Jakarta - Draf pemerintah agar
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan terpisah mendapat
reaksi DPR. Usulan itu memang disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI beberapa waktu lalu dalam pembahasan
Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah.
Dalam usulannya, Mendagri menilai
wakil kepala daerah cukup jadi jabatan karir yang pejabatnya diangkat dari
unsur pegawai negeri sipil. Tujuannya untuk menghindari disharmoni antara
kepala daerah dan wakilnya sebagaimana kerap terjadi. Atas usulan itu, Fraksi
Partai Amanat Nasional (F-PAN) menyatakan penolakannya.
Menurut F-PAN, dalam konteks
demokrasi multipartai saat ini, perubahan mekanisme pemilihan yang disampaikan
oleh pemerintah tersebut berpotensi menyebabkan fungsi pemerintah daerah
mengalami hambatan.
Sebab hampir bisa dipastikan
kekuatan-kekuatan atau faksi politik di lembaga legislatif daerah akan sulit
untuk dikonsolidasi guna mendukung kebijakan kepala daerah walaupun kebijakan
itu memiliki nilai-nilai positif.
"Karena itu menurut F-PAN,
pemilihan kepala daerah dan wakilnya baik di level provinsi maupun
kabupaten/kota tetap dilakukan dalam satu paket dan dipilih secara
langsung," ujar anggota Komisi II dari Fraksi PAN, Chairul Naim M. Anik.
Fraksi PAN, kata Chairul Naim, menilai mekanisme pemilihan kepala daerah dan
wakilnya dalam satu paket dan dipilih langsung lebih bisa menjamin stabilitas
politik di daerah.
Harmoni dan disharmoni kepala
daerah dan wakil kepala daerah sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor
kematangan dan kedewasaan politik masing-masing pihak. "Jika keduanya
mampu menjadikan kekuasaan sebagai seni untuk memakmurkan rakyat, maka konflik
apa pun yang terjadi, atau kepentingan apa pun yang muncul tidak akan
bermasalah pada terabaikannya prinsip-prinsip pemerintahan yang berorientasi
memberikan yang terbaik untuk rakyat," bebernya.
Sementara, Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) meminta pemerintah mengkaji ulang usulan ini karena
dianggap belum jelas impementasinya. "Apakah posisi ini diisi melalui
mekanisme politik atau jenjang karir?" tanya Nu'man Abdul Hakim. Menurut
politisi PPP ini, pihaknya berharap pula agar pemerintah mengkaji lagi
usulan tentang pemilihan gubernur oleh DPRD Provinsi.
Sebab, mekanisme pemilihan ini
oleh sebagian kalangan dianggap langkah mundur dalam proses
demokratisasi. "Setelah semula dipilih secara langsung, kini diubah
lagi melalui perwakilan seperti zaman dulu," kilah Nu'man. Lain lagi
dengan sikap Fraksi Partai Gerindra. Menurut anggota Komisi II dari fraksi ini,
Harun Al Rasyid, gubernur lebih baik dipilih oleh suara terbanyak di DPRD.
Alasannya, dalam sistem
pemerintahan Indonesia, gubernur berperan ganda sebagai kepala daerah sekaligus
perwakilan pemerintah pusat di daerah. Ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 18 ayat
4 yang menyatakan bahwa gubernur dipilih secara demokratis. Intinya,
Gerindra sepakat dengan usulan pemerintah.
"Jika demokrasi harus
dimaknai sebagai pemilihan langsung oleh rakyat, itu sama saja dengan pemaksaan
kehendak di era kebebasan ini. Sebuah ironi yang tak perlu terjadi," ujar
Harun Al Rasyid. Model pemilihan gubernur sebaiknya dibikin berbeda dengan
pemilihan bupati/walikota. Pada daerah tingkat II, mekanisme pemilihan langsung
oleh rakyat akan lebih tepat dari sisi sosiokultural dan psikopolitik.
”Hanya, yang perlu diperhatikan, kata Harun apakah
pemilihan langsung bupati/walikota itu masih berasaskan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat? Ataukah bergeser dari rakyat, oleh aktor politik, untuk
pemodal?" katanya. (Indopos, 20 Juni 2012)