PPP: “Rumah Besar” Ummat yang Ditinggalkan Penghuninya (3)
Oleh: Syamsir Alam*
TOKOH-TOKOH Islam yang jeli
memanfatkan ayat dan hadits tertentu untuk ditafsirkan sesuai dengan
kepentingan mereka yang sering sering hanya berlalu sesaat untuk direvisi
kembali, setelah tujuannya tercapai. Sesuatu yang cukup mengherankan, banyak
yang mengaku tokoh politik Islam bila kalah terus ngotot ingin menang, dan
segera membuat partai baru sempalan. Tidak berlaku lagi hukum “Islam
bersaudara”. Sebut saja Jailani (Johny) Naro yang dilengserkan pada 5 Januari
tahun 1999 setelah lama berkuasa, langsung mendirikan Partai Persatuan (PP)
yang akhirnya juga tidak bertahan lama.
Zainuddin MZ, dai dengan sejuta
umat, melakukan reformasi partai PPP pada 20 Januari 2002 dengan mendirikan
Partai Persatuan Pembangunan Reformasi (PPP Reformasi), yang kemudian pada 9
April 2003 berganti nama menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR). Tragisnya,
pada bulan Januari 2007 partai ini kembali pecah, setelah Zaenal Ma’arif yang
kalah dalam muktamar sebelumnya dan direcall dari DPR membuat PBR
“tandingan” dan membubarkan partai tersebut. Fenomena partai Islam yang
cenderung untuk terus pecah menjadi serpihan-serpihan kecil tersebut, dapat
dipahami dari pergolakan tokoh-tokoh Islam mencari jati dirinya sejak era
sebelum kemerdekaan.
Ada beberapa pelajaran yang dapat
disimak dari perjalanan partai Islam di Indonesia selama lebih dari 60 tahun
ini. Pertama, yang perlu disadari adalah adanya stigma Islam sebagai kelompok
fundamentalis, yang perlu diawasi setiap penguasa yang tidak ingin diganggu
posisinya, walaupun naiknya penguasa tersebut juga karena memanfaatkan kelompok
Islam yang rindu pemimpin yang memperhatikan nasib mereka. Di pihak lain, kelompok
Islam sangat ingin secara formal diakui eksistensinya (terwakili), walaupun
tidak memberikan manfaat secara nyata untuk mengangkat kualitas umat, seperti
tujuan awal dari pembaruan pemikiran Islam era sebelum kemerdekaan. Kedua,
fakta bahwa pencapaian partai Islam formal total hanya sekitar 40 persen, yang
tidak berubah banyak dari apa yang didapatkan pada Pemilu 1955, dan bahkan
pernah turun drastis pada era Orde Baru.
Sebaiknya partai Islam mengubah
strategi, dari terus berusaha mendominasi untuk memberlakukan hukum syariat,
menjadi kegiatan teladan dari pengamalan syariat Islam secara konsekuen dalam
tindakan. PPP yang selama ini dikenal sebagai kubu Islam, justru nampak kurang
melibatkan diri dengan isu keislaman, dan cenderung menjadi partai Islam
terbuka yang kompromis. Mayoritas Islam sebagai pendukung utama ternyata tidak
menjadi ukuran kekuatan politik, karena nyatanya tidak ada kesetiaan dari
tokoh-tokoh politik Islam, yang sangat senang untuk memisahkan diri membentuk
partai baru, bila mereka merasa tidak lagi kebagian posisi empuk.
Tidak mungkin melakukan perubahan
cepat dengan pemaksaan untuk mendapatkan formalitas berlakunya syariat Islam,
karena perubahan tingkah laku harus dimulai dengan perubahan pola pikir yang
memerlukan waktu lama. Pemaksaan perubahan melalui demo atau kekerasan, hampir
dapat dipastikan akan berakhir dengan tragis, karena akan menghadapi sikap
keras dari pemerintah (militer). Lebih baik beradaptasi dengan perubahan untuk
bisa bertahan, dan berkembang menjadi lebih baik tanpa kehilangan jati diri
melaksanakan syariat Islam dengan benar.
Partai Islam harus mengubah
strategi program kerjanya dengan mencerdaskan kader dan pemilihnya untuk bisa
memperbaiki taraf hidup mereka agar tetap menjadi pemilih setia yang
berkualitas dan tidak menjadi beban partai. Cara-cara menebar janji bila
memerlukan dukungan perlu diakhiri, karena pemilih yang semakin pintar akan
segera meningalkannya, karena tidak bisa berharap lagi dari partai yang hanya
menjanjikan angin surga belaka.
