PENGUMUMAN: Dibuka pendaftaran bakal calon anggota DPRD Kabupaten Tegal, mulai 1 Januari s/d 28 Februari 2013. Info: Hubungi DPC PPP Kabupaten Tegal, telp.(0283)3275717 | Eko Mahendra Ridho

Follow Us

HEADLINE NEWS

2014, Partai Islam Wassalam?

18 Juli 2012


Oleh: Muhammad Itsbatun Najih

Ada kabar kurang bagus bagi partai berasas Islam atau massa Islam (sebut saja dengan partai Islam). Sejumlah lembaga survei—Lembaga Survei Nasional (LSN), Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI)—beberapa waktu lalu memuat laporan yang memprediksi perolehan suara partai Islam semakin menurun pada Pemilu 2014.  

Partai Islam yang dimaksud di sini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hasil survei LSN pada Juni lalu, jumlah suara yang diperoleh empat partai Islam itu hanya 15,7%.  Bahkan, SSS mengindikasikan sebagian dari keempat partai itu akan di bawah ambang batas parliamentary threshold (PT) 3,5%.

Pasca-Reformasi
Padahal, setelah kran reformasi terbuka, Pemilu 1999 menjadi awal manis kemunculan beberapa partai Islam yang dimotori para elite ‘islamis’. PKB dengan  Abdurrahman Wahid (Gus Dur), PAN dengan Amien Rais. PKS, sebagai partai baru memberi alternatif politik bagi kaum muslim perkotaan yang (mungkin) tidak sepaham dengan Islam versi Gus Dur atau Amien Rais. Selain menyasar basis perkotaan, PKS terbilang melejit oleh agenda politiknya yang diterjemahkan sebagian kalangan dengan “penerapan syariah”. Dari itu, PKS terkesan lebih islamis dibanding partai Islam lainnya.

Sedangkan pemilih PPP—partai berlambang Ka’bah—secara otomatis menurun karena ada tiga partai Islam baru yang menyedot perhatian masyarakat. Walaupun begitu, PPP masih tetap menjadi pilihan kaum muslim yang kadung fanatik. Kefanatikan mereka terbentuk oleh fragmentasi politik yang tercipta semasa Orba dengan selalu menjadi oposisi pemerintah (Golkar/partai nasionalis). Jumlah perolehan suara keempat partai itu sebesar 36.52%.

Pemilu 1999, PDIP—sebagai partai nasionalis—keluar sebagai pemenang. Namun, Megawati gagal menduduki kursi kepresidenan. Poros tengah yang digalang oleh Amien Rais dengan mengajak partai-partai Islam menjadi satu suara berperan penting menjadikan Gus Dur duduk di tampuk kekuasaan lewat voting yang sengit bersaing dengan Megawati. Bisa dikatakan, partai Islam memang kalah dalam pemilu, tapi menang dalam pencapresan. Meskipun akhirnya “kekompakan” partai Islam itu kandas di tengah jalan dengan dilengserkannya Gus Dur dari kursi kepresidenan.

Pemilu 2004, giliran Golkar merebut posisi pertama. Nasib keempat partai Islam itu menunjukkan tren positif. Perolehan jumlah suara mereka naik walau tak signifikan dengan raihan 38,39%. Sayangnya, hal itu tak berbanding lurus dengan capaian pada pilpres yang pertama kali digelar secara langsung itu. Jago-jago calon presiden dari partai Islam takluk dari partai nasionalis. Megawati yang menggandeng Hasyim Muzadi—dengan harapan mampu menyedot massa Nahdliyin—toh tidak mampu menandingi keperkasaan pasangan dari partai nasionalis SBY-JK (Demokrat-Golkar). Nasib Megawati-Hasyim setali tiga uang dengan Wiranto-Shalahuddin, Agum-Hamzah (PPP), dan Amien-Siswono (PAN).

Setelah Pemilu 2004, dinamika perpolitikan di partai Islam mulai dirundung banyak persoalan. Perpecahan di internal partai mulai terjadi. Itu setidaknya terlihat pada PKB, PAN dan PPP. Perpecahan itu menjadi pukulan keras karena sangat mengurangi perolehan suara di Pemilu 2009. Sebut saja di PKB dengan munculnya PKNU, PAN dengan Partai Matahari Bangsa (PMB), dan PPP dengan Partai Bintang Reformasi (PBR). Terkecuali PKS yang terbilang masih solid. Terbukti Pemilu 2009, perolehan jumlah keempat partai Islam itu anjlok dengan raihan suara sebesar 29,14%.

