magelang atau Temanggung sekaligus detail kilometer dan waktu tempuhnya di www.maps.google.co.id. Bahkan kita bisa memastikan apakah masjid atau mushalla kita benar-benar telah menghadap Ka’bah melalui “alam maya”. Akan tetapi kita tidak akan membahas “peta” dalam arti garis-garis tentang wilayah tersebut. Di sini akan dijelaskan tentang ruang, perangkat, pelaku, dan opini yang sudah tersedia berkembang di “alam maya”.

Sesungguhnya ruang-ruang yang telah tersedia di “alam maya” merupakan ruang-ruang yang diciptakan oleh manusia sendiri. Serupa perkampungan nyata, “alam maya” juga memiliki struktur, infrastruktur, dan suprastruktur yang dikonversi dalam bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Terlalu rumit memang jika kita membahas tentang isi dari perangkat-perangkat tersebut. Namun setidaknya, kita bisa membedakan yang dimaksud dengan perangkat-perangkat tersebut.

Perangkat keras (hardware) merupakan jenis perangkat fisik yang benar-benar berwujud keras, dan bisa dijangkau oleh indera di dunia nyata, seperti seperangkat komputer atau ponsel yang berisi alat-alat berbahan dari plastik/karet, kaca, dan tembaga/aluminium. Perangkat ini bekerja sesuai dengan jiwa (sistem) yang dimasukkan dalam bentuk dan tujuan diciptakannya alat tersebut, seperti tempat CD (drive) hanya mau bekerja kalau diisi lempengan bulat yang terbuat dari polycarbon, dicetak dengan stamper atau bahan lain dengan ukuran ketembalan dan radius tertentu. Jika tidak sesuai dengan ketentuan itu, drive itu akan cuek. Begitu juga perangkat lunak (software). Alat ini juga tak akan merespon apapun terhadap keinginan kita jika keinginan tersebut tidak sesuai dengan jobs-desk yang diberikan kepadanya. Bedanya, bentuk software tidak bisa kita pegang dengan jari, apalagi diiris atau dipukul.

Kita bisa menghadirkan dan memasuki alam maya melalui hardware dan software yang telah ditetapkan oleh penciptanya secara fix tersebut. Hanya orang-orang berilmu tinggilah yang mampu merekayasa dan bercincai dengan perangkat-perangkat tersebut. Bagi masyarakat awam cukuplah menggunakan dan memanfaatkan perangkat yang sudah tersedia, bagi yang sedikit maju bisa mencari-cari perangkat lagi sendiri sesuai kebutuhan secara gratis atau membeli di pasar maya, dan bagi orang yang berkemampuan tinggi bisa merekayasa atau bahkan membuat perangkat sendiri untuk memenuhi keinginannya.

Agar alam maya secara teknis bisa hadir dan menjangkau perkampungan-perkampungan lain yang lebih luas, kita memer-lukan suatu perangkat khusus yang sangat terkenal, yaitu sebuah perangkat “jalinan silaturrahim yang biasa dikenal dengan nama interconnection networking (disingkat menjadi lebih terkenal “internet”). Internet disambungkan melalui suatu prangkat yang bernama wide area information servers (WAIS) dan world wade web (WWW). WWW adalah jaringan beribu-ribu/juta-juta komputer yang dikategorikan menjadi dua: client dan server dengan menggunakan software khusus berbentuk jaringan yang disebut jaringan client-server. Server merupakan otak yang bertugas menyimpan/ menyediakan informasi dan memeroses permintaan dari client, jika ada client minta informasi maka server segera mengirimkannya. Bentuk informasi yang bisa diminta dan dikirim adalah teks, gambar, dan suara. Barang-barang tersebut dikirim dalam bentuk Hypertext Markup Language (HTML), sebuah kode mirip mantra para dukun yang tak bisa dibaca semua orang. Karena itulah, ia tidak akan mengirimkan batu atau sandal dalam bentuk nyata, karena transaksi ini hanya ada dalam alam maya.

Melalui Transmission Control Protokol (TCP) data-data tersebut akan dikirim per segmen, dipecah sesuai dengan besaran paket, lalu dikirim satu persatu hingga selesai. Agar pengiriman data sampai dengan baik, TCP juga menyertakan nomor seri (sequence number ). Melelaui Internet protocol (IP), pengiriman data akan dibungkus dalam paket dengan label berupa alamat IP si pengirim dan alamat IP penerima. Apabila IP penerima melihat pengiriman paket tersebut dengan identitas alamat IP yang sesuai, datagram segera diambil dan disalurkan ke TCP melalui saluran (port), di mana ia sudah ditunggu oleh aplikasi di situ.

