Dialog Kebangsaan Bersama Politisi Muda PPP Kabupaten Tegal, Eko Mahendra, S.Sos
Kita Membutuhkan Pemimpin yang Berkomitmen Kuat Terhadap Bangsanya
Dua hari menjelang peringatan 100 tahun kebangkitan nasional, kondisi kebangsaan kita justru menunjukkan derajat melemah. Pancasila sebagai ideologi bernegara pun telah lama dipertanyakan soal keampuhannya menginspirasi masyarakat bangsa ini, termasuk para penguasanya untuk bangkit dari keterpurukan. Alih-alih menjadi pendobrak bagi menguatnya semangat kebangkitan, Pancasila justru nyaris tak menjadi pijakan bagi para penghuni bumi Indonesia. Sebab faktanya, keterpurukan yang melanda bangsa ini pun rupa-rupanya bersumber pada kelumpuhan moral. Lalu, bagaimana menumbuhkan semangat ke-Indonesiaan dalam konteks kekinian? Berikut hasil petikan wawancara wartawan Radar Tegal, Akhmad Syaefudin, dengan politisi muda Kabupaten Tegal, Eko Mahendra, S. Sos, beberapa waktu lalu.
Beberapa waktu lalu, Gus Dur menggagas perlunya kebangkitan nasional jilid 2, tanggapan anda?
Sebagai wacana, gagasan itu sah-sah saja, apalagi semangat nilainya adalah kemaslakhatan bangsa. Kedua, pada level sosial, saya melihat gagasan Gus Dur itu relevan untuk didengungkan kembali, tetapi mungkin harus pada wilayah yang lebih ilmiah. Katakanlah seperti workshop kebangkitan nasional yang menghadirkan segenap pakar lintas sektoral guna merumuskan gagasan tersebut secara lebih konseptual.
Bukankah situasi di sekitar sejarah Boedi Oetomo berbeda dengan situasi kekinian Indonesia?
Kompleksitas permasalahannya mungkin bebeda. Tetapi latar dominannya tetap sama, yakni keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Situasi semacam ini selalu membuka jalan bagi keterlibatan pihak luar, termasuk penjajah. Dalam wujudnya yang lebih modern, penjajahan itu bisa bernama IMF, World Bank, PBB, Amerika Serikat, dan lainnya. Dan Indonesia hari ini bukanlah Indonesia yang merdeka dengan sesungguhnya. Karena secara ekonomi dan politik, toh kita masih diintervensi oleh kekuatan lain di luar negara kita. Itu sebabnya banyak teoritisi sosial yang menyebut sistem ekonomi liberal-kapitalis sebagai bentuk penjajahan baru. Karena tatanan demikian juga eksploitatif.
Tapi nyatanya, kemandirian ekonomi belum menjadi prinsip kepemimpinan para penguasa kita?
Inilah problemnya. Para pemimpin kita belum memiliki karakter negarawan yang mau secara sungguh-sungguh memikirkan nasib bangsanya di masa depan. Lagi-lagi BUMN kita diperjualbelikan, diprivatisasi. Sumber-sumber alam kita juga dikeruk habis-habisan justru oleh negara lain. Kita tak pernah membayangkan bahwa asset Freeport yang triliunan itu sekitar 90%nya justru mengalir ke Amerika. Kita hanya kebagian 10%. Lalu bagaimana perasaan rakyat Papua? Ini juga soal distribusi keadilan yang tidak merata. Maka kalau ada separatisme seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka,red), latarnya selalu keadilan ekonomi. Makanya, dalam situasi semacam ini sungguh dibutuhkan tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Natsir, Agus Salim, Cokroaminoto, Wachab Hasbullah, dan banyak lagi. Mereka memiliki komitmen kebangsaan yang kuat terhadap negerinya.
Pancasila sebagai ideologi berbangsa dianggap mandul untuk menjadi roh kebangsaan. Kenapa demikian?
Ada kesalahan terbesar yang dilakukan Orde Baru terhadap Pancasila. Rezim ini telah melakukan sakralisasi atas Pancasila, tetapi pada saat yang bersamaan mereka sendiri tidak cukup Pancasilais. Artinya, kelompok-kelompok yang diberangus Orde Baru saat itu sebenarnya bukan musuh Pancasila, tetapi musuh rezim. Artinya Pancasila hanya dijadikan alat legitimasi belaka, sehingga justru memunculkan antipati sebagian kalangan. Kedua, kesadaran ber-Pancasila pun saat itu cenderung diformalisasi secara koersif, misalnya melalui penataran P4. Makanya, Pancasila justru menjadi asing bagi masyarakatnya sendiri.
Lalu, apa yang mungkin dilakukan untuk mengupayakan perbaikannya?
Pertama, jadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang bisa di isi dengan semangat nilai masyarakatnya yang beragam. Kedua, kita sebagai bangsa pun perlu merefresh kesadaran kebangsaan kita. Karena harus diakui, ikatan sosial kebangsaan kita terbilang rapuh. Dulu, ketika ada musuh bersama berupa penjajah, kesadaran kolektif sebagai bangsa mungkin muncul. Lalu, bagaimana dengan generasi baru saat ini yang tak pernah bersinggungan dengan latar sosial semacam itu? Inilah yang harus kita rumuskan bersama secara terbuka. (Radar Tegal, 17 Mei 2008)
Pertama, jadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang bisa di isi dengan semangat nilai masyarakatnya yang beragam. Kedua, kita sebagai bangsa pun perlu merefresh kesadaran kebangsaan kita. Karena harus diakui, ikatan sosial kebangsaan kita terbilang rapuh. Dulu, ketika ada musuh bersama berupa penjajah, kesadaran kolektif sebagai bangsa mungkin muncul. Lalu, bagaimana dengan generasi baru saat ini yang tak pernah bersinggungan dengan latar sosial semacam itu? Inilah yang harus kita rumuskan bersama secara terbuka. (Radar Tegal, 17 Mei 2008)