Tersinggung dengan sebuah survei
yang menunjukan bahwa partai berhaluan Islam elektabilitasnya terus merosot
hingga Pemilu 2014. Banyak faktor yang menyebutkan mengapa elektabilitasnya
terus menurun, salah satu faktornya disebutkan, pemilih semakin sekuler di mana
agama tidak lagi menjadi faktor utama yang mempengaruhi pilihan publik dalam
pemilu.
Apa yang dilakukan oleh salah
satu lembaga survei itu sebenarnya bukan hal yang baru. Partai-partai berhaluan
Islam sudah sejak lama memprediksi hal itu dan segera menyusun strategi baru.
Partai-partai Islam sudah merasa kalau hanya mengandalkan pemilih tradisional,
dengan semakin tingginya angka parlement threshold, maka keberadaan
partai-partai Islam akan segera hilang di parlemen.
Pengurus partai-partai Islam
sudah banting stir untuk meluaskan cakupan pemilih. Misalnya, dalam sebuah
kesempatan membuka Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II dan Harlah XXXVII
PPP (Partai Persatuan Pembangunan), di Medan, Sumatera Utara, Januari 2010,
Ketua Umum PPP Suryadharma Ali mengatakan, isu keislaman tidak mampu
mendongkrak dukungan bagi partai Islam. Ini bisa terjadi karena dikatakan,
persoalan krusial yang menjadi perhatian utama masyarakat adalah keterjangkauan
harga
kebutuhan pokok, bukan lagi pada isu ritual keagamaan.
kebutuhan pokok, bukan lagi pada isu ritual keagamaan.
Sementara partai-partai politik
Islam, saat-saat ini, masih mengemukakan isu keislaman yang masih pada tataran
simbol dan ritual keagamaan. Untuk itu Suryadharma Ali mengharap, PPP harus
bisa mengartikulasikan gagasan yang lebih membumi dan menyentuh hajat hidup
orang banyak.
Pun demikian, PKS saat menggelar
Munas (Musyawarah Nasional) II PKS, Juni 2010, di Hotel Ritz Carlton, Jakarta,
menyatakan dirinya menjadi partai yang transformatif, menumbuhkembangkan diri
di internal maupun luar. PKS sudah saatnya masuk ke dalam wacana kebangsaan
yang lebih menukik. Tidak ada lagi dikotomi antara Islam, nasionalisme, maupun
sekularisme dalam pandangan PKS dan Pancasila sebagai konsensus tidak perlu
lagi diperdebatkan. Untuk itu PKS ingin menjadi partai nasionalis religius.
Apa yang dikatakan PKS di tempat
itu sebenarnya menjadi gong dari pernyataan-pernyataan sebelumnya. Pada Januari
2008, PKS mengadakan Mukernas di Bali. Mukernas yang diadakan di pulau di mana
mayoritas penduduknya beragama Hindhu itu merupakan tindak lanjut dari apa yang
pernah disampaikan oleh Presiden PKS Tifatul Sembiring, saat itu, dalam
Rapimnas PKS di Hotel Putri Gunung, lembang, Bandung, Jawa Barat, Agustus 2007,
mengatakan partainya akan melakukan ekspansi terhadap kalangan nasionalis dan
sekuler.
Kalau dibilang ceruk pemilih
Islam semakin menurun sebenarnya tidak tepat, sebab beberapa partai yang
berbasis nasionalis bahkan sekuler pun membentuk organ-organ yang hendak
mewadahi kaum santri. Misalnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
untuk mewadahai kalangan santri mereka membentuk Baitul Muslimin Indonesia
(Bamusi). PDIP membentuk wadah yang demikian bukan hanya sekadar menunjukan
bahwa kaum nasionalis juga agamis, namun juga melihat potensi dari kalangan
santri, Muhmmadiyah dan NU, yang cukup melimpah.
Alasan elektabilitas partai yang
berhaluan Islam semakin menurun terkait dengan semakin banyaknya ummat Islam
mencoblos partai berhaluan nasionalis atau sekuler bukan sebuah ukuran
masyarakat menjadi sekuler, namun ini sebuah gejala baru di tengah masyarakat
kita sejak Orde Baru memberi ruang kepada ummat Islam. Dengan memberi ruang
kepada ummat Islam, seperti diperbolehkannya memakai jilbab, adanya bank Islam,
dan berdirinya ICMI, maka masyarakat semakin religius dan lebih islami.
Ketika Orde Baru memberi ruang
kepada ummat Islam, maka simbolisasi agama bukan dimonopoli oleh golongan
santri, namun kaum abangan dan priyayi pun menggunakan simbol-simbol yang
biasanya digunakan kaum santri itu. Bila dahulu, jilbab digunakan hanya di
pesantren, namun setelah Orde Baru memberi ruang kepada ummat Islam maka
perempuan berjilbab bisa ditemui di sekolah, kampus, kantor, dan di
setiap-setiap tempat yang ada. Demikian pula semakin banyak kaum abangan dan
priyayi yang melakukan ibadah haji.
Gejala seperti ini merembes ke
partai-partai nasionalis dan sekuler. Banyak kader-kader organisasi Islam,
seperti HMI, PMII, Pemuda Muhammadiyah, GP Ansor, difasilitasi, masuk, dan
direkrut ke dalam parta-partai politik berhaluan nasionalis dan sekuler,
seperti Partai Golkar, PDIP, Partai Demokrat, dan partai lainnya. Semakin
banyaknya alumni-alumni organisasi Islam masuk ke dalam partai berhaluan
nasionalis dan sekuler tentu mempengaruhi wajah dan gerak partai-partai itu.
Pengaruh dari banyaknya alumni
organisasi Islam masuk ke partai-partai berhaluan nasionalis bahkan sekuler
membuat kebijakan partai-partai itu tidak membahayakan eksistensi ummat Islam
dalam menjalankan ibadah. Bahkan kebijakan-kebijakan partai-partai itu sejalan
dengan kepentingan ummat Islam. Misalnya, Partai Golkar mendukung UU. Sisdiknas
dan UU Antipornografi dan Antipornoaksi. Partai Demokrat pun demikian. Dalam
beberapa hal, PDIP pun juga memperjuangkan kepentingan ummat Islam, seperti
masalah ongkos naik haji agar lebih terjangkau dan transparan.
Dengan demikian, bila
partai-partai Islam elektabilitasnya semakin menurun dalam Pemilu 2014, dan
ancaman tak lolos dari parlement threshold, itu bukan menjadi masalah bagi
ummat Islam, sebab seperti paparan di atas, dengan semakin banyaknya alumni
organisasi Islam yang masuk dalam partai berhaluan nasionalis atau sekuler,
membuat partai nasionalis atau sekuler menjadi islami. Dari waktu ke waktu akan
semakin banyak ummat Islam yang menghiasi partai-partai berhaluan nasionalis
dan sekuler, sehingga secara otomatis partai-partai itu akan lebih menjadi
islami.
*Penulis adalah Pengamat Politik
(Sumber: Okezone, 13
Juli 2012)