Oleh: Ahmad Yani*
Persetujuan bersama pemerintah
dan DPR atas Undang-Undang Pemilu Anggota DPR,DPD,dan DPRD telah mendekatkan
bangsa Indonesia kepada perbaikan kualitas sistem, pelaku, dan perilaku politik
kita.
Meskipun substansi danrumusannya
tidak sempurna, UUPemiluinilebihbaikdaripada undang-undang sebelumnya sehingga
diyakini pelaksanaan Pemilu 2014 pun akan lebih baik. Sebagian orang menilai
sebaliknya. UU Pemilu dianggap tidak mampu mendorong penyederhanaan parpol
seperti ditulis Jeffrie Geovanie di harian ini (SINDO,17/4). Alasannya ambang
batas parlemen sebesar 3,5% dinilai terlalu rendah sehingga akan terlalu banyak
parpol yang mampu mengumpulkan suara dan duduk di parlemen. Sebaliknya,
pemimpin beberapa partai dan pengamat politik justru berpendapat lain.
Mereka menilai ambang batas 3,5%
yang tercantum dalam Pasal 208 UU Pemilu adalah terlalu tinggi. Selain itu,
karena diterapkan secara nasional,itu dianggap mematikan potensi lokal dan
keragaman pendapat antardaerah. Materi lain yang diuji masyarakat adalah soal
status partai politik sebagai peserta pemilu. Dalam Pasal 8 ayat 1 UU Pemilu
dinyatakan: “Partai politik peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi
ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan
sebagai partai politik peserta pemilu pada pemilu berikutnya”.
Sejujurnya ambang batas parlemen
yang idealadalah nol persen. Sebab tidak boleh ada suara rakyat (pemilih) yang
tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR/DPRD hanya karena jumlah total
perolehan suara sah secara nasional suatu peserta pemilu tidak mencapai besaran
tertentu. Apalagi, pemilu kita menganut sistem proporsional terbuka. Jika ada
ambang batas, akan terdapat sejumlah suara pemilih yang tidak dapat dikonversi
menjadi kursi DPR/ DPRD sehingga kesamaan kedudukan setiap warga negara menjadi
terabaikan.
Semakin tinggi angka ambang batas, semakin banyak warga negara yang terdiskriminasi. Selain itu, ambang batas parlemen juga akan mengakibatkan ada selisih persentase perolehan suara dengan persentase perolehan kursi DPR/DPRD. Jumlahnya akan semakin besar dengan meningkatnya angka ambang batas. Halini berarti akan meningkatkan disproporsionalitas atau ketidaksesuaian dan ketidaksamaan antarpeserta pemilu dan antarwarga negara. Ambang batas nol persen juga dapat dimaknai sebagai upaya menjaga prinsip Bhinneka Tunggal Ika: walau berbeda-beda, bersatu jua.
Semakin tinggi angka ambang batas, semakin banyak warga negara yang terdiskriminasi. Selain itu, ambang batas parlemen juga akan mengakibatkan ada selisih persentase perolehan suara dengan persentase perolehan kursi DPR/DPRD. Jumlahnya akan semakin besar dengan meningkatnya angka ambang batas. Halini berarti akan meningkatkan disproporsionalitas atau ketidaksesuaian dan ketidaksamaan antarpeserta pemilu dan antarwarga negara. Ambang batas nol persen juga dapat dimaknai sebagai upaya menjaga prinsip Bhinneka Tunggal Ika: walau berbeda-beda, bersatu jua.
Semua golongan, suku, dan latar
belakang diwadahi dalam pemilu secara setara dan adil. N a mu n , bagaimanapun
penetapan ambang batas parlemen berada di ruang politik, bukan
akademis-ilmiahnormatif. Ada kompromi dan akomodasi terhadap semuaperbedaan
pendapat.Apalagi dapat dipahami ambang batas parlemen 3,5% dinilai sebagai
ikhtiar mencegah terbentuknya pemerintahan yang tidak didukung oleh parlemen
terkait syarat pengajuan bakal calon presiden/ wapres oleh partai atau gabungan
partai. Namun, Mahkamah Konstitusi kiranya dapat mengambil putusan terbaik
ketika ada warga negara yang menguji materi ambang batas parlemen.
