Oleh : Ahmad Syaukani*
“Sungguh mengherankan, umat
Islam pada masa lampau mampu bersatu padu dan sehati dalam memperjuangkan
kemerdekaan. Namun umat Islam hari ini, justru mengisi kemerdekaan dengan
perpecahan antar golongan dan konflik kepentingan”
I. Pendahuluan.
Sejak lama para pemimpin Islam di
Indonesia berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan yang membelit sebagian
besar umatnya, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Setelah sekian lama
terkungkung oleh kebijakan diskriminatif penjajah, kemerdekaan memang memberi
peluang umat Islam untuk mengembangkan diri. Namun sampai lebih dari enam puluh
tahun sesudah proklamasi kemerdekaan, citra tentang kemiskinan dan
keterbelakangan itu masih juga belum terhapus. Sebagian besar umat Islam
Indonesia jauh tertinggal dalam berbagai hal: pendidikan yang rendah, bidang
pekerjaan yang secara materil kurang menguntungkan, skor kualitas hidup fisik yang
rendah, dan status sosial ekonomi yang juga rendah.
Sejak awal, para pemimpin dan
aktivis Muslim itu sadar bahwa perbaikan kondisi yang memprihatinkan itu
memerlukan perjuangan politik, yaitu berurusan dengan upaya memperoleh
kekuasaan. Sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi tindakan dan pikiran
orang lain serta mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik, kekuasaan
dinilai sangat penting. Apapun tujuan akhir yang hendak diperjuangkan, setiap
aktivis harus mencapai tujuan antara memperoleh kemampuan mempengaruhi orang
dan proses kebijakan. Dengan kata lain, harus memiliki otoritas dan legalitas.
Cita-cita seperti mengurangi kemiskinan rakyat pasti memerlukan kemampuan
mempengaruhi proses kebijakan publik.
II. Data fakta dan
sejarah singkat dinamika Parpol Islam di Indonesia
a. Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan Belanda,
kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang Indonesia, bukan saja berhadapan
dengan pihak penjajah, tetapi juga dengan orang-orang Cina. Berdirinya Sarekat
Dagang Islam (SDI tahun 1911, kemudian Sarekat Islam, SI tahun 1912) mulanya
diarahkan kepada orang-orang Cina di Solo. Penyebarannya ke segenap penjuru
tanah air pada waktu itu, dengan meliputi segenap lapisan penduduk dari bawah sampai
atas, lebih karena didorong oleh perasaan seagama.
Akan tetapi dalam lapangan
politik, kalangan Islam tidak berhasil bersatu. Pemetaan umat Islam ke dalam
dua kelompok, tradisionalis dan modernis mulai berkembang pada masa ini. Dan
dalam bidang politik, kalangan tradisionalis belum menjadi penting sehingga
kalangan pembaharulah yang lebih banyak terlibat dalam politik. Oleh sebab itu,
perbedaan dalam politik di zaman Belanda tidak terjadi antara kalangan modernis
dengan kalangan tradisionalis, melainkan antara kalangan modernis sendiri.
Perbedaan itu lebih disebabkan oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan
agama.
Dalam bidang sosial,
Partai-Partai Islam dapat bekerjasama dan dengan organisasi sosial Islam dalam
federasi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1935,
tetapi dalam bidang politik, masing-masing kelihatan bergerak sendiri-sendiri.
Ketika Gabungan Politik Indonesia (Gapi) didirikan pada tahun 1939, PSII
(Partai Syarekat Islam Indonesia) hanya bersedia masuk di dalamnya setelah
mendapat jaminan bahwa kelompok Salim (Anggota yang sudah dipecat) tidak akan
diajak. Sedangkan Komite Kebenaran dari Kartosuwirya berada di luar Gapi dan
MIAI.
Pada masa pendudukan Jepang, MIAI
kembali didirikan di Jakarta tanggal 5 September 1942, federasi ini kemudian
diubah menjadi Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masjumi) pada akhir tahun 1943.
Namun baik MIAI maupun Masjumi pada zaman jepang ini tidak meliputi
organisasi-organisasi di Luar Jawa karena pemisahan administrasi pemerintahan ketika
itu. Anggota anggota MIAI di Jawa pun terbatas pada organisasi-organisasi Islam
yang diakui.
Satu perkembangan menarik pada
masa ini adalah peluang yang diberikan Jepang terhadap ulama untuk berkiprah
dalam bidang politik. Pemerintah juga mendirikan kantor administrasi agama yang
berusaha melakukan semua kegiatan tentang Islam. Sejak itu, ulama mulai
tertarik untuk bekerja di kantor pemerintahan (pusat dan daerah). Akibat
negatifnya adalah berkurangnya jumlah ulama yang memusatkan perhatiannya pada usaha
menjaga keperluan rohani umat karena pindah ke kota-kota.
b. Kelahiran Partai
Politik Islam
Dari gambaran di atas, terlihat
bahwa organisasi Islam yang bergerak di bidang politik telah ada sejak zaman
penjajahan, baik Belanda maupun Jepang. Namun untuk menyebut
organisasi-organisasi itu sebagai Partai Politik Islam mungkin tidak terlalu
tepat, sebab kala itu negara Indonesia belum merdeka.
Sesaat setelah kemerdekaan, yaitu
pada tanggal 3 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan pengumuman yang mendorong
rakyat untuk mendirikan Partai. Meskipun pada awalnya, kalangan Islam
menyesalkan pengumuman tersebut dan dianggap tidak tepat waktunya, sebab
menurut mereka, pada masa itu yang dikehendaki adalah persatuan rakyat, dan
pendirian Partai-Partai dapat memecah belah rakyat, namun akhirnya mereka dapat
menerima alasan pemerintah bahwa dengan berdirinya Partai-Partai maka berbagai
aliran dalam masyarakat mendapat penyaluran dan dapat dipimpin ke jalan yang
teratur. Oleh sebab itu umat Islam merasa berkewajiban mengorganisasikan
kekuatan dan tenaganya dalam satu wadah politik sehingga dapat melaksanakan
tugasnya dalam bidang politik.
1. Masjumi
Atas dasar itu, diadakanlah
Muktamar Islam di Yogyakarta tanggal 7 – 8 November 1945 yang dihadiri oleh
hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam. Muktamar memutuskan untuk
mendirikan majelis Syura pusat bagi umat Islam Indonesia (Masjumi) yang
dianggap sebagai satu-satunya Partai politik bagi umat Islam. Pada awalnya,
hanya empat organisasi yang masuk Masjumi: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama,
Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Muhammadiyah termasuk pembaru
(modernis) sedang NU tradisional. Dua organisasi lainnya bersifat tradisional
dalam soal-soal agama, tetapi cenderung bersikap modern dalam soal-soal dunia
sehingga memudahkannya untuk bekerja sama dengan kalangan modernis. Pada tahun
1951 kedua organisasi ini berfusi menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia.
Organisasi-organisasi Islam
bergabung dengan Masjumi segera setelah mereka didirikan kembali. Di Jawa, Persatua
Islam (PI, Bandung) bergabung pada tahun 1948 dan Al-Irsyad pada tahun 1950.
sedangkan dua organisasi dari Sumatera, yaitu al-Jamiatul Washliyah dan
al-Ittihadiyah menjadi anggota Masjumi kemudian, setelah hubungan antara
Yogyakarta dan Sumatera Utara secara politis pulih.
Pada akhirnya semua anggota
istimewa Masjumi putus hubungan dengan Partai. Ini terjadi pada puncak
perpecahan antara Soekarno dan Masjumi, Sekurang-kurangnya pada saat
ketidakpercayaan Soekarno terhadap Masjumi dan juga sebaliknya meningkat.
Masjumi dilihat oleh Presiden pada tahun 1958 bersimpati dengan pemberontakan
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia; sebaliknya Soekarno dilihat Masjumi
sebagai penguasa yang ingin menegakkan kediktatoran dan yang memberi angin bagi
Partai Komunis Indonesia.
Setelah pimpinan Partai masjumi
bermusyawarah dengan pimpinan anggota-anggota Istimewa, melepaskan ikatan
antara anggota istimewa dan Masjumi (8 September 1959). Kebijakan ini diambil
untuk menjaga kelancaran kegiatan organisasi, sekiranya Masjumi mendapat
hambatan dalam geraknya. namun, pada tahun 1960 Masjumi terpaksa dibubarkan
oleh perintah Soekarno.
2. Perti.
Partai Politik Perti berasal dari
organisasi tradisional Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yang berpusat di
Bukittinggi, Sumatera Tengah. Organisasi ini didirikan di suatu Pesantren di
Candung dekat Bukittinggi pada tanggal 20 Mei 1930. Ia merupakan benteng
pertahanan golongan tradisionalis terkenal di Minangkabau terhadap penyebaran
dan gerakan modern.
Pada masa pendudukan Jepang,
Perti banyak terlibat dalam bidang pendidikan dan sosial. Pada tahun 1944,
Perti bergabung ke Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi
Islam di seluruh Sumatera yang diketuai oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Sehubungan dengan pengumuman
pemerintah agar rakyat mendirikan Partai politik, pimpinan Perti memutuskan
untuk menjadikan organisasi mereka sebagai sebuah Partai politik. Keputusan ini
diamil pada tanggal 22 November 1945 dan diperkuat oleh kongres di Bukittinggi
tanggal 22 – 24 Desember 1945. Berbagai alasan Perti berjalan adalah : pertama,
kelihatannya mereka tidak cocok berada dalam MIT (yang juga berubah bentuk
menjadi Partai politik) dan kemudian dengan Masjumi (sebagai transformasi dari
MIT) oleh karena dominasi kalangan modernis yang kurang memperhatikan perasaan
dan aspirasi kalangan tradisional di daerah itu. Kedua, para pemimpin Perti
cepat melihat pentingnya politik dalam mempertahankan paham agama mereka, dan
ini menurut mereka lebih mudah dilakukan dengan mengubah organisasi menjadi
Partai daripada berjuang dalam MIT dan Masjumi.
