Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dirilis Oktober 2007 menjelang tiga tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK), terjadi perubahan persepsi publik yang signifikan. Ketika dilantik pada Oktober 2004, Presiden Yudhoyono memperoleh tingkat kepuasan publik sangat tinggi, di atas 80%. Tiga tahun kemudian, tingkat kepuasan publik jatuh pada titik terendah 35,3%. Dalam waktu tiga tahun, tingkat kepuasan atas presiden pertama hasil pemilihan langsung itu merosot sekitar 45%. Sungguh mencengangkan!
Mengapa persepsi publik begitu mudah berbalik? Dari hasil survei, kata Direktur Eksekutif LSI, Denny JA, ada empat alasan mendasar. Pertama, kekecewaan atas kinerja bidang ekonomi. Responden kecewa dengan kondisi ekonomi secara umum. Responden juga kecewa dengan penanganan pengangguran dan kemiskinan.
Kedua, program primadona, yakni pemberantasan korupsi dinilai mengalami degradasi. Bahkan, muncul penilaian program itu masih tetap tebang pilih. Ketiga, publik mulai meragukan kemampuan Presiden menyelesaikan masalah bangsa. Keempat, muncul jarak antara harapan dan kenyataan.
Ketika terpilih, rakyat sangat berharap ada perubahan. Tetapi belakangan, 63,7% responden menyatakan SBY tidak seperti yang dulu diharapkan. Beberapa survei setelah itu pun menunjukkan hasil yang tak terlalu jauh berbeda. Misalnya, hasil survei Indo Barometer pada Juni 2008 menunjukkan tingkat popularitas SBY hanya 20,7% dan CSIS (Juli 2008) sebesar 14,7% . Tetapi belakangan, popularitas SBY mulai meningkat, seperti hasil survei Cirrus pada November 2008 yang mencapai 36,99% dan Indo Barometer pada Desember 2008 mencatat 38,1%.
Meski belakangan popularitas Yudhoyono kembali meningkat, tetapi kekecewaan demi kekecewaan yang terakumulasi membuat berbagai kalangan tetap menghendaki adanya perubahan kepemimpinan nasional. Bahkan jauh sebelum itu, para elite politik yang berjaya pada masa Orde Baru, tetapi kalah bersaing dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2004, telah menyiapkan kendaraan politik menuju pertarungan Pilpres 2009. Sebut saja Wiranto yang membentuk Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Prabowo dengan Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Di luar kedua nama itu, ada sejumlah tokoh non-partai politik yang mulai menyusun kekuatan. Sebut saja nama Fadjroel Rahman, Rizal Mallarangeng, dan Rizal Ramli. Kalau Fadjroel dan Rizal Ramli masih tetap bersemangat, Rizal Mallarangeng justru mundur teratur. Di luar nama-nama di atas, masih ada Megawati Soekarnoputri yang ingin membalas kekalahan saat Pilpres 2004, Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan tingkat popularitas yang terus menanjak, serta Yuddy Chrisnandi, tokoh muda yang mengundurkan diri dari calon anggota legislatif dan memilih meramaikan bursa capres.
Belakangan nama Sri Mulyani, Menteri Keuangan yang merangkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, disebut-sebut sangat pantas menjadi cawapres, bahkan capres. Penanganan perekonomian dalam negeri yang cool, sehingga gejolak perekonomian dunia bisa diantisipasi pemerintah, merupakan nilai lebih perempuan berusia 46 tahun ini.
Dari nama-nama di atas, berbagai survei menempatkan tiga tokoh berada di papan atas, yakni Susilo Bambang Yudhoyono yang bakal menginjak usia 60 tahun pada 2009, Megawati 62 tahun, dan Sri Sultan berusia 63 tahun. Akankah Indonesia tetap dipimpin tokoh berusia lebih dari setengah abad hingga 2014?
Sulit Tampil
Sejauh ini kita menilai pemimpin muda sulit tampil tahun depan. Meski demikian, tidak berarti pintu sudah tertutup sama sekali. Semua itu disebabkan aturan main yang memang sengaja dibuat untuk menguntungkan kaum tua. UU tentang Pilpres justru tidak mengakomodasi keinginan sebagian rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang fresh. Perkembangan perpolitikan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, justru jauh lebih progresif. UU tentang Pemerintah Daerah memungkinkan adanya calon gubernur, bupati, dan wali kota yang tidak diusung partai politik atau dikenal dengan calon independen. Bahkan di beberapa daerah, calon independen mampu mengalahkan calon yang diusung parpol. Hal itu membuktikan rakyat mulai jenuh dengan parpol yang selama ini memang kerap mengabaikan kepentingan rakyat. Calon independen memberi harapan baru pada rakyat.
Sayangnya, aturan progresif itu belum bisa diadopsi oleh UU Pilpres, dengan alasan UUD 1945 belum memungkinkan hal itu. Parahnya, aturan pengajuan capres pun dipersulit. Kalau dalam UU Pilpres 2004, disebutkan adanya batas minimal pengajuan capres-cawapres adalah 15 persen perolehan kursi DPR. Aturan itu belum dilaksanakan, tetapi malah diperberat dengan aturan 20 persen kursi atau 25 persen suara. Keputusan itu sebetulnya menunjukkan inkonsistensi DPR. Mereka mengizinkan parpol tumbuh bak jamur di musim hujan lewat UU tentang Partai Politik, tetapi membatasi hak parpol mengajukan capres. Hal itu membuktikan para politisi kita saat ini ternyata tidak memiliki visi politik yang memadai. Mereka belum mampu membuat peta jalan bagi perpolitikan Indonesia di masa mendatang. Mereka hanya terpaku mengamankan kepentingan politik pribadi dan kelompok dengan membuat aturan perundangan yang berusia seumur jagung. Kepentingan politik jangka pendek telah mendominasi pembuatan keputusan di lembaga pembuat undang-undang itu.
Terkait hal itulah sejumlah kalangan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan tujuan melonggarkan persyaratan pengajuan capres dan cawapres. Mengingat waktu yang semakin mepet, sulit diharapkan ada keputusan yang revolusioner untuk mengubah aturan tersebut. Artinya, Pilpres tahun depan maksimal hanya diikuti tiga pasang capres-cawapres. Lalu bagaimana nasib para pemimpin muda?
Tumbuhkan Harapan
Sejarah Indonesia membuktikan kaum muda memiliki peran sentral dalam setiap titik krusial perjalanan bangsa. Gerakan Boedi Oetomo, para pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928, dan desakan kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan, tercatat dalam lembar sejarah bangsa. Sukarno baru berusia 44 tahun ketika dipercaya menjadi presiden pertama dan Soeharto berumur 45 tahun saat meneruskan tongkat estafet kepemimpinan nasional. Kenyataan itu hendaknya membuat kaum muda tak patah arang. Harapan kaum muda untuk memimpin negeri ini senantiasa harus ditumbuhkan.
Saat ini cukup banyak generasi muda Indonesia yang brilian. Mereka tidak saja berkiprah di Tanah Air, tetapi telah merambah ke mancanegara. Di dunia bisnis, generasi muda telah mendapat kepercayaan yang luar biasa. Cukup banyak pebisnis berusia di bawah 50 tahun, bahkan 40 tahun, yang telah menikmati buah-buah kesuksesan. Sayangnya, fenomena itu belum banyak terlihat di jajaran birokrasi dan dunia politik. Kalangan birokrat dan politisi Indoensia masih didominasi kaum tua.
2009, hendaknya dijadikan momentum bagi kiprah kaum muda Indonesia. Kaum muda yang masuk jajaran pemerintahan harus mampu membuktikan diri bahwa mereka mampu menduduki jabatan-jabatan eselon dua dan satu. Bersamaan dengan itu, regenerasi politisi pun hendaknya mulai berlangsung. Para politisi gaek selayaknya turun panggung, diganti dengan politisi muda. Tak hanya itu, kabinet pun perlu diremajakan melalui pemunculan tokoh-tokoh muda berusia kurang dari 45 tahun. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan calon wakil presiden berasal dari kalangan berusia muda, seperti Sri Mulyani.
Kerinduan terhadap lahirnya para pemimpin muda hendaknya tidak ditafsirkan bahwa kita ingin menyingkirkan kaum sepuh. Kita menginginkan adanya regenerasi dalam berbagai bidang, termasuk bidang politik. Tidak perlu ada rivalitas di antara para sepuh dan kaum muda. Yang diperlukan adalah iklim yang kondusif bagi tumbuhnya bakat-bakat muda potensial untuk melanjutkan pembangunan di negeri ini. Iklim kondusif itu bisa diciptakan, antara lain dengan mengubah pasal-pasal dalam UU Pilpres yang mempersempit kiprah kaum muda, yakni syarat pengajuan capres-cawapres oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional. Bahkan, mengamendemen Pasal 6A UUD 1945, sehingga capres-cawapres independen pun bisa berlaga dalam pilpres, seperti halnya calon independen yang bertarung dalam pilkada.
Sekali lagi, kita terus mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin muda dan bila pada Pilpres 2009, keinginan itu belum terwujud, masih ada Pilpres 2014 dan kaum muda memiliki waktu lima tahun lagi menempa diri dan mematangkan kepribadian agar lebih pantas bertarung dalam Pilpres. Kalau Amerika Serikat baru saja memiliki Presiden Barack Obama berusia 47 tahun, bukan hal mustahil bagi Indonesia memiliki presiden berusia di bawah 50 tahun. Semoga.***