Oleh:
Sabam Leo Batubara*
Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi, atas nama Pemerintah RI, telah menyampaikan RUU
Pemilihan Kepala Daerah ke DPR.Isinya,gubernur nantinya tidak lagi dipilih
langsung oleh rakyat, tapi oleh DPRD.
Menurut
Mendagri, perubahan itu akan meminimalkan korupsi dan konflik seusai pemilihan.
Usul perubahan itu disambut oleh jaringan pendukungnya. Dalam pembahasan RUU
Pilkada di Komisi II DPR (6 Juli 2012) usulperubahan–gubernur kembali dipilih
oleh DPRD– didukung oleh Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia
(ADPSI),Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI),Asosiasi DPRD
Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI),
Asosiasi
Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi DPRD Kota Seluruh
Indonesia (ADEKSI), dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI).
Bahkan ADKASI mengusulkan agar seluruh jenjang mulai dari gubernur hingga
bupati/wali kota tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, tapi oleh
DPRD.Diperkirakan 560 anggota DPR akan menyetujui RUU Pilkada tersebut dengan
segera, karena akan memperkuat kekuasaan oligarki anggota Dewan dan parpol
pengusungnya.
Tolak Tirani Penguasa
Kenapa
rencana Mendagri itu harus ditolak? Pertama, karena bertentangan dengan
keinginan rakyat atas perubahan. Konflik tentang siapa yang berdaulat dalam
penyelenggaraan negara sudah terjadi sejak lama. Kendati menurut UUD 1945
kedaulatan berada di tangan rakyat, tapi di era Orde Lama dan Orde Baru dalam
pemilihan presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah yang
berdaulatadalahpenguasa rezim.
Rakyat
hanya ditempatkan sekadar bystander,bahkan sekadar burung beo yang harus
mengamini semua penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa. Hasilnya, rakyat
menderita dan penguasa rezim terpuruk. Tumbangnya rezim Orde Baru mendorong
kebangkitan rakyat menuntut perubahan, agar kebijakan penguasa rezim yang
membodohi rakyat diakhiri.
Gerakan
reformasi merespons. Amendemen konstitusi dalam berbagai pasal mereduksi kekuasaan
legislatif dan eksekutif dan memperkuat kedaulatan rakyat.Undang-undang
turunannya menetapkan sejak 2004 pemilu legislatif langsung oleh rakyat dan
pemilihan presiden juga langsung oleh rakyat. Berdasarkan UU Nomor 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat
dan berlaku efektif sejak 1 Juni 2005.
Kenapa
kedaulatan rakyat untuk dapat memilih langsung siapa gubernur di daerahnya baru
berjalan tujuh tahun sudah harus dicabut? Tidakkah hal itu isyarat berahi tirani
eksekutif dan tirani legislatif masih merupakan bahaya laten? Kedua, langkah
mundur Mendagri tersebut jika tidak dapat dihentikan bukan tidak mungkin
menjadi langkah awal kembali ke paradigma rezim Orde Baru.
Langkah
berikutnya bupati dan wali kota kembali dipilih oleh DPRD. Karena elite bangsa
kita dikenal tidak bertradisi menaati sistem dan negara terkesan
diselenggarakan tanpa kepastian politik dan hukum, DPR/ MPR dapat saja
mengamendemen konstitusi agar presiden kembali dipilih MPR. Ketiga, konsep gubernur
dipilih DPRD akan kembali menempatkan rakyat sekadar “burung beo”.Apa yang
terjadi dengan Pilkada DKI Jakarta 11 Juli 2012 menjadi pelajaran berharga.
Dibolehkannya
calon independen oleh undangundang memberi kesempatan bagi Faisal Basri-Biem
Benjamin— tokoh yang dikenal sebagai jujur, bersih, memiliki integritas dan
outspoken—memaksa partai-partai politik untuk dapat mengalahkan calon incumbent
Fauzi Bowo merekrut calonnya yang terbaik.PKS mencalonkan Hidayat Nur
Wahid-Didik J Rachbini. Golkar, PPP,PDS menjagokan Alex Noerdin-Nono Sampono.
PDIP,
Gerindra mencalonkan Joko Widodo-Basuki Tjahaja. Menjelang hari pemilihan 11
Juli, lima lembaga survei Indo Barometer,Sugeng Sarjadi School of
Government,Lingkaran Survei Indonesia, Puskaptis dan Jaringan Suara Indonesia
merilis hasil surveinya, Foke- Nara akan memenangkan suara pemilih,
masing-masing sebesar 36,6%,26,6%,43,7%,47,2% dan 49,6%.Sementara Jokowi- Ahok
akan meraih masingmasing 17,9%, 25,5%, 14,4%, 15,2% dan 15,8%.
Terpengaruh
oleh hasil survei itu Foke-Nara yakin akan menang dalam satu putaran pemilihan.
