Jakarta
– Di antara enam parpol anggota Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi pendukung
pemerintah, hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang ngotot presidential
threshold diturunkan dari yang angka berlaku pada Pilpres 2009 lalu.
Adapun
di antara sembilan parpol di DPR, selain PPP,Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) juga ingin angka presidential
threshold turun.Karena itu,mereka mendorong revisi Undang-Undang (UU) No
42/2008 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres).
Artinya,
ada tiga parpol di DPR yang mendukung penurunan ambang batas ini, sementara
enam parpol lainnya lebih memilih tetap menggunakan syarat yang berlaku pada
Pilpres 2009 untuk pengusungan pasangan capres-cawapres. Kalaupun ada
perubahan, beberapa parpol justru ingin angkanya dinaikkan.
Syarat
pengusungan capres oleh parpol atau koalisi parpol dalam UU No 42/2008 adalah
20% kursi DPR atau 25% suara sah pemilu legislatif.Adapun PPP bersikeras supaya
pada 2014 nanti semua parpol yang memiliki kursi di DPR, berapa pun itu,berhak
mengusung capres.“ Tentu presidential threshold disamakan saja dengan
parliamentary threshold, yakni 3,5%. Rakyat akan memiliki jauh lebih banyak
pilihan figur capres. Kalau ambang batasnya tinggi, capresnya itu-itu saja,”
kilah Ketua DPP PPP Arwani Thomafi.
Sekjen
DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani menambahkan alasan lain. Dia berdalih, adanya
ambang batas bagi parpol untuk mengusung capres-cawapres tidak sejalan dengan
amanat UUD 1945. “Dalam Konstitusi saja ditegaskan bahwa capres-cawapres
diusung oleh parpol atau gabungan parpol. Jadi jangan dibatasi. Semua parpol
yang lolos parliamentary threshold harus berhak mengusung capres,” katanya.
Dia
mengingatkan, apabila ambang batas mengusung capres diperberat,kita akan
kembali ke sistem parlementer,tak lagi presidensial.Pemerintahan saat ini saja
yang menguasai mayoritas kursi di parlemen nyatanya sering dihambat oleh parpol-parpol
pendukung sendiri.
Ketua
DPP Partai Hanura Akbar Faizal juga memandang perlu revisi UU Pilpres untuk
mengakomodasi penurunan presidential threshold menjadi setara dengan
parliamentary threshold, yakni 3,5%. “Ini bukan karena kepentingan pencapresan
Hanura. Kalau kami sudah sangat percaya diri bisa memenuhi syarat apa pun untuk
menyukseskan Pak Wiranto (Ketua Umum DPP Partai Hanura) sebagai capres
2014,”ungkapnya.
Di
tempat terpisah, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mustafa Kamal
mengatakan, angka presidential threshold sebagai salah satu poin krusial dalam
UU Pilpres harus dipertahankan. “Ini sikap kami sejak awal. Kalau UU Pilpres
yang sudah ideal itu diubah akan menyita waktu dan biaya lagi,” jelas anggota
Komisi IV DPR ini.
Ketua
DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto menegaskan lagi sikap
partainya. Dia menyatakan, UU Pilpres tak perlu diubah karena berbagai
ketentuan di dalamnya masih sesuai dengan dinamika politik di Indonesia. “UU
itu tak perlu diubah setiap mau pemilu. Kalau memang isinya sudah bagus, kita
pakai saja lagi untuk Pilpres 2014. Apalagi ambang batas bagi parpol untuk
mengusung capres di angka 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara pemilu legislatif
sudah ideal,” tegasnya.
Ketua
Fraksi PKB DPR Marwan Ja’far mengaku pesimistis UU Pilpres tak direvisi karena
sudah masuk ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Meski begitu, dia berharap ambang
batas pengusungan capres tetap seperti yang berlaku pada Pilpres 2009.“Kalau
harus berubah, kami minta dinaikkan saja dari 20% kursi DPR menjadi 25% kursi
DPR atau dari 25% suara sah pemilu legislatif menjadi 30%,”tandasnya.
Menurut
Marwan, syarat ketat sangat penting dalam upaya membangun pemerintahan yang
kuat dan didukung parlemen yang kuat.“Kalau semua parpol boleh usung capres,
legitimasi kandidat terpilih bisa lemah karena hanya punya dukungan sedikit di
parlemen,” jelasnya.
Ketua
DPP PKB Abdul Malik Haramain menambahkan, jangankan diturunkan menjadi 3,5%,
menjadi 10% saja sistem akan menjadi lebih rumit. Padahal, capres harus
memiliki dukungan suara yang besar di parlemen agar ada cukup kekuatan untuk
mengawal kebijakan pemerintahannya.
Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat telah lebih dulu
melontarkan ketegasan sikap mereka tentang tidak perlunya UU Pilpres direvisi.
“UU Pilpres tak perlu diutakatik lagi karena tak ada masalah,” kata Wakil Ketua
Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Ganjar Pranowo. “Apabila syarat yang berlaku
saat ini berupa dukungan 20% kursi parlemen atau 25% suara sah pemilu masih
tepat, harus dipikirkan apakah UU Pilpres perlu direvisi atau tidak,” ujar
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Nurhayati Ali Assegaf.
Sekretaris
Jenderal DPP Partai Golkar Idrus Marham menegaskan, pihaknya ingin tetap
mempertahankan syarat pengajuan pasangan caprescawapres di angka 20% kursi DPR
atau 25% suara hasil pemilu legislatif.“Ini angka ideal demi penataan jumlah
partai agar tidak terlampau banyak,” terangnya.
Golkar
juga mewacanakan kemungkinan adanya kenaikan ambang batas ini. “Hal ini
didasari keinginan kuat untuk membangun sebuah sistem pemerintahan presidensial
yang kuat dan kokoh didukung koalisi parpol,” jelas Ketua DPP Partai Golkar
Agun Gunanjar Sudarsa.
Sebelumnya,Ketua
Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai NasDem Ferry Mursyidan Baldan pun
menyatakan bahwa syarat pengusulan capres yang berlaku pada Pilpres 2009 masih
layak digunakan. Menurut Ferry, ambang batas saat itu sudah sejalan dengan
semangat untuk memperkokoh sistem kepartaian dan mempertegas sistem pemerintahan
presidensial.
Direktur
Indo Barometer M Qodari mengatakan, apabila ambang batas pengusungan capres-
cawapres dipatok di angka tinggi seperti 15% atau 20%,peluang bagi rakyat
mendapatkan pilihan lebih banyak akan terhadang.Pasangan capres yang muncul
sangat terbatas dan “itu-itu lagi”. “Bahkan mungkin yang maju adalah figur lama
semua,”kata Qodari.
Mengenai kekhawatiran
bahwa dukungan politik terhadap capres-cawapres tidak akan kuat lantaran
syaratnya ringan, Qodari menilai hal tersebut berlebihan. Alasannya, ada mekanisme putaran kedua jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara 50%
lebih. (Sindo, 13 September 2012)