Kalau kita membuka http://www.ppp.or.id di kolom web browser yang biasanya disediakan oleh internet explorer atau mozila firefox atau google chrome, dan lain-lain yang ada di dalam komputer kita, kita tersambung dengan internet yang digerakkan melalui jaringan telepon atau gelombang radio, segera TCP/IP beraksi, lalu tampilan logo ka’bah, foto Ketua Umum Suryadharma Ali, dan tulisan Partai Persatuan Pembangunan serta berita-berita lainnya.

Hypertext Transfer Protocol (http) yang tertulis di depan “ppp” merupakan perintah yang menentukan aturan yang harus diikuti oleh web browser untuk meminta atau mengambil dokumen dan oleh web server dalam menyediakan dokumen yang diminta web browser. Tulisan “ppp” merupakan nama alamat yang kita daftarkan ke domain. Sedangkan OR.ID merupakan  nama domain, nama unik yang diberikan untuk mengidentifikasi nama  server  komputer  seperti web server atau email server di  jaringan komputer ataupun internet. Nama domain berfungsi untuk mempermudah pengguna di internet pada saat melakukan akses ke server, selain juga dipakai untuk mengingat nama server yang dikunjungi tanpa harus mengenal deretan angka yang rumit yang dikenal sebagai alamat IP.

OR.ID berarti kategori organisasi yang disediakan oleh Indonesia. Jika berada di Inggris biasanya menggunakan label OR.UK. Umumnya masyarakat menggunakan laber .COM yang berarti jenis alamat komersial yang bebas, khususnya di Amerika. Untuk label komersial Indonesia adalah CO.ID, dan masih banyak lagi jenisnya.

Sedangkan untuk mencapai sebuah alamat yang lebih khusus (pasti), yang menyimpan suatu judul berita tertentu seperti http://ppp.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=200:kpk-lahir-dari-rahim-ppp biasa disebut dengan Uniform Resource Locatar (URL). Jika kita ingin memberi kabar teman atau pimpinan tentang berita atau artikel tertentu sebaiknya kita mengirim rangkaian URL ini, bukan alamat domainnya, sehingga teman atau pimpinan kita langsung bisa membuka, tanpa harus mencari-cari lagi.

Peluang Alam Maya
Media cetak banyak yang gulung tikar akibat maraknya website di dunia. Ada yang meramalkan, 2043 seluruh media cetak akan gulung tikar. Di Amerika Serikat terhitung 379 surat kabar yang beredar, sebanyak 80 persen oplahnya mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan pendapatan media cetak di negeri itu menurun hingga US$20 milyar. Bagaimana di Indonesia? Laptop dan ponsel sebagai sarana untuk membuka website, kini bukan lagi barang langkah. Perangkat pengaktif internet juga sangat mudah dijangkau. Melalui alat yang bisa digenggam di tangan, kita sudah bisa berseluncur di alam maya.

Kemudahan-kemudahan yang begitu dekat dan nyata ini merupakan peluang besar untuk memanfaatkan secara maksimal alam maya sebagai ruang kehidupan baru. Sebagai kader PPP, yang hidup di era teknologi maju harus ada yang benar-benar menguasai alam ini. Tidak ada kata ketinggalan, walaupun partai-partai lain sudah ada yang sangat canggih dalam hal ini. PPP tetap sangat membutuhkan ahli-ahli teknologi informasi dan juga manajer yang mampu memainkannya.

Walau tidak memiliki biaya yang cukup untuk membuat penerbitan cetak dalam skala besar seperti Jawa Pos Group atau Kompas Group, namun kalau memiliki ahli Search Engine Optimazation (SEO) dan masterwebs yang canggih, PPP akan mampu menguasai alam maya yang luar biasa. SEO adalah suatu teknik agar website yang kita buat mudah ditemukan melalui mesin pencari seperti Google.

Internet merupakan media yang paling murah, efektif dan cepat dalam menyampaikan informasi. Media cetak, misalnya, masih memerlukan aktivitas cetak dan kirim secara fisik. Untuk media televisi biayanya sangat besar, dan hanya beberapa detik saja. Dengan internet kita cukup membayar internet, membuat website, mengupdate isinya. Namun bukan berarti apa-apa jika kita website kita tidak dikunjungi orang. Oleh karena itu kita harus berusaha supaya web kita dikunjungi orang. Cara yang paling efektif mendatangkan pengunjung adalah melalui mesin pencari Google dan semacamnya.

Alam Maya sebagai Media dan Medan Jihad
Ada banyak alamat nama website dengan beragam domain. Dilihat dari isi, website terkelompok atas dua jenis: website statis dan website dinamis. Website statis merupakan jenis website yang oleh pemiliknya tidak ingin diperbaharui isinya, kapanpun ia hanya menampilkan informasi yang sudah ada tersebut. Sebaliknya, website dinamis selalu berubah isinya. Website www.ppp.or.id merupakan jenis website yang ingin selalu diperbaharui (update). Jika Kader PPP dari berbagai daerah mengirimkan berita terkait dengan perkembangan dan gerakan PPP di daerahnya masing-masing, berarti ia termasuk kader yang terlibat dalam mendinamis-kan website PPP. Apalagi, jika di setiap daerah terdapat kader-kader yang konsen untuk menyerukan kebaikan dan melawan kemungkaran dengan mengibarkan panji-panji PPP di seluruh pelosok alam maya dengan semangat berjihad, niscaya PPP akan bisa menghijaukan alam maya.