Namun,warga Jakarta berhasil mempertontonkan perubahan. Mereka terbukti telah
matang dan fair.Pemilih tampil cerdas.Ketika quick count merilis hasil
pemilihan: Jokowi- Ahok meraih 42,59% suara, Foke-Nara 34,32%, Hidayat- Didik
11,40%,Faisal-Benjamin 5, 07%, Alex-Nono 4,74% dan Hendardji-Riza 1,88%.
Pemilihan usai dan sama sekali tidak ada sengketa.
Kendati,
hasil survei lima lembaga survei terkesan pro Foke, iklan kampanye Foke dan
Alex mendominasi, dan Jokowi-Ahok diberondong black-campaign ber-muatan
SARA,ternyata 43% rakyat pemilih percaya bahwa performa Jokowi-Ahok sebagai
“bature”rakyat akan membawa Jakarta menuju perubahan yang lebih baik. Keempat,
usul perubahan pemerintah tersebut berpotensi menyentralisasikan korupsi.
Pilkada tidak dapat dimungkiri berbiaya besar.
Misalnya,
pemilihan Gubernur Jateng Mei 2013 bersumber APBD menganggarkan Rp900 miliar.
Biaya seorang calon gubernur ditaksir antara Rp10 miliar-100 miliar.Sisi
negatif dari pemilihan gubernur seperti itu selain menghabiskan triliunan
rupiah juga menimbulkan ekses seperti jual beli suara, dan mendorong korupsi.
Untuk
mengembalikan pinjaman calon gubernur terpilih terpaksa menenderkan jabatan dan
meminta komisi dari proyek-proyek yang ada. Segi positifnya, sebagian besar
dana tersebut terdistribusi merata untuk pembuatan kartu pemilih, pembelian
kertas suara, kotak suara, tinta, biaya transportasi, tim sukses, sukarelawan,
lembaga survei, iklan kampanye di media massa dan media luar ruang seperti
baliho,spanduk,stiker, dan honor untuk peserta talkshows di media televisi dan
radio, bantuan untuk lembaga agama dan sosial lainnya.
Segi
positif lainnya yang tidak boleh dilupakan, dana besar itu juga bagian dari
biaya politik untuk mengedukasi para politisi untuk menjadi bersih,fairdan
matang berdemokrasi, dan membantu pencerdasan warga untuk semakin cerdas
menggunakan hak-hak sipilnya. Apa sisi positif dan negatifnya jika gubernur
dipilih DPRD? Positifnya, biaya dari triliunan rupiah dapat ditekan menjadi
misalnya Rp300 miliar.
Semua
puluhan kegiatan seperti dikemukakan di atas tidak diperlukan lagi. Urusan
pemilihan hanya melibatkan 9 parpol dan fraksinya di DPRD. Negatifnya,dana
Rp300 miliar tersebut cukup dibagikan kepada 50% anggota DPRD masing-masing
sebesar Rp2 miliar dan sisanya sekitar Rp200 miliar menjadi biaya rental kepada
beberapa parpol pengusung.
Sejarah
pasti akan berulang kembali. Pemilihan presiden, anggota legislatif dan kepala
daerah di era Orde Baru berbiaya minim, efisien dan efektif.Korupsi
terkonsentrasi di pusat-pusat kekuasaan. Akhirnya penguasa rezim tumbang,
setelah rakyat terlebih dulu marah, mengamuk dan membakar.Apa daur (sequence)
seperti itu yang diinginkan?
Referendum
Dari
uraian di atas tersimpul sebagai berikut. Jika pemerintah dan DPR ingin
meminimalkan korupsi dalam penyelenggaraan pilkada dan meniadakan terjadinya
sengketa usai pemilihan, apakah solusinya harus dengan mencabut kedaulatan
rakyat untuk memilih langsung gubernurnya? Atau justru memberdayakan penyelenggaraan
pilkada gubernur langsung dipilih rakyat dengan membantu rakyat agar semakin
cerdas menggunakan hak-hak sipilnya dan mengedukasi para politisi untuk tampil
matang, fair, dan bersih?
Prestasi
DKI Jakarta dalam Pilkada 11 Juli 2012 yang menampilkan semua parpol dan enam
pasang calon gubernur dan wakilnya bersikap matang dan fair,dan warga pemilih
tampil cerdas,serta usai pemilihan sama sekali tanpa sengketa, semestinya
menjadi contoh untuk diteladani, bukan untuk dinegasikan.
Namun,
kalau pemerintah dan DPR masih ngotot agar gubernur dipilih DPRD dan tidak lagi
langsung oleh rakyat,maka berdasarkan paradigma demokrasi semestinya pemerintah
dan DPR langsung meminta kekuasaan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan
dalam suatu referendum.Tanpa itu, putusan pemerintah dan DPR bahwa gubernur
kembali dipilih DPRD adalah langkah awal menuju tirani eksekutif dan tirani
legislatif. (Sumber: Seputar Indonesia, 2 Agustus 2012).