Pemberlakuannya secara nasional
hingga ke tingkat DPRD adalah wujud sebagai negara kesatuan hukum. Prinsip
negara hukum dalam negara kesatuan itu pula yang mendasari pilihan untuk
memakai satu aturan ambang batas parlemen yang berlaku nasional. Pilihan
pemberlakuan ambang batas berjenjang seperti PT nasional 3,5%, PT untuk DPRD
provinsi 4%, dan seterusnya, akan menghadirkan ketidakseragaman yang tidak
dikenal dalam prinsip negara kesatuan.
Efektivitas
Namun, saya sependapat dengan Jeffrie bahwa efektivitas kerja di parlemen dan pemerintahan harus ditingkatkan. Namun, caranya tidaklah dengan menetapkan angka PT yang sangat tinggi. Itu sama saja dengan menghanguskan jutaan suara rakyat, padahal PT 2,5% saja telah menghanguskan sekitar 19 juta suara pemilih. Upaya penguatan parlemen yang lebih baik adalah dengan perubahan syarat pembentukan fraksi.
Namun, saya sependapat dengan Jeffrie bahwa efektivitas kerja di parlemen dan pemerintahan harus ditingkatkan. Namun, caranya tidaklah dengan menetapkan angka PT yang sangat tinggi. Itu sama saja dengan menghanguskan jutaan suara rakyat, padahal PT 2,5% saja telah menghanguskan sekitar 19 juta suara pemilih. Upaya penguatan parlemen yang lebih baik adalah dengan perubahan syarat pembentukan fraksi.
Saat ini setiap partai yang lolos
ke parlemen dapat membentuk fraksi (UU No 27/2009 Pasal 80 ayat 4).Ide saya adalah
meningkatkanpersyaratan jumlah kursi minimal semisal 150 kursi.Saya rasa bukan
ide yang buruk jika DPR nanti hanya terdiri atas tiga fraksi yakni fraksi
pendukung pemerintah, fraksi oposisi,dan fraksi poros tengah (swing faction).
Sudah tentu akan terjadi prokontra, namun kehendak untuk mengurangi jumlah
fraksi dan menambah anggota tiap fraksi adalah keniscayaanuntukmengefektifkan
kerja parlemen. Dengan demikian, pada satu sisi tujuan representasi rakyat
tetap terpenuhi karena mereka yang terpilih dapat duduk di DPR/DPRD, namun pada
sisi lain tujuan penguatan parlemen dan nanti pemerintahan juga dapat tercapai
karena keputusan diambil secara lebih mudah dan didukung fraksi-fraksi
beranggota banyak.
Aspirasi rakyat dan partai juga
tidak hilang karena dapat disampaikan dalam rapat- rapat pleno fraksi
masingmasing. Namun, begitu fraksi telah memutuskan, seluruh anggota fraksi
yang bisa jadi dari beberapa partai tersebut harus kompak. Di samping itu,
perlu pula restrukturisasi komisi dan alat kelengkapan DPR. Jumlah komisi cukup
tiga yang disesuaikan dengan fungsi-fungsi parlemen yakni komisi legislasi,
komisi anggaran, dan komisi pengawasan. Pada tiap-tiap komisi dibentuk
subkomisi sesuai bidang pembangunan seperti subkomisi pertahanan, subkomisi
keamanan, subkomisi hukum, dan sebagainya.
Untuk itu, semua perlu dilakukan
perubahan UU No 27/2009. Namun,upaya pembentukan pemerintahan yang kuat juga
harus dilengkapi dengan perbaikan UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kita
bahkan perlu mempertimbangkan ada UU Lembaga Kepresidenan karena presiden
adalah satu-satunya lembaga negara yang belum diatur dengan undang-undang
tersendiri. Di samping itu, kapabilitas, integritas, visi misi, program kerja,
dan determinasi seorang presiden menentukan pencapaian suatu pemerintahan.
