PENGUMUMAN: Dibuka pendaftaran bakal calon anggota DPRD Kabupaten Tegal, mulai 1 Januari s/d 28 Februari 2013. Info: Hubungi DPC PPP Kabupaten Tegal, telp.(0283)3275717 | Eko Mahendra Ridho

Follow Us

HEADLINE NEWS

Menguji Materi UU Pemilu

18 Mei 2012


Oleh: Ahmad Yani*

Persetujuan bersama pemerintah dan DPR atas Undang-Undang Pemilu Anggota DPR,DPD,dan DPRD telah mendekatkan bangsa Indonesia kepada perbaikan kualitas sistem, pelaku, dan perilaku politik kita.

Meskipun substansi danrumusannya tidak sempurna, UUPemiluinilebihbaikdaripada undang-undang sebelumnya sehingga diyakini pelaksanaan Pemilu 2014 pun akan lebih baik. Sebagian orang menilai sebaliknya. UU Pemilu dianggap tidak mampu mendorong penyederhanaan parpol seperti ditulis Jeffrie Geovanie di harian ini (SINDO,17/4). Alasannya ambang batas parlemen sebesar 3,5% dinilai terlalu rendah sehingga akan terlalu banyak parpol yang mampu mengumpulkan suara dan duduk di parlemen. Sebaliknya, pemimpin beberapa partai dan pengamat politik justru berpendapat lain.

Mereka menilai ambang batas 3,5% yang tercantum dalam Pasal 208 UU Pemilu adalah terlalu tinggi. Selain itu, karena diterapkan secara nasional,itu dianggap mematikan potensi lokal dan keragaman pendapat antardaerah. Materi lain yang diuji masyarakat adalah soal status partai politik sebagai peserta pemilu. Dalam Pasal 8 ayat 1 UU Pemilu dinyatakan: “Partai politik peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu pada pemilu berikutnya”.

Sejujurnya ambang batas parlemen yang idealadalah nol persen. Sebab tidak boleh ada suara rakyat (pemilih) yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR/DPRD hanya karena jumlah total perolehan suara sah secara nasional suatu peserta pemilu tidak mencapai besaran tertentu. Apalagi, pemilu kita menganut sistem proporsional terbuka. Jika ada ambang batas, akan terdapat sejumlah suara pemilih yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR/ DPRD sehingga kesamaan kedudukan setiap warga negara menjadