Bagaimana prospek Islam dalam Pemilu 2009 nanti? Ini adalah salah satu pertanyaan dari berbagai hal tentang Islam dan politik yang diajukan kepada saya dalam panel evaluasi 2007 dan prospek Indonesia 2008-2009, Desember lalu. Memang, tema-tema yang berkaitan dengan dinamika sosial-politik Islam di negeri ini tetap sangat penting, khususnya bagi kalangan asing, yang punya usaha atau ingin berinvestasi di Indonesia. Bagaimanapun, Islam atau tepatnya kaum Muslim Indonesia --terutama karena realitas demografis-- tetap merupakan salah satu faktor krusial dalam dinamika politik negara ini.
Tentu saja tidak mudah menjawab pertanyaan tentang masa depan politik Islam, tegasnya, parpol Islam, khususnya dalam konteks Pemilu 2009. Tetapi, dari berbagai realitas dan kecenderungan parpol Islam selama ini, kita agaknya dapat melihat ke arah mana parpol-parpol Islam bergerak yang bisa memengaruhi penampilan dan kinerja mereka dalam Pemilu 2009 nanti.
Tampaknya parpol yang berdasarkan Islam atau menjadikan umat Islam sebagai basisnya, sejauh ini tetap tidak memperlihatkan tanda-tanda kian menguat dan terkonsolidasi, sehingga dapat menampilkan kinerja lebih baik dalam pergumulan politik, khususnya Pemilu 2009. Parpol-parpol ini masih tetap bergumul dengan berbagai masalah internal, yang membuat hampir tidak mungkin bagi mereka berkembang menjadi parpol modern, kuat, dan mampu menarik massa.
Alasannya sederhana saja. Kebanyakan parpol Islam dan berbasiskan massa Muslim terus mengalami konflik dan perpecahan internal. Contoh paling jelas adalah PKB, yang meski berdasarkan Pancasila, berbasiskan massa NU. Mufaraqah sejumlah politisi dan kiai khos dari PKB yang berlanjut dengan terbentuknya PKNU tampaknya membuat warga Nahdliyin terus terbelah. Bukan tidak mungkin, PKNU berhasil menyedot konstituen PKB secara signifikan.
Konstituen Muhammadiyah juga kian terbelah, khususnya dengan peluncuran PMB di kota kelahiran Muhammadiyah, Yogyakarta, pada pertengahan Desember silam. Kemunculan PMB merupakan salah satu episode puncak dari kekecewaan kalangan Muhammadiyah terhadap PAN, yang gagal memuaskan aspirasi politik sebagian warga Muhammadiyah. Menjadi tanda tanya besar apakah PMB dapat berhasil, sementara PAN masih berada dalam transisi yang sulit dalam masa pasca-Amien Rais.
Lalu ada PPP dan PKS, yang kelihatannya relatif stabil. Keduanya tentu saja berusaha memperluas konstituennya, meski belum terlihat tanda-tanda meyakinkan. Dengan karakter konstituen masing-masing yang relatif sudah mapan, agaknya sulit bagi mereka memperluas massa secara signifikan.
Di luar itu, terdapat parpol Islam yang dalam Pemilu 2004 gagal mencapai electoral threshold tiga persen. Parpol ini, PBB, misalnya, hanya membalikkan kepanjangan namanya dari Partai Bulan Bintang menjadi Partai Bintang Bulan agar dapat terdaftar di Depkumham dan akhirnya bisa ikut Pemilu 2009 bersama sangat banyak parpol lama dan baru.
Mengamati perkembangan dan tendensi yang ada, jelas parpol Islam dan berbasiskan massa Muslim masih sangat fragmented. Dan ini seolah sudah menjadi pola sejarah dalam politik Indonesia sejak Pemilu 1955. Parpol-parpol Islam tampaknya hanya bisa bersatu melalui pemaksaan fusi yang dilakukan rezim Soeharto yang melahirkan PPP sebagai satu-satunya partai berbasiskan Islam sepanjang masa Orde Baru yang bertarung dengan dua partai lainnya, Golkar dan PDI.
Tetapi, pola itu kembali muncul dalam masa pasca-Soeharto, yang menyaksikan demikian banyak parpol Islam yang ikut dalam Pemilu 1999 dan 2004. Tetapi, dalam dua Pemilu tersebut, parpol-parpol Islam gagal mendapatkan suara secara signifikan, yang memungkinkan mereka untuk memainkan peran lebih besar dalam pergumulan politik Indonesia. Dengan fragmentasi yang terus berlangsung sekarang ini, sulit diharapkan mereka dapat mencapai peningkatan suara dalam Pemilu 2009 nanti.
Jika parpol-parpol Islam ingin memainkan peran lebih berarti, tidak ada alternatif lain kecuali mencoba melakukan fusi dan merger. Hal ini dapat dilakukan di antara kelompok parpol-parpol yang memiliki kecenderungan ideologi dan pemahaman keagamaan yang sama; katakan dengan meminjam tipologi klasik, 'tradisionalis' dan 'modernis'.
Proliferasi parpol-parpol Islam atau berbasiskan massa Muslim bukan hanya tidak menguntungkan umat Islam, tetapi juga bangsa dan negara. Ini juga berlaku bagi parpol-parpol lain, baik yang berdasarkan agama lain maupun berasaskan Pancasila. Jika kita dapat mengurangi jumlah parpol menjadi lebih masuk akal --katakanlah lima sampai tujuh parpol saja-- maka itu dapat membuat dinamika politik lebih sehat dan kondusif untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, bukan hanya kemelimpahruahan (affluency) para politisi. (Azyumardi Azra, Pengamat Politik).