Mengenai Pasal 8 ayat 1 soal
lolosnya partai peserta pemilu yang mencapai ambang batas parlemen pada Pemilu
2009 sebagai peserta pemilu 2014 adalah karena kenyataan mereka telah dipilih
oleh sekurangkurangnya 2,5% suara sah secara nasional. Jumlah sebesar itu tidak
mungkin diperoleh jika partai-partai tersebut tidak mengakar, memiliki
kepengurusan dan simpatisan di seluruh wilayah Indonesia.
Demi menghormati suara rakyat dan
kedaulatan pemilih serta efisiensianggarannegara, sembilan partai tersebut
diloloskan.Andai pun diverifikasi ulang,mereka tetap lolos. Lebih baik biaya
triliunan rupiah dialokasikan bagi rakyat miskin,pembangunan infrastruktur
perdesaan,dan pengembangan ekonomi umat.
Meskipun tidak sempurna, UU
Pemilu telah mendorong partisipasi politik lebih tinggi dari setiap warga
negara yang memenuhi syarat memilih.
Para penyusun UU Pemilu telah
berupaya maksimal untuk menutup setiap celah kemungkinan seorang warga negara
kehilangan hak pilih karena persoalan administratif, baik dengan mempercepat
pelaksanaan tahapan pemilu maupun menambah instrumen penjamin kedaulatan
pemilih. Sekurang-kurangnya terdapat tujuh lapis atau tujuh instrumen pemilu
untuk menjamin pelaksanaan kedaulatan pemilih.
Pertama, data kependudukan yang
berasal dari data agregat kependudukan per kecamatan yang harus tersedia 16
bulan sebelum hari pemungutan suara, data penduduk potensial pemilih pemilu,dan
data WNI di luar negeri. Kedua, pendaftaran pemilih.Ketiga, pemutakhiran data
pemilih. Keempat, penyusunan daftar pemilih sementara,termasuk dua kali perbaikan
daftar pemilih sementara.
Kelima, penyusunan dan
rekapitulasi daftar pemilih tetap,termasuk daftar pemilih bagi pemilih di luar
negeri. Keenam, daftar pemilih tambahan bagi mereka yang terdaftar dalam daftar
pemilih tetap,tetapi memilih di TPS lain.Ketujuh,pemilih yang tidak terdaftar
pada daftar pemilih tetap atau daftar pemilih tambahan dapat memberikan suara
dengan kartu tanda penduduk atau paspor. Selain mempercepat tahapan pemilu
melalui data kependudukan, UU Pemilu juga mengamanatkan percepatan tahapan
pemilu agar mutunya lebih baik melalui penetapan partai peserta pemilu lebih
awal dan pengajuan bakal calon anggota DPR/DPRD.
Pemeriksaan kelengkapan dan
kebenaran persyaratan partai sebagai peserta pemilu harus selesai
selambat-lambatnya 15 bulan sebelum hari pemungutan suara. Dengan demikian,
penetapan partai politik peserta pemilu juga diharapkan berada pada kisaran
waktu tersebut. Pengajuan daftar calon anggota DPR/DPRD juga dipercepat menjadi
12 bulan sebelum hari pemilu.Namun, diperlukan waktu yang lebih banyak bagi
KPU/KPU provinsi/ kabupaten/kota untuk memverifikasi kelengkapan dan kebenaran
persyaratan tiap bakal calon anggota legislatif setiap partai di semua
tingkatan.
