PPP dan Perjuangan Kaum Perempuan
Oleh: Lukman Hakim Saifuddin*
PPP
menempatkan kaum perempuan pada posisi yang sangat mulia. Sebagai partai Islam,
PPP harus menempatkan kaum perempuan pada
posisi sesuai dengan hadist Nabi Muhammad “surga berada di bawah telapak kaki
ibu”. Surga merupakan impian setiap manusia. Karena itu, jika kita tidak menghormati kaum perempuan
yang nota bene adalah ibu kita semua, maka kita telah menjauhi impian kita
sendiri.
Selain itu, Islam menempatkan perempuan
sebagai pondasi suatu bangsa yang menentukan baik buruknya bangsa itu. Hal ini
sesuai dengan sabda Nabi Muhammad bahwa perempuan merupakan pondasi bangsa,
jika kaum perempuan shalehah, maka bangsa itu akan menjadi bangsa yang ishlah (damai, lurus, dan adil). Begitu
pula sebaliknya.
Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PPP memberikan perintah afirmatif agar
perempuan di lingkungan PPP maju dan berkembang, antara lain:
Pertama, Pasal 71 AD PPP memerintahkan
agar setiap tingkatan kepemimpinan PPP
harus memerhatikan kesetaraan dan
keadilan gender berdasarkan kualitas sumber daya manusia.
Kedua, dalam ketentuan komposisi
Pengurus Harian di berbagai tingkatannya ada perintah afirmatif agar minimal 30
persen dari Pengurus Harian terdiri atas kaum perempuan. Pasal 15 AD PPP,
misalnya, berbunyi: “Pengurus Harian
DPP berjumlah sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) orang dan
sebanyak-banyaknya 55 (lima
puluh lima) orang, dengan
minimal 30 (tiga puluh) persen dari jumlah keseluruhan terdiri atas perempuan.”
Ketentuan jumlah minimal kaum perempuan dalam Pengurus Harian juga terdapat
dalam pengaturan komposisi Pengurus Harian DPW, DPC, PAC, dan PR.
Ketiga, dalam pembidangan yang harus
ditindaklanjuti dan diimplementasikan oleh Pengurus Harian di berbagai
tingkatannya, ada perintah untuk melakukan pemberdayaan perempuan dan anak
(Pasal 15 ayat 3 huruf n). Ini berarti, PPP harus melakukan langkah-langkah
dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan kaum perempuan.
Keempat, dalam komposisi Mahkamah Partai
yang mempunyai kewenangan memutus perkara perselisihan internal yang bersifat
final dan mengikat ada perintah afirmatif agar 2 dari 9 anggota Mahkamah Partai
terdiri atas perempuan. Dalam kenegaraan, dalam UU Mahkamah Konstitusi tidak
ada perintah semacam itu.
Perintah
afirmatif itu menjadi kurang efektif jika kaum perempuan di lingkungan PPP
tidak memanfaatkan kesempatan yang tersedia dengan mengembangkan diri semaksimal
mungkin, baik dari sisi mental, intelektual, kepemimpinan, dan lain sebagainya.
Artinya, jika hanya santai-santai saja, maka kaum perempuan di PPP hanya akan
memperoleh posisi minimalis. Namun jika kaum perempuan di PPP berkualitas,
bukan tidak mungkin 70 persen bahkan 100 persen dari Pengurus Harian sesuai
dengan tingkatannya diisi oleh kaum perempuan.
Perempuan PPP di Lembaga Publik
Kaum
perempuan di PPP yang mendapatkan amanah sebagai pejabat publik mempunyai
tanggung jawab besar untuk memberikan tauladan bahwa kaum perempuan bisa
menjadi pejabat publik yang handal, sebagaimana juga mempunyai tanggung jawab
lebih guna memberdayakan kaum perempuan lainnya.
Tugas utama
pejabat publik adalah mendengar, menyerap, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat sebaik mungkin. Tindak lanjut dari aspirasi itu beragam. Untuk
pejabat publik di lembaga legislatif, tindak lanjut aspirasi diimplementasikan,
antara lain, dalam pembentukan legislasi, penyusunan anggaran, dan pengawasan.
Untuk pejabat publik di lembaga eksekutif, aspirasi itu ditindaklanjuti, antara
lain, dalam bentuk legislasi, anggaran, dan melaksanakan legislasi dan anggaran
itu dengan baik. Pelaksanaan amanah sebagai pejabat publik itu harus
dilandaskan pada semangat untuk beribadah, mengabdi kepada bangsa dan negara,
serta dilakukan secara transparan dan akuntabel sehingga tidak terjadi
penyelewengan dan penyalahgunaan.
Aspirasi
masyarakat sangat beragam, kompleks, dan bahkan seringkali bertentangan satu
sama lain. Sudah begitu, dalam upaya mewujudkan aspirasi itu, banyak
kepentingan yang berkembang, sehingga jika pejabat publik keliru mengambil
langkah, ia dapat berurusan dengan aparat penegak hukum, baik di kepolisian,
kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Karena itulah
kaum perempuan, sebagaimana juga kaum lelaki, yang menjadi pejabat publik harus
selalu belajar kepada siapapun agar dapat melaksanakan amanah dengan baik.
