Oleh: Muhammad Itsbatun Najih
Ada
kabar kurang bagus bagi partai berasas Islam atau massa Islam (sebut saja
dengan partai Islam). Sejumlah lembaga survei—Lembaga Survei Nasional (LSN),
Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI)—beberapa
waktu lalu memuat laporan yang memprediksi perolehan suara partai Islam semakin
menurun pada Pemilu 2014.
Partai
Islam yang dimaksud di sini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB). Hasil survei LSN pada Juni lalu, jumlah suara yang diperoleh
empat partai Islam itu hanya 15,7%. Bahkan, SSS mengindikasikan sebagian dari
keempat partai itu akan di bawah ambang batas parliamentary threshold
(PT) 3,5%.
Pasca-Reformasi
Padahal,
setelah kran reformasi terbuka, Pemilu 1999 menjadi awal manis kemunculan
beberapa partai Islam yang dimotori para elite ‘islamis’. PKB dengan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), PAN dengan Amien Rais. PKS, sebagai partai
baru memberi alternatif politik bagi kaum muslim perkotaan yang (mungkin) tidak
sepaham dengan Islam versi Gus Dur atau Amien Rais. Selain menyasar basis
perkotaan, PKS terbilang melejit oleh agenda politiknya yang diterjemahkan
sebagian kalangan dengan “penerapan syariah”. Dari itu, PKS terkesan lebih
islamis dibanding partai Islam lainnya.
Sedangkan
pemilih PPP—partai berlambang Ka’bah—secara otomatis menurun karena ada tiga
partai Islam baru yang menyedot perhatian masyarakat. Walaupun begitu, PPP
masih tetap menjadi pilihan kaum muslim yang kadung fanatik. Kefanatikan mereka
terbentuk oleh fragmentasi politik yang tercipta semasa Orba dengan selalu
menjadi oposisi pemerintah (Golkar/partai nasionalis). Jumlah perolehan suara
keempat partai itu sebesar 36.52%.
Pemilu
1999, PDIP—sebagai partai nasionalis—keluar sebagai pemenang. Namun, Megawati
gagal menduduki kursi kepresidenan. Poros tengah yang digalang oleh Amien Rais
dengan mengajak partai-partai Islam menjadi satu suara berperan penting
menjadikan Gus Dur duduk di tampuk kekuasaan lewat voting yang sengit bersaing
dengan Megawati. Bisa dikatakan, partai Islam memang kalah dalam pemilu, tapi
menang dalam pencapresan. Meskipun akhirnya “kekompakan” partai Islam itu
kandas di tengah jalan dengan dilengserkannya Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Pemilu
2004, giliran Golkar merebut posisi pertama. Nasib keempat partai Islam itu
menunjukkan tren positif. Perolehan jumlah suara mereka naik walau tak
signifikan dengan raihan 38,39%. Sayangnya, hal itu tak berbanding lurus dengan
capaian pada pilpres yang pertama kali digelar secara langsung itu. Jago-jago
calon presiden dari partai Islam takluk dari partai nasionalis. Megawati yang
menggandeng Hasyim Muzadi—dengan harapan mampu menyedot massa Nahdliyin—toh
tidak mampu menandingi keperkasaan pasangan dari partai nasionalis SBY-JK
(Demokrat-Golkar). Nasib Megawati-Hasyim setali tiga uang dengan
Wiranto-Shalahuddin, Agum-Hamzah (PPP), dan Amien-Siswono (PAN).
Setelah
Pemilu 2004, dinamika perpolitikan di partai Islam mulai dirundung banyak
persoalan. Perpecahan di internal partai mulai terjadi. Itu setidaknya terlihat
pada PKB, PAN dan PPP. Perpecahan itu menjadi pukulan keras karena sangat
mengurangi perolehan suara di Pemilu 2009. Sebut saja di PKB dengan munculnya
PKNU, PAN dengan Partai Matahari Bangsa (PMB), dan PPP dengan Partai Bintang
Reformasi (PBR). Terkecuali PKS yang terbilang masih solid. Terbukti Pemilu
2009, perolehan jumlah keempat partai Islam itu anjlok dengan raihan suara
sebesar 29,14%.