Jihad sebagai konsep perjuangan umat Islam tidak hanya bisa dipahami sebagai bentuk pengendalian diri sendiri dan pengendalian umat manusia pada umumnya di lapangan dunia nyata. Pengguna internet di Indonesia menunjukkan peningkatan yang luar biasa. Bahkan pada Mei 2011 Direktur Manajer Global Tylor Nelson Solfres mengumumkan temuannya bahwa pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 45 juta orang, dan diperkirakan 12 bulan selanjutnya masih akan meningkat tajam. 48 persen di antara mereka mengakses internet melalui ponsel. Artinya, kemungkinan besar pengguna internet tersebut cukup aktif, dan 21 persen dari penduduk tersebut merupakan warga Indonesia yang mempunyai hak pilih. Sayangnya, 87 persen pengguna internet dari 45 juta tersebut baru sekadar untuk chating dan bermain game online.

TAHUN
PELANGGAN
PENGGUNA
1996
31.000
110.000
1997
75.000
384.000
1998
134.000
512.000
1999
256.000
1000.000
2000
760.000
1900.000
2001
1.680.000
4.200.000
Sumber: APJII 2001

Meski kesadaran masyarakat pengguna internet secara berkualitas di Indonesia masih lemah, tapi pasti akan meningkat. Dan Gerakan Jihad di Alam Maya ini merupakan peluang yang dahsyat bagi PPP untuk meningkatkan masyarakat melek internet yang berkualitas.

Sedangkan menghadapi sekitar 10-13 persen masyarakat yang kemungkinan aktif berinternet secara berkualitas tersebut bisa melalui tiga kawasan alam maya, yaitu: website blog, website jejaring sosial, dan email-mailinglist (group), yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh para kader PPP. Ketiga kawasan ini merupakan kawasan yang paling dinamik dan paling basah, dari segi modal sosial, simbolik, dan kapital.

Strategi apa yang harus diterapkan demi mencapai tujuan ini secara maksimal? Strategi yang paling jitu sebenarnya meningkatkan jumlah kader yang kreatif dan inovatif dalam berkomunikasi serta memainkan alam maya. Mereka adalah kader-kader militan yang sangat sadar terhadap situasi dan kondisi serta memiliki keberanian berkomunikasi yang berkarakter di alam maya.

Sosok suskes melalui alam maya adalah Barack Obama. Pada pemilu 2009 banyak orang mencoba menjiplak strategi yang dilakukan oleh Obama tersebut dengan strategi kampanye di alam maya. Beberapa partai politik maupun tokoh calon presiden yang menggunakan fasilitas internet untuk berkampanye antara lain: www.partaigerindra.or.id,  www.pdi-perjuangan.or.id, www.demokrat.or.id, www.amanatnasional.net, www.partaidamaisejahtera.com, www.pusat.golkar.or.id, www.ppp.or.id, dan beberapa situs resmi partai politik yang lain. Sedangkan untuk calon presiden masih sangat sedikit yang menggunakan fasilitas internet untuk berkampanye. Beberapa di antaranya adalah www.bangyos.com (Sutiyoso), www.prabowosubianto.net (Prabowo S), dan www.hb-x.com/ (Sri Sultan HB X).

Namun sekian banyak situs tersebut bisa dikatakan belum mampu memaksimalkan komunikasi dua arah. Situs parpol maupun tokoh tersebut terkesan hanya papan pamflet parpol maupun tokoh politik saja, tanpa komunikasi penuh antara user atau pemakai internet di dalamnya. Dari kesekian banyak kampanye online tersebut ada yang sudah berusaha mengajak user untuk berkomunikasi dua arah. Misalnya situs tersebut dilengkapi dengan forum atau grup pendukung dan juga polling yang bisa menjadi masukan. Dan yang tak kalah penting adalah adanya fasilitas link dukungan berupa dana kampanye maupun penjualan marchandise secara online.

Akankah lebih dari 60 juta pengguna internet Indonesia pada 2014 terabaikan begitu saja?
Mari Berjihad di Alam Maya!!!

*Zubairi Hasan, Ketua Departemen Website dan Jejaring Sosial DPP PPP Masa Bakti 2011-2015. Sahlul Fuad, Anggota Litbang DPP  PPP Masa Bakti 2011-2015.
Baca lainnya »
Baca lainnya »
 

© Copyright 2008-2013 DPC PPP Kabupaten Tegal | Design by Eko Mahendra Ridho | Powered by Blogger.com.