Sulit Bertahan
Ketidaksatupaduan suara umat Islam di Indonesia dalam orientasi politiknya dengan munculnya banyak partai Islam disebabkan salah satunya oleh perbedaan ragam corak pemikiran dan pemahaman keagamaan. PKB, misalnya, didirikan oleh para kiai NU dan menjadi rumah besar kaum Nahdliyin berpolitik. Sedangkan PAN, tak dipungkiri sebagai muara dari suara warga Muhammadiyah. Sedangkan PPP, pasca-reformasi tetap menjadi rumah besar kaum muslim yang tanpa melibatkan tendensi ormas keagamaan tertentu—meskipun faktanya menunjukkan banyak simpatisannya berbondong-bondong hijrah ke partai Islam lainnya. Adapun PKS, mereka dikesankan sebagian pihak sebagai pembawa paham Islam yang kaku. Tak bersahabat dengan kultur lokal Indonesia. Pemilihnya merupakan kalangan muslim perkotaan yang mempunyai jiwa militansi beragama tinggi.

Sulit atau bahkan mustahil mengharapkan peleburan partai-partai Islam itu menjadi hanya ada satu partai semata sebagai representasi suara umat Islam di Indonesia. Jangankan menyatukan antarpartai Islam, di tubuh internalnya sendiri masih diwarnai oleh pelbagai perpecahan seperti fakta di atas. Melihat realita itu, gagasan Cak Nur yang kontroversial; ‘Islam Yes, Partai Islam No’ pada konteks perpolitikan sekarang rasanya menuai pembenaran.

Cak Nur mungkin mengkhawatirkan agama hanya akan dijadikan kedok belaka untuk  mendapatkan kekuasaan bila agama masuk ke wilayah politik praktis. Agama yang pada realitanya terdapat multiwajah penafsiran ketika mencoba masuk pada wilayah politik praktis, justru akan berpotensi mereduksi esensi agama itu sendiri; karena politik praktis selalu berciri penuh intrik dan kepentingan sesaat. Jika pun (harus) masuk ke wilayah politik, agama hanya relevan berada pada ranah substansi politik seperti menegakkan prinsip-prinsip kemaslahatan rakyat (kejujuran, keadilan, amanah). Bukan justru dijadikan atribut teknis-formal kepartaian.

Simalakama
Masuknya PPP, PKB, PAN, dan PKS dalam jajaran kabinet pemerintahan SBY jilid dua ini lewat para kadernya yang duduk di kursi kementerian menjadi simalakama. Ketika kinerja pemerintahan SBY pada akhirnya dianggap gagal menyejahterakan rakyat, maka partai Islam akan terkena getahnya karena ikut masuk dalam sistem pemerintahan. Sebaliknya, jika pemerintahan SBY dianggap berhasil maka tidak lantas berimbas langsung pada naiknya popularitas partai Islam—dikarenakan sedikitnya jumlah kursi mereka di kabinet, melainkan Demokrat dan Golkar-lah yang meraih simpati masyarakat.  

Masyarakat Indonesia sebenarnya tidak memedulikan entah partai Islam atau partai nasionalis-sekuler yang akan mendasari pilihannya pada Pemilu 2014 mendatang. Yang dilihat masyarakat hanyalah rekam jejak mereka yang duduk di Senayan dan di kursi kabinet selama ini; apakah benar-benar merakyat atau mengkhianatinya dengan laku korupsi dan tidur saat rapat.

Masih ada waktu bagi partai-partai Islam untuk membuktikan diri bahwa 2014 bukan pemilu terakhir. Salah satu caranya adalah dengan membuat kebijakan yang populer, menggebrak, serta revolusioner yang tentunya dilakukan oleh para kader partai Islam yang menjabat sebagai menteri. Dari situlah, rakyat mulai bersimpati lagi dengan partai Islam. Jika tidak, partai Islam benar-benar akan wasalam alias tamat sesuai prediksi sejumlah lembaga survei baru-baru ini.

Muhammad Itsbatun Najih, Aktivis Forum Studi Arab dan Islam (FSAI), Yogyakarta
Sumber: Blog FSAI Yogyakarta
Bagikan:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright 2008-2013 DPC PPP Kabupaten Tegal | Design by Eko Mahendra Ridho | Powered by Blogger.com.