3. Partai Syarikat Islam
Indonesia.
Partai Syarikat Islam Indonesia
sering membanggakan dirinya sebagai Partai tertua di Indonesia, karena ia
memang berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI, 1911) dan Sarekat Islam (SI,
1912). Tetapi sebab langsung Partai tersebut didirikan kembali padahal
sebelumnya telah ada kebulatan tekad untuk melihat Masjumi sebagai satu-satunya
Partai Islam, ialah usaha formatir Amir Syarifuddin membentuk kabinet pada tahun
1947 yang ingin mengikutkan kalangan Islam tetapi ditolak oleh Masjumi. Rupanya
kalangan PSII terpancing oleh ajakan Amir Syarifuddin; mereka bersedia duduk
dalam kabinet yang ia bentuk.
Segera sesudah PSII didirikan
kembali pada tahun 1947 itu, pimpinan PSII mengeluarkan pengumuman yang
mengatakan bahwa PSII tidak ada hubungan atau ikatan dengan Masjumi. PSII masuk
kabinet semata-mata berdasarkan tanggungjawabnya terhadap negara yang sedang
menghadapi ketegangan yang sangat serta kesulitan besar sehingga Partai merasa
perlu menanggulanginya.
4. Nahdlatul Ulama
Organisasi ini didirikan di
Surabaya tanggal 31 Januari 1926 sebagai usaha menahan perkembangan paham
pembaru dalam Islam di tanah air, serta usaha mempertahankan ajaran tradisional
dan mazhab di tanah suci yang baru dikuasai golongan Wahabi di bawah Raja Abdul
Aziz ibn Saud.
Perhatian NU dalam bidang politik
terlihat kentara pada masa revolusi. Organisasi ini mengeluarkan fatwa bahwa
mempertahankan tanah air dari serangan musuh merupakan hal wajib bagi tiap
muslim. Pada tahun 1949 ketika mulai tampak jelas bahwa Belanda akan
meninggalkan Indonesia, NU memperlihatkan kekurangserasiannya dengan Masjumi.
Adanya perubahan dalam anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masjumi
dijadikan alasan bagi penarikan diri NU dari Masjumi. Menurut kalangan NU,
Masjumi sejak kongresnya di Jogjakarta pada akhir tahun 1949 diubah sedemikian
rupa, di mana majelis Syuro yang merupakan tempat penting bagi para ulama dan
pemimpin-pemimpin Islam menjadi anggotanya tidak lagi dijadikan sebagai badan
legislatif di samping DPP, melainkan hanya dijadikan badan penasihat saja.
Segala persoalan hanya dari jurusan politik saja dengan tidak lagi mengambil
pedoman agama.
Akan tetapi, jika ditelusuri
lebih jauh, pengunduran diri NU dari Masjumi ini lebih terkait dengan perebutan
jabatan Menteri Agama antara Muhammadiyah (modernis) dengan NU (tradisional).
NU bersikeras agar jabatan itu menjadi miliknya yang tidak disetujui oleh
pimpinan Masjumi. Ketika akhirnya jabatan itu benar-benar jatuh ke tangan
Muhammadiyah, NU memisahkan diri dari Masjumi dan mendirikan Partai politiknya
sendiri. Hal ini terjadi pada kongres di Palembang akhir April 1952.
Pada Pemilu tahun 1955, NU
mendapat sukses yang luar biasa; dari 8 kursi di DPRS meningkat menjadi 45
kursi dengan 18,4% suara, tepat dibelakang Masjumi (20,9%), Partai Nasional
Indonesia (22,3%) dan berada didepan Partai Komunis (16,4%). Partai-Partai
Islam lainnya hanya mendapat kurang dari 3% suara.
Pada periode antara tahun 1960
sampai tahun 1965 kekuatan Islam terlibat konfrontasi yang sengit dengan
kekuatan PKI yang sejak era Demokrasi terpimpin menjadi lebih agresif dalam
mengganggu musuh-musuhnya, terutama umat Islam.
c. Masa Orde Baru.
Pada periode awal pemerintahan
orde Baru, kekuatan Partai Islam di tingkat nasional memperlihatkan usaha-usaha
untuk menata kembali posisi politiknya. Sepanjang 1968 dan 1969 Partai-Partai
Islam mensponsori program-program “hari peringatan Piagam Jakarta” yang
diselenggarakan tiap 22 Juni. Suatu hal yang perlu disorot, isu ini kembali
merapatkan barisan kekuatan-kekuatan Islam baik NU maupun Parmusi (mantan
Masyumi), yang kedudukannya sering dianggap mewakili sayap Islam tradisional
dan modernis yang sebelumnya mengalami keretakan.