Pada pemilu sebelumnya alokasi
waktu diberikan sekitar tiga bulan sehingga dirasa tidak memadai bagi KPU/KPU
daerah untuk memeriksa semua berkas secara akurat. Akibatnya, tidak sedikit
kasus anggota DPR/ DPRD yang lolos meski ijazah atau berkas lainnya tidak
memenuhi syarat.Diharapkan untuk Pemilu 2014 KPU/KPU daerah mempunyai waktu
sekitar enam bulan sehingga dapat menetapkan dan mengumumkan daftar calon
anggota DPR/DPRD sekitar enam bulan sebelum hari pemungutan suara.
Sungguhpun penetapan daftar calon
tetap anggota DPR/DPRD baru dilakukan enam bulan sebelum pemilu atau sama
dengan pelaksanaan Pemilu 2009, karena diajukan dua belas bulan sebelumnya,
rakyat mempunyai waktu lebih panjang untuk menilai mereka.Termasuk kesempatan
memberi masukan kepada partai dan KPU/KPU daerah sekiranya terdapat persoalan
khusus seperti ijazah, latar belakang narapidana, pelanggaran etika dan moral.
Pada sisi lain, setiap bakal
calon anggota legislatif juga mempunyai waktu lebih banyak untuk
menyosialisasikan partainya dan dirinya, termasuk visi misi, program, dan
kemungkinan kontrak politik yang bisa disusun antara dirinya dan konstituen
(daerah pemilihan). Hal ini akan meningkatkan derajat representasi setiap calon
wakil rakyat serta menaikkan kinerja artikulasi anggota Dewan setelah terpilih.
Selain itu, rakyat dapat lebih
mudah mengenali setiap calon anggota legislatif, terutama visi misi dan
programnya, serta tidak sekadar mengenal nama dan foto mereka. Akibatnya, para
caleg tidak hanya bisa dikenal lewat program bantuan sosial saja.Pada akhirnya,
ini akan dapat meningkatkan kualitas pemilu dan parlemen.
Proporsional Terbuka
Upaya meningkatkan representasi
dan fungsi artikulasi parlemen inilah yang mendasari putusan pemerintah untuk
tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka. Sistem inilah yang memberikan
keleluasaan kepada rakyat untuk menentukan siapa yang paling pantas
mewakilinya. Sistem ini tidak menafikan peran partai karena para calon anggota
legislatif disusun sepenuhnya oleh partai.
Meski begitu, selama tahap
pengajuan daftar calon anggota legislatif hingga penetapan daftar calon tetap,
partai dapat memperbaiki daftar antara lain berdasarkan masukan rakyat. Upaya
mempertahankan sistem proporsional juga dijalankan dengan tidak diubahnya
besaran alokasi kursi,yakni 3–10 kursi untuk DPR RI, dan 3–12 kursi untuk DPRD.
Bahkan, dalam lampiran UU Pemilu terlihat tidak ada perubahan jumlah daerah
pemilihan (dapil), yaitu 77 dapil.
Guna memenuhi Pasal 22 ayat 4,
pemerintah dan DPR sepakat memasukkan 26 kabupaten/ kota hasil pemekaran yang
belum dimasukkan dalam Lampiran UU Pemilu No 10/2008 seperti Kota Gunung Sitoli
untuk dapil Sumatera Utara II, Kabupaten Kepulauan Meranti untuk dapil Riau
I,Kabupaten Mesuji untuk dapil Lampung II, dan Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten
Maybrat untuk dapil Papua Barat. Bila alokasi kursi diperkecil, seperti menjadi
3–6 atau 3–8, sistem pemilu akan menjadi tidak proporsional.
Mereka yang terpilih kebanyakan hanya karena mendapat limpahan suara secara tidak langsung akibat beberapa partai tidak memperoleh kursi karena terlalu sedikitnya alokasi kursi tiap-tiap dapil. Semakin sedikit alokasi kursi, akan semakin tidak proporsional sistem pemilu tersebut. Dengan demikian, sistem distrik yang berprinsip “the winner takes all”di mana partai peraih suara terbanyak di suatu dapil akan merebut semua kursi adalah bertentangan dengan sistem proporsional yang dianut UUD RI Tahun 1945.
Mereka yang terpilih kebanyakan hanya karena mendapat limpahan suara secara tidak langsung akibat beberapa partai tidak memperoleh kursi karena terlalu sedikitnya alokasi kursi tiap-tiap dapil. Semakin sedikit alokasi kursi, akan semakin tidak proporsional sistem pemilu tersebut. Dengan demikian, sistem distrik yang berprinsip “the winner takes all”di mana partai peraih suara terbanyak di suatu dapil akan merebut semua kursi adalah bertentangan dengan sistem proporsional yang dianut UUD RI Tahun 1945.
Akan halnya penentuan pembagian
kursi, yang terbaik dan paling mampu memberikan keadilan dan mendekati prinsip
proporsional terbuka adalah sistem pembagian sisa kursi berdasarkan sisa suara
terbanyak yang pernah diterapkan dalam Pemilu 2004. Pada pemilu saat itu,tidak
ada kasus sengketa pemilu terkait penetapan kursi.Hal ini karena sistem yang
juga disebut “the last remainder method” atau sistem kuota Hare, ini mudah
dipahami oleh banyak orang, termasuk yang hanya berpendidikan dasar sekalipun.
Hal ini akan memudahkan setiap
orang mengontrol pelaksanaan pemilu serta memperkecil ruang untuk melakukan
manipulasi dan penyimpangan. Semakin mudah dan sederhana suatu sistem, semakin
baiklah pelaksanaannya dan semakin sedikitlah kemungkinan rekayasanya. Hal itu
berbeda dengan sistem divisor, apakah itu subvarian d’Hondt,Wesbter, dan
sebagainya. Varian Webster misalnya yang diusulkan oleh sebagian kawan-kawan
anggota DPR mempunyai kelemahan mendasar.
Oleh karena bilangan pembaginya
adalah bilangan berangka ganjil,hasil baginya hampir selalu bilangan
pecahan.Akibatnya,dibutuhkan simulasi pembagian untuk menghasilkan bilangan
bulat. Hal ini dapat mengundang potensi kecurigaan dan kemungkinan rekayasa,
terutama di tingkat kabupaten/ kota karena tidak pastinya bilangan pembagi yang
ditetapkan. Bisa saja seseorang dari suatu partai menghitung dengan bilangan
ganjil tertentu dan hasilnya dia dapat kursi, tetapi dengan penghitungan
bilangan ganjil yang lain hasilnya akan berbeda.
Apa pun,varian Webster ini akan
terpaksa memakai sisa suara untuk menentukan alokasi kursi, terutama jika
daerah pemilihan mengalokasikan kursi lebih dari 5 kursi.Padahal, kita sudah sepakat
alokasi kursi DPR RI adalah 3–10 kursi dan 3–12 kursi untuk DPRD.Artinya,
sebagian kursi akan dibagikan berdasarkan sisa suara terbanyak. Jadi, varian
ini tidak konsisten dan mengundang potensi konflik. Mengenai calon anggota
legislatif, UU Pemilu tetap memberikan langkah afirmatif bagi kaum perempuan.
Para politikus perempuan
mendapatkan kesempatan lebih besar,mulai dari alokasi minimal untuk
kepengurusan partai hingga daftar calon yang harus memuat minimal satu calon
perempuan dari setiap tiga calon.Namun,keadilan harus tetap ditegakkan sehingga
para politikus perempuan tetap harus berjuang meyakinkan rakyat agar dipilih.
Akhirnya, UU Pemilu adalah produk politik yang harus memerhatikan realitas
politik dan dinamika aspirasi rakyat.
Sekalipun demikian, UU Pemilu,
sebagaimana undangundang lainnya dibuat oleh pemerintah dan DPR dengan selalu
merujuk pada konstitusi. (Sindo, 18 Mei 2012)
* Wakil Ketua FPPP DPR RI/Mantan Anggota Pansus RUU
Pemilu.