Jakarta - Jika tidak ingin ditinggalkan oleh pemilih, Partai Persatuan Pembangunan harus mengedepankan kejujuran untuk mendapatkan kepercayaan mereka. Oleh karena itu, disarankan agar PPP tidak melakukan politik transaksional.
”Gerakan politik sekarang lebih didominasi politiking daripada moral politik. Politiking itu melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya. Juga terjadi pragmatisme dan transaksional yang kini merebak. Bukan hanya partai politik, organisasi masyarakat pun kena. Masalah ini menjadi berat, lalu bagaimana mengangkat idealisme?” kata mantan pengurus PPP, KH Hasyim Muzadi, di Musyawarah Kerja Nasional PPP di Jakarta, Jumat (15/4).
Hasyim Muzadi yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini mengingatkan agar PPP menegaskan dirinya sebagai partai Islam yang memiliki diferensiasi dengan partai Islam yang lain.
”PPP dibangun dalam kerangka apa? Mau jadi parpol Islam dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau parpol Islam yang menoleransi liberalisme atau parpol Islam yang membiarkan negara menjadi sekuler?” ujar Hasyim Muzadi.
Penyederhanaan partai
Dalam pernyataannya di Mukernas tersebut, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PPP Suryadharma Ali menyatakan, PPP berpandangan bahwa penyederhanaan parpol sebagai salah satu upaya efektivitas pemerintah dalam sistem presidensial dapat ditempuh dengan cara-cara yang demokratis yang dapat menjamin keterwakilan politik rakyat serta tidak mencederai esensi demokrasi, seperti membuang suara pemilih secara signifikan dalam pemilu.
Oleh karena itu, menurut Suryadharma Ali, penggunaan ambang batas parlemen 2,5 persen atau 14 kursi di parlemen dinilai sudah memadai dan memungkinkan terjadinya restrukturisasi secara alamiah. Suryadharma menyangkal pandangan yang menyatakan bahwa PPP takut kalah dalam pemilu dengan mengedepankan kepentingannya sendiri dengan angka ambang batas 2,5 persen tersebut. (Kompas, 26 April 2011)