Namun, keinginan para pemimpin
Partai Islam untuk merehabilitasi kembali Masyumi mulai mengambang setelah
Soeharto menolaknya pada tanggal 6 Desember 1967. Berbagai usaha dilakukan oleh
pemimipin Islam untuk melakukan konsolidasi Partai Islam, Namun mereka mulai
merasakan justru mulai mendapat tekanan dari pemerintah Orde Baru. Keadaan itu
tentu saja menyengat perasaan umat Islam, terutama kalangan aktifis politik
Islam, karena berbagai tekanan dan larangan itu justru berasal dari pemerintah
Orde Baru yang tokoh-tokohnya telah mereka bantu dalam masa penumbangan Orde
Lama. Terjadinya kesenjangan harapan dan kenyataan yang mereka hadapi itulah
yang menjadi salah satu sebab meluasnya konfrontasi kekuatan politik Islam
dengan negara pada dua dekade pertama Orde Baru.
Sebagai bagian dari desain
restrukturisasi politik Orde Baru, negara memandang perlu meneruskan
pengendalian Partai politik melalui penyederhanaan jumlah Partai politik yang
ada. Penyederhanaan dilakukan dengan cara pengelompokan (regrouping) dari
sepuluh kontestan Pemilu menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok
spritual-material; kedua, kelompok material spritual; dan ketiga adalah
kelompok karya.
Setelah sempat mendapat ganjalan
karena penolakaan dari PKI dan Parkindo untuk masuk dalam kelompok sprituil,
akhirnya disepakati pada tahun 1970 terbentuk dua koalisi di DPR. Pertama,
kelompok Nasionalis yang merupakan gabungan dari PNI, PKI, Murba, Parkindo,
Partai Katolik, dan kedua, kelompok sprituil yang terdiri dari NU, Parmusi,
PSII, dan Perti.
Setelah melalui serangkaian
perundingan dan musyawarah, pada tanggal 5 Januari 1973, di Jakarta berhasil
disepakati pendirian Partai dengan nama Partai Persatuan Pembangunan. Dalam
“konfederasi” Partai-Partai Islam yang baru itu terlihat adanya kompromi
maksimal dari unsur-unsur yang berfusi, ditandai dengan upaya pengalokasian
kekuasaan Partai berdasarkan perolehan suara pada pemilu 1971.
Pada awal dekade 1980-an, rezim
Orde Baru memaksa NU mengambil pilihan yang jelas antara oposisi atau
akomodasi. Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 1982 untuk pertama
kalinya mengemukakan gagasannya untuk menerapkan pancasila sebagai satu-satunya
asas bagi seluruh kekuatan organisasi sosial dan politik di Indonesia.
Muncul reaksi yang beragam dari
berbagai kalangan umat Islam atas rencana tersebut. PB HMI pada awalnya
melakukan penolakan, namun akhirnya melunak setelah KAHMI yang dikontrol oleh
Nurkholis Majid Cs. mengimbau kongres HMI tahun 1986 agar tidak berbenturan
dengan masyarakat dan pemerintah. Muhammadiyah bersikap menunggu hingga RUU
Parpol dan Ormas disahkan, dan hanya mengusulkan penegasan bahwa “Pancasila
bukan Agama dan Agama tidak diPancasilakan”. Sementara reaksi penolakan muncul
dari pemimpin-peminpin masyarakat di kota-kota besar, terutama di Jakarta.
Tragedi Tanjung Priok yang hingga kini belum dapat diselesaikan secara penuh
merupakan ekses dari penolakan ini.
Di tengah meluasnya keragu-raguan
dan penolakan sebagian umat Islam, NU membuat kejutan dengan menerima azas
tunggal. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penerimaan ini. Pertama,
terjadinya kemelut internal PPP di sekitar Pemilu 1982 telah merembet ke tubuh
NU hingga masing-masing fraksi yang bertikai saling memperebutkan dukungan
pemerintah. Kedua, munculnya tantangan yang luas di masyarakat terhadap rencana
azas tunggal mengakibatkan kelompok mana yang lebih dulu menerima, memiliki
bobot politis yang besar, ini berarti merupakan kesempatan gerakan “pemikiran
baru” di NU untuk memperoleh kepercayaan kembali negara terhadap NU.
Akhirnya, munas NU di Situbondo
berhasil mengambil keputusan strategis menyangkut kembalinya NU sebagai
organisasi sosial secara penuh yang berarti melepaskan dirinya secara
organisatoris dengan PPP. Langkah ini kemudian dikenal sebagai kembali ke
Khittah 1926. Dengan diterimanya Pancasila sebagai azas tunggal oleh
Partai-Partai politik Islam, maka dapat dikatakan parta-Partai Islam sudah
tidak ada lagi sejak saat itu.
III. Fenomena menarik
Salah satu isu menarik dalam
perkembangan Islam di Indonesia di masa modern adalah kembali berkiprahnya
Partai-Partai politik Islam dalam pemilihan umum. Ada dua macam Partai yang
dapat disebut sebagai Partai Islam, yaitu; pertama, Partai yang berazaskan
Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
Partai Keadilan (PK, yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera,
PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Nahdatul Ummah (PNU, yang kemudian
berubah menjadi Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia, PPNUI), kedua,
Partai yang tidak mencantumkan Islam sebagai azaznya tetapi konstituen utamanya
adalah umat Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) yang konstituennya adalah warga NU, dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang
konsituan utamanya adalah warga Muhammadiyah.
Fenomena munculnya kembali
Partai-Partai politik Islam ini sangat menarik, sebab hampir selama masa rezim
Orde Baru, Praktik politik selama rezim orde baru sangat didominasi oleh
pendekatan refresif. Sepanjang periode ini, rezim orde baru memberikan
pengawasan ketat terhadap pergerakan dan Partai politik Islam.
Fenomena munculnya kembali
Partai-Partai politik Islam dalam dua Pemilihan Umum terakhir (sebelum 2008)
menarik perhatian banyak kalangan, apalagi kehadiran mereka di kancah
perpolitikan nasional ternyata tidak hanya menjadi penggembira saja, tetapi
justru menjadi pendulang suara rakyat yang patut diperhitungkan. Terbukti dalam
dua kali pemilihan umum 1999 dan 2004, meskipun belum berhasil menjadi
pemenang, tetapi kursi ketua MPR selalu menjadi milik Partai-Partai Islam,
pertama oleh Amin Rais dari PAN dan kedua Hidayat Nurwahid dari PKS. Kita tentu
masih akan terus menanti-nanti gerakan apalagi yang akan dilakukan oleh
Partai-Partai politik Islam di masa-masa akan datang. Mungkinkah Partai-Partai
ini akan menjadi saluran aspirasi dan dipilih oleh mayoritas umat Islam di
negeri ini, ataukah Partai-Partai ini hanya akan menjadi penggembira saja di
kancah perpolitikan Nasional.
IV. Soekarno dan Parpol
Islam
Pada periode pemerintahan
soekarno, dikenal sebuah peristiwa dekrit dimana pada dasarnya Partai-Partai
Islam yang ada menentang dikeluarkannya dekrit tersebut. Namun pada tanggal 5
juli 1959 secara resmi dekrit tersebut dikeluarkan dengan “terpaksa” dan
dimulailah periode demokrasi terpimpin. Dekrit tersebut menyatakan berlakunya
kembali UUD 45 sebagai pengganti UUD 1950 yang dinyatakan telah habis masa
berlakunya. Melalui dekrit itu juga, majelis konstituante dibubarkan karena
dinilai tidak mampu merampungkan tugas, terutama dalam menetapkan dasar
pancasila ataupun Islam. berakhirnya era demokrasi parlementer dan dimulainya
suatu tatanan politik yang disebut era Demokrasi terpimpin, pada gilirannya
memberikan peluang terjadinya konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden
Soekarno.
Sekalipun dekrit tersebut
dikeluarkan untuk menembus jalan buntu konstitusional, pada kenyataannya lebih
menguntungkan kelompok pendukung pancasila ketimbang kelompok Islam, sekalipun
kelompok terakhir sampai pada batas tertentu masih didengar tuntutannya.
Spontan setelah dikeluarkannya dekrit tersebut, mereka terpecah menjadi dua
kelompok, Masjumi menilai bahwa sistem demokrasi terpimpin otoriter, sistem
demikian merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, NU,
PSII dan Perti yang tergabung dalam Liga Muslimin menilai dukungan terhadap
sistem ini sebagai sikap yang realistik dan pragmatik.
Dr. Syafi’i Ma’arif membenarkan
bahwa, Pendekatan akomodatif Partai-Partai Islam terhadap sistem politik
demokrasi terpimpin ditafsirkan oleh sebagian pemimpin Islam sebagai
penyimpangan dari prinsip-prinsip perjuangan dalam Islam. Tapi pemimpin muslim
yang turut dalam sistem tersebut berpendapat bahwa partisipasi mereka bila
dilihat dari sisi pandangan politik, hanyalah suatu sikap realistis dan
pragmatis dalam menghadapi sistem otoriter.
Secara serius atau sebaliknya
posisi politik Islam selama periode (soekarno) relatif lemah, (minoritas)
meskipun pemeluk Islam di Indonesia adalah mayoritas.
Dengan demikian, Soekarno
memiliki peran secara tidak langsung terkait dengan perpecahan dalam tubuh
Partai politik Islam. Peran tersebut lebih didorong oleh upaya dan kepentingan
politiknya, termasuk dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Sementara telah
terjadi friksi dalam tubuh umat Islam sehingga kondisi demikian mampu ditangkap
dan dimanfaatkan untuk melemahkannya.