Fasilitas yang tersedia untuk pejabat publik, mulai dari teknologi informasi ,
tenaga ahli, serta kesempatan untuk melakukan studi banding, seminar, riset, dan
lain-lain harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Khusus
berkaitan dengan teknologi informasi, kaum perempuan di lingkungan PPP tidak
boleh gagap teknologi, karena saat ini perkembangan teknologi informasi sudah
sangat maju dan seluruh kebutuhan data, metode analisa, dan bahkan berbagai
macam langkah kebijakan di berbagai manca negara tersedia di dalamnya. Jika ada
kader PPP yang gagap teknologi, maka kesempatan bagi yang bersangkutan untuk
menjadi kader yang baik, apalagi menjadi pejabat publik yang handal, akan
sangat berkurang.
Upaya untuk
mengakses teknologi informasi sangat gampang, selama ada kemauan dan dilakukan
secara terus menerus. Teknologi informasi dibuat untuk memudahkan, bukan untuk
mempersulit. “Yassiru wa la tu’assiru…”,
demikian dikatakan al-Qur’an.
Perempuan PPP di Luar Lembaga Publik
Meski tidak berada di lembaga publik atau menjadi
pejabat publik, bukan berarti perempuan di PPP tidak berada di wilayah publik.
Peran dan fungsinya di wilayah publik ini pun tidak kalah penting dengan para
perempuan yang menjadi pejabat publik. Karena sesungguhnya, meski secara
biologis adalah perempuan, tetap memiliki peran sosial-politik yang tidak
berbeda dengan lelaki, bahkan bisa jadi potensinya jauh lebih besar dalam
kehidupan sosial politik yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.
Perempuan di banyak kelompok masyarakat terbukti
menunjukkan memiliki potensi sosial yang luar biasa dalam membangun kesadaran,
jaringan, dan empati sosial yang tinggi di lingkungannya. Potensi tersebut
tergerakkan secara kultural, dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mampu
membentuk hubungan-hubungan sosial yang spontan dan rileks. Terkadang, modal
sosial dan kultural yang dimiliki oleh para perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat ini jauh lebih penting perannya di tengah masyarakat dibandingkan
dengan lembaga-lembaga publik formal tersebut.
Kehidupan di kompleks-kompleks perumahan, di
lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, bahkan di lembaga-lembaga publik negara
ternyata tampak menjadi lebih semarak dan bermakna karena peran perempuan.
Banyak yayasan atau lembaga informal, seperti forum arisan, pengajian, atau
paguyuban sosial lainnya yang dibentuk dan digerakkan oleh kaum perempuan mampu
menyentuh kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat secara umum. Karena itulah, kaum
perempuan di lingkungan PPP yang belum menjadi pejabat publik harus aktif untuk
membentuk sendiri atau bergabung dengan kelompok perempuan yang sudah ada, baik
itu kelompok keagamaan, kelompok profesi, kelompok hobi, dan lain sebagainya.
Kaum perempuan PPP harus menjadikan kelompok itu sebagai bagian dari upaya
membangun eksistensi diri, terutama dalam bidang sosial, ekonomi, politik,
budaya, dan lain-lain.
Sebagai “pondasi suatu bangsa”, perempuan di
PPP benar-benar diharapkan menjadi sosok kokoh secara mental dan spiritual,
serta berkarakter kuat sehingga memiliki kepercayaan diri yang tinggi di ranah
publik. Perempuan PPP dengan kepercayaan diri yang tinggi seperti itu merupakan
sosok pemimpin sejati di tengah masyarakat, yang tidak bisa digulingkan oleh
sistem-sistem formal. Sebaliknya, jika potensi tersebut diasah secara istiqamah
dan dikembangkan terus, ia akan menjadi sosok yang tangguh dan sangat
berpotensi menjadi pemimpin di lembaga publik formal yang jauh sangat tangguh.
Oleh karena itu, eksplorasi segala potensi
dan modal sosial-kultural-politik para perempuan di PPP yang dimiliki tersebut membutuhkan
perjuangan tersendiri, sehingga gerakan perjuangan para perempuan di PPP memang
bersumber dari “energi suci” yang sudah ada dalam diri perempuan di PPP, bukan
“energi hitam” yang dipaksa dari luar. Melalui “energi suci” tersebut, hampir
bisa dipastikan perempuan PPP akan menjalani kehidupan berpartai ini sebagai panggilan
nurani dan bentuk ibadah, bukan panggilan pragmatisme politik dan bentuk
penghambaan pada “berhala kekuasaan”.
Perjuangan kader PPP, khususnya para kader “pondasi suatu bangsa” pada
kenyataannya tidak melulu berebut kursi jabatan publik, tetapi juga harus ada
yang bergerak di wilayah yang tidak kalah strategisnya, yaitu ranah publik
informal. Maka, menjaga jamaah majelis taklim, halaqah-halaqah,
kelompok-kelompok penyantun anak yatim, pasar murah, dan berbagai gerakan bakti
sosial lainnya merupakan bentuk-bentuk yang niscaya disemarakkan. Jadi, kaum
perempuan mempunyai banyak saluran untuk mengabdikan diri kepada agama, bangsa,
dan negara.