Jadi, sudah saatnya partai
politik Islam perlu tokoh pemersatu dengan program mencerdaskan dan
mensejahterakan umat untuk mewujudkan cita-cita Islam yang rahmatan lil
alamin. Umat Islam sekarang ini nampak sudah bosan dengan para makelar
politik, yang kerjanya memang mencari rezeki di lahan ini dengan “menjual
suara” pengikutnya. Dan tanpa malu untuk berkutu-loncat ke pihak yang
diperhitungkannya akan menang, dan ada pula yang kembali lagi ke partai asal
(bagaikan ingus) bila dianggapnya lebih menguntungkan. .
Berbenah diri untuk
membentuk citra baru
Pengamat politik LIPI, Prof.
Syamsudin Haris memprediksi keberadaan partai politik Islam akan tamat di
Pemilu 2014. Bisa saja bertahan, tapi akan segitu-segitunya saja.
Peluang PPP, PKB dan parpol Islam lainnya makin kecil bisa lolos ke Senayan,
apalagi kalau parliamentary threshold (PT) dinaikkan menjadi 5 persen
(Pelita, Jakarta, 21 November 2011). Menyadari ancaman seleksi alamiah pada
Pemilu 2014 mendatang, PPP kini mulai berbenah diri untuk menjadi “Rumah Besar”
Umat Islam, dengan membangun citra sebagai partai yang membuka diri. Tak mau
lagi tampak sebagai partai yang kolot, ortodoks atau tertutup (Kompas, 21
Januari 2012)
Melihat hasil Pemilu 2009 lalu,
posisi Parpol Islam mulai ditinggalkan konstituennya. Fenomena di atas, dapat
dibaca sebagai sikap umat Islam yang tidak mau menerima kehadiran gerbong
politik dengan latar belakang keagamaan yang tidak memberikan solusi kepada
umatnya. Dukungan terbesar umat Islam dari kelompok arus utama (Nahdliyin dan
Muhammadiyah) tidak diberikan kepada organisasi gerakan politik Islam yang
memperjuangkan diberlakukannya syariat Islam di wilayah publik. Nampak pengaruh
modernisasi, perubahan ekonomi, kemajuan pendidikan, urbanisasi, budaya luar
dan sejumlah faktor lain yang terus meningkat telah mengubah kepentingan
politik umat Islam.
Dengan orientasi politik umat
Islam lebih bersifat plural, sebagai pengaruh proses modernisasi masyarakat,
sehingga tingkat loyalitas para partisan parpol Islam pun menurun. Karena itu,
mengarahkan afiliasi politik umat Islam ke dalam partai Islam menjadi sulit
terwujud. Mereka justru lebih banyak menyebar ke partai sekuler; seperti Partai
Demokrat, Partai Golkar, PDI-P, Partai Hanura, dan Partai Gerindra yang
mendasarkan platform dan program yang relevan dengan keseharian.
Tingkat loyalitas para partisan parpol Islam telah semakin mengalami penurunan,
sehingga prospek partai-partai Islam diperkirakan akan terus terpuruk dalam
pemilu-pemilu mendatang.
Walaupun demikian, kecenderungan
lain lebih dipicu oleh gagalnya Islam politik dalam melakukan adaptasi dan
reorientasi konsep politik mereka sesuai dengan perubahan sosial yang terjadi.
Ditambah lagi dengan nafsu berkuasa yang seringkali lebih ditonjolkan politisi
partai Islam, telah menjadi boomerang menghancurkan bangunan ideal
partai yang semula dibangun sebagai wadah memperjuangkan kepentingan umat.
Untuk memperbaikinya, para pimpinan partai seyogyanya menyajikan kemungkinan
lain bagi penilaian publik terhadap keberadaan mereka yang tidak hanya sekadar
mengejar kekuasaan. Karena itu, menjadi tantangan berat bagi kader dan pimpinan
Partai Ka’bah untuk mengejar obsesi yang ingin menjadikan PPP sebagai rumah
besar untuk menampung kepentingan politik Islam di Republik ini.
Walaupun PPP mempunyai strategi
jempol sebagai “rumah besar” umat yang dicanangkan Suryadharma Ali dengan
menggarap massa NU yang tidak begitu tertarik dengan PKB, namun menurut
pandangan Kacung Marijan, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga, Surabaya, tidak mudah untuk menarik kembali warga NU
yang sudah berubah secara lebih rasional dan pragmatis (Kompas, 17 Januari
2012). Bahkan, PAN yang berbasis Muhammadiyah pun ikut membidik basis NU Jawa
Timur untuk mendapatkan perolehan suara dua digit dalam Pemilu 2014 (Seputar
Indonesia, 29 April 2012). Belum lagi usaha PKB untuk mempertahankan ‘miliknya’
dari gerogotan pesaingnya. Akankah berakhir cerita PPP setelah Pemilu 2014
nanti?