Sulit
Bertahan
Ketidaksatupaduan
suara umat Islam di Indonesia dalam orientasi politiknya dengan munculnya
banyak partai Islam disebabkan salah satunya oleh perbedaan ragam corak
pemikiran dan pemahaman keagamaan. PKB, misalnya, didirikan oleh para kiai NU
dan menjadi rumah besar kaum Nahdliyin berpolitik. Sedangkan PAN, tak
dipungkiri sebagai muara dari suara warga Muhammadiyah. Sedangkan PPP,
pasca-reformasi tetap menjadi rumah besar kaum muslim yang tanpa melibatkan
tendensi ormas keagamaan tertentu—meskipun faktanya menunjukkan banyak
simpatisannya berbondong-bondong hijrah ke partai Islam lainnya. Adapun PKS,
mereka dikesankan sebagian pihak sebagai pembawa paham Islam yang kaku. Tak
bersahabat dengan kultur lokal Indonesia. Pemilihnya merupakan kalangan muslim
perkotaan yang mempunyai jiwa militansi beragama tinggi.
Sulit
atau bahkan mustahil mengharapkan peleburan partai-partai Islam itu menjadi
hanya ada satu partai semata sebagai representasi suara umat Islam di
Indonesia. Jangankan menyatukan antarpartai Islam, di tubuh internalnya sendiri
masih diwarnai oleh pelbagai perpecahan seperti fakta di atas. Melihat realita
itu, gagasan Cak Nur yang kontroversial; ‘Islam Yes, Partai Islam No’ pada
konteks perpolitikan sekarang rasanya menuai pembenaran.
Cak Nur
mungkin mengkhawatirkan agama hanya akan dijadikan kedok belaka untuk
mendapatkan kekuasaan bila agama masuk ke wilayah politik praktis. Agama yang
pada realitanya terdapat multiwajah penafsiran ketika mencoba masuk pada
wilayah politik praktis, justru akan berpotensi mereduksi esensi agama itu
sendiri; karena politik praktis selalu berciri penuh intrik dan kepentingan
sesaat. Jika pun (harus) masuk ke wilayah politik, agama hanya relevan berada
pada ranah substansi politik seperti menegakkan prinsip-prinsip kemaslahatan
rakyat (kejujuran, keadilan, amanah). Bukan justru dijadikan atribut
teknis-formal kepartaian.
Simalakama
Masuknya
PPP, PKB, PAN, dan PKS dalam jajaran kabinet pemerintahan SBY jilid dua ini
lewat para kadernya yang duduk di kursi kementerian menjadi simalakama. Ketika
kinerja pemerintahan SBY pada akhirnya dianggap gagal menyejahterakan rakyat,
maka partai Islam akan terkena getahnya karena ikut masuk dalam sistem
pemerintahan. Sebaliknya, jika pemerintahan SBY dianggap berhasil maka tidak
lantas berimbas langsung pada naiknya popularitas partai Islam—dikarenakan
sedikitnya jumlah kursi mereka di kabinet, melainkan Demokrat dan Golkar-lah
yang meraih simpati masyarakat.
Masyarakat
Indonesia sebenarnya tidak memedulikan entah partai Islam atau partai
nasionalis-sekuler yang akan mendasari pilihannya pada Pemilu 2014 mendatang.
Yang dilihat masyarakat hanyalah rekam jejak mereka yang duduk di Senayan dan
di kursi kabinet selama ini; apakah benar-benar merakyat atau mengkhianatinya
dengan laku korupsi dan tidur saat rapat.
Masih
ada waktu bagi partai-partai Islam untuk membuktikan diri bahwa 2014 bukan
pemilu terakhir. Salah satu caranya adalah dengan membuat kebijakan yang
populer, menggebrak, serta revolusioner yang tentunya dilakukan oleh para kader
partai Islam yang menjabat sebagai menteri. Dari situlah, rakyat mulai
bersimpati lagi dengan partai Islam. Jika tidak, partai Islam benar-benar akan
wasalam alias tamat sesuai prediksi sejumlah lembaga survei baru-baru ini.
Sumber: Blog FSAI Yogyakarta