V. Cita-cita Partai
Politik Islam
Jika kita melihat kancah
perpolitikan di Indonesia saat ini, sungguh sangat memprihatinkan, selain
pemahaman tentang demokrasi yang jauh dari cita-cita terminologi demokrasi itu
sendiri, perilaku elit politik dan praktisi hukum juga jauh dari kesan
mendahulukan kepentingan negara dan bangsa secara umum, yang ada hanyalah
kebijakan-kebijakan yang cenderung menguntungkan satu kelompok atau golongan,
mafia hukum dan rekayasa-rekayasa politik seperti yang terjadi pada praktek
demokrasi di negara-negara sekuler yang pada intinya jauh dari tujuan
demokrasi.
Berangkat dari realita semacam
itu, penulis menilai perjuangan pemimpin-pemimpin Islam dengan cara mendirikan
Partai politik yang berbasis dan berideologi Islam sangat dibutuhkan, karena
selain untuk melegalkan gerakan dakwah Islam juga untuk mengimbangi
kebijakan-kebijakan penguasa diktator. Setidaknya ada beberapa cita-cita
mengapa Partai Islam berdiri.
1. Pengaruh negatif
penguasa-penguasa diktator terhadap perkembangan dakwah Islam secara umum,
kebebasan beribadah secara khusyu’ dan benar serta penegakan syari’at Islam
secara khusus, ini semua dikarenakan umat Islam berada di bawah bayang-bayang
penguasa atau pemimpin dzalim bahkan kafir. Allah swt. Telah melarang kita
menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, dalam firman-Nya Allah
berfirman:.
“Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan hanya kepada
Allah kembalimu.” (QS. Ali Imran:28)
Pada kenyataanya, meskipun di sebagian
negara sekuler umat Islam diberikan keleluasaan untuk menjalankan ibadah sesuai
ajaran Islam, akan tetapi pada wilayah tertentu umat Islam tidak mendapatkan
peran yang pada hakikatnya wilayah (di mana umat Islam dilarang mendekatinya)
itu merupakan inti atau kepala yang mampu melegitimasi dan menjamin kebebasan
umat Islam menjalankan agamanya secara sempurna, dengan kata lain kepala itu
adalah kekuasaan dan otoritas yang akan melindungi dari kemungkinan intimidasi
dari pihak penguasa atau kelompok pro penguasa. Telah terbukti pada rezim orde
baru para da’i tidak diberikan kebebasan untuk bertemu dan berinteraksi secara
terbuka dan langsung dengan semua objek dakwah. Otoritariarisme dan
kediktatoran membuat dakwah (di Indonesia) masa itu tidak bisa bernafas lega.
Di sana tidak ada tempat bagi ekspresi yang lepas. Kondisi seperti ini bukan
hanya terjadi di Indonesia, sebagaimana yang kita tahu di sebagian
negara-negara mayoritas muslim tak jauh berbeda keadaannya.
Realitas seperti ini tidak bisa
kita pungkiri lagi, dan telah terjadi didepan mata kita sendiri. Banyak contoh
yang bisa kita ambil salah satunya adalah pelarangan mahasiswi muslim memakai
jilbab (yang merupakan jati diri wanita muslimah) saat memasuki areal kampus di
beberapa negara sekuler, meskipun mereka (mahasiswi muslim) tidak dilarang
beragama Islam akan tetapi haknya sebagai seorang penganut ajaran Islam telah
diintimidasi dan kebebasan menjalankan agamanya ternodai, lalu siapa yang
bertanggung jawab?
Penjajahan terselubung terhadap
negara-negara ketiga, secara khusus kita ambil contoh tindakan dan perilaku
Israel terhadap negara Palestina dan sekitarnya, banyak kemungkinan alasan
mengapa mereka (Israel) tidak mau mundur sedikitpun dari tanah Yerussalem,
mulai dari alasan menggali harta karun warisan Nabi Sulaiman as. (dengan segala
kontroversinya), mengambil kitab-kitab sihir (yang keduanya mereka yakini
berada di bawah masjid al-aqsha), sampai cita-cita turun temurun mendirikan
kerajaan Yahudi di Yerussalem. Tindakan orang-orang Israel yang sedemikian
merajalela terhadap rakyat Palestina (pada hakikatnya umat Islam), tidak
mendapatkan pertentangan yang berarti dari negara-negara adidaya dan Eropa
secara umum, yang terjadi bahkan negara-negara arab dan mayoritas Islam tak
banyak berkutik ketika dibenturkan dengan konflik seperti ini, meskipun hanya
sekedar memberi bantuan materil berupa makanan, pakaian dan obat-obatan. Hal
ini menunjukkan lemahnya pengaruh dunia Islam pada tatanan diplomasi dan
peranannya dalam lingkup dunia international, walaupun konflik-konflik itu
sendiri terjadi di tanah mereka (dunia Islam). Dari sinilah perlunya
mengembalikan kekuasaan Islam yang sempat berjaya hingga 1923 M, Meskipun
bentuknya tidak seperti sistem khilafah Islamiyah, minimal umat Islam memiliki
pemimpin berakhlak Islami yang kebijakannya diperhitungkan dan tidak hanya
menjadi peran pinggiran dalam literatur negara.
Menyinggung soal nama pemimpin
Islam, Muhammad Natsir dalam kapita selekta berpendapat bahwa titel khalifah
tidak menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine
quo non. Akan tetapi orang yang diberi kekuasaan memimpin negara mampu
bertindak secara bijaksana dan menjalankan hukum-hukum Islam sebagaimana
mestinya dalam tatanan kenegaraan, baik secara kaidah maupun praktek. Bagi
beliau syarat menjadi pemimpin negara Islam adalah agama, sifat, akhlak, tabiat
dan kecakapannya dalam memegang kekuasaan yang diamanahkan kepadanya.
2. Pengejawantahan Islam
sebagai agama universal dan komprehensif, melihat hajat manusia abad ini, tidak
bisa dihindari lagi bahwa kehidupan berdemokrasi begitu menjamur terutama
mereka yang hidup di negara-negara maju, oleh karenanya maka sebagian politisi
muslim berpendapat bahwa, daripada bersikap bermusuhan sementara pada
kenyataannya hajat hidup manusia berada dalam lingkup demokrasi, lebih baik
kita memanfaatkan beberapa bagian demokrasi yang sesuai dengan sistem syura
(sebuah sistem yang diyakini otentik dari ajaran Islam) seperti sistem
perwakilan dan sistem pemilihan. Anis Matta melihat bahwa bukanlah sikap
yang bijaksana apabila para da’i menjauhkan diri dari sistem politik, karena
itu berarti kita telah membiarkan masalah utama yang mengatur hajat hidup orang
banyak dipegang oleh para sekularis.
Masih menurut Anis Matta di dalam
bukunya “menikmati Demokrasi”. Negara mana di dunia ini yang bekerja tanpa demokrasi
di dalamnya? Sistem perwakilan, pemilihan umum, penetapan hukum berdasar suara
terbanyak atau konsensus telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem
kenegaraan. Negara-negara paling maju di dunia kebanyakan adalah negara pelaku
demokrasi, bangunan sistem berbalut kapitalisme ini telah menunjukkan kepada
dunia tentang apa arti kebebasan berpikir, berpendapat, dan beragama. Kebebasan
adalah isu yang paling sentral. Ada dua sikap ekstrim tentang demokrasi, ada
yang begitu memujanya sebagaimana pernyataan Francis Fukuyama dalam bukunya
“The End of History”, tetapi disisi lain ada yang memandang sistem ini sebagai
penyebab hancurnya sistem kemanusiaan.
3. Menampilkan wajah Islam dalam
berdemokrasi.
Ketika kita menyinggung masalah
politik, maka yang terlintas di benak kita adalah wajah politik yang suram,
kotor, penuh tipudaya dan kecurangan. “Tidak ada politik yang bersih” menjadi
sebuah pernyataan yang seakan-akan telah paten di otak sejak kita dilahirkan ke
dunia, maka berangkat dari itulah penulis menilai bahwa tidak ada “kotoran”
yang tidak dapat dibersihkan, dengan kata lain setiap sesuatu yang kotor harus
dibersihkan. Hal ini tentu saja kembali kepada individu-individu (praktisi)
yang menjalankan politik dan demokrasi itu sendiri, bagaimana para politisi
Islam itu mengaplikasikan Akhlaqul Karimah dalam kehidupannya
berpolitik dan berdemokrasi, sehingga ada dampak positif pada setiap keputusan
dan kebijakan politiknya.
Dr. Yusuf Qordhawi menyatakan
bahwa, disana terdapat dua sifat yang disyaratkan Islam bagi setiap orang yang
akan mengemban suatu pekerjaan.
Pertama: Mampu mengemban
pekerjaan ini dan mempunyai pengalaman di bidangnya (kompeten). Kedua: Amanah.
Dengan sifat amanah inilah suatu pekerjaan akan terpelihara dan pelakunya akan
takut kepada Allah Ta’ala. Itulah yang diungkapkan oleh al-Qur’an melalui lisan
Nabi Yusuf as:
“Artinya : Berkata Yusuf,
jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga lagi berpengetahuan” [Yusuf : 55]
Juga dalam kisah Musa as, melalui
lisan puteri seorang yang sudah tua renta:
“Artinya : Karena
sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” [Al-Qashash: 26]
Dengan demikian, kekuatan dan
ilmu memerankan sisi intelektual dan profesional yang menjadi syarat suatu
pekerjaan, sedangkan kemampuan menjaga dan amanat mencerminkan sisi moral dan
mental yang memang dituntut pula untuk keberhasilannya.
Diantara poin demokrasi yang
sesuai dengan Islam adalah sistem Syura. Syura atau musyawarah adalah bagian
penting dari kehidupan berdemokrasi, musyawarah dilakukan untuk mencari jalan
keluar dari permasalahan-permasalahan rumit, dengan cara mufakat atau
pengambilan suara mayoritas. Di dalam Islam, konsep musyawarah telah
diperintahkan secara jelas dan telah dipraktekkan dalam kehidupan Rasulullah Shallahu
‘Alaihi wa Sallam. Dan para sahabatnya, sebagaimana firman Allah swt.
Dalam al-qur’an:
“Maka sesuatu apapun yang
diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup didunia; dan apa yang ada pada
sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya
kepada Tuhannya, mereka bertawakkal, dan (bagi) orang-orang yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatanperbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka
memberi mnaf Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannnya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan
kepada mereka.” (Asy Syura: 36-38)
Serta beberapa peristiwa penting
dalam sejarah kekhilafahan Islam, seperti proses pengangkatan Abu Bakar Radliyallahu
‘Anhu sebagai khalifah pertama setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa
Sallam wafat.
Di sinilah pentingnya menampilkan
kepada masyarakat demokrasi bahwa di dalam Islam telah ada konsep musyawarah
sebagai salah satu nilai kemanusiaan yang harus dipegang teguh. Poinnya adalah,
bahwasanya musyawarah memiliki makna penting di dalam kehidupan manusia baik
secara individu, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
4. Upaya mengintegrasikan
kebenaran dengan legalitas.
Kita memang bebas berdakwah, tapi
para pelaku kemungkaran juga bebas melakukan kemungkaran. Yang berlaku di sini
(demokrasi) bukan hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus
legal, walaupun salah. Dan sesuatu yang benar tapi tidak legal adalah salah.
Begitulah aturan main demokrasi. Karena itu, masyarakat demokrasi cenderung
bersifat eufimistis, longgar, dan tidak mengikat.
Yang kemudian harus kita lakukan
adalah bagaimana mengintegrasikan kebenaran dengan legalitas. Bagaimana membuat
sesuatu yang salah dalam pandangan agama menjadi tidak legal dalam pandangan
hukum positif. Secara terbalik, itu pulalah yang dilakukan para pelaku
kejahatan.
Maka, penetrasi kekuasaan dalam
negara demokrasi harus dilakukan dengan urutan-urutan begini. Pertama,
memenangkan wacana publik agar opini publik berpihak kepada kita, inilah
kemenangan pertama yang mengawali kemenangan-kemenangan selanjutnya. Kedua,
formulasikan wacana itu ke dalam draft hukum untuk dimenangkan dalam wacana
legislasi melalui lembaga legislatif. Kemenangan legislasi ini menjadi
legitimasi bagi negara untuk mengeksekusinya. Ketiga, pastikan bahwa para
eksekutif pemerintah melaksanakan dan menerapkan hukum tersebut.
Jadi, itulah tiga pusat kekuasaan
dalam negara demokrasi : wacana publik, legislasi, dan eksekusi.
Demikianlah dakwah harus bekerja
di era demokrasi Ada kebebasan yang kita nikmati bersama. Tapi, juga tersedia
”cara tersendiri” untuk mematikan kemungkaran dan melakukan penetrasi
kekuasaan. Anggaplah ini sebuah seni yang harus dikuasai para politisi dakwah.
Penutup
Islam menyeru kepada kita untuk
berjuang dan berusaha untuk membebaskan diri dan orang-orang yang tertindas di
bumi ini dari cengkeraman para penindas, penjajah dan diktator. Allah swt.
berfirman:
“Mengapa kamu tidak mau
berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik dari
laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, “Ya Tuhan kami,
keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zhalim penduduknya dan berilah
kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau.”
(An-Nisa’: 75)
Apabila manusia tidak mampu untuk
keluar dari tekanan dan penindasan, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk
tidak hijrah dari kampung halaman mereka, dan tidak alasan untuk menerima
kehinaan, serta tetap di bawah cengkeraman kezhaliman dan kediktatoran.
Al-Qur’an telah memberi ancaman yang keras bagi orang yang rela untuk hidup terhina
dan menyerah, di mana ia tidak termasuk orang yang memerangi, dan tidak pula
termasuk orang yang berhijrah bersama Muhajirin. Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang
yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka)
Malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Adalah
kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah).” Para Malaikat berkata,
“Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”
Orang-orang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita
ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan õidak mengetahui jalan
(untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah
Maha Pemaaaf lagi Maha Pengampun.” (An-Nisa’: 97-99)
Sesungguhnya orang yang
memberikan haknya kepada Islam berupa pemahaman dan merenungkannya akan
mendapatkan bahwa sesungguhnva inti dari semuanya adalah tauhid.
Tauhid adalah “ruh eksistensi
Islam,” tauhid merupakan asas pemikiran dan asas fiIsafat yang merealisasikan
prinsip kebebasan, persaudaraan dan persamaan secara keseluruhan. Kalimat
tauhid adalah kalimat “Laa ilaaha illallah” yang berarti menggugurkan
orang-orang yang mengaku tuhan dan yang diktator di bumi dan menurunkan mereka
dari singgasana Rubbubiyah palsu dan kesombongan (merasa tinggi) di
atas makhluk sesamanya menuju persamaan hak antar manusia seluruhnya dalam
beribadah kepada Allah. Wallahu A’lam Bi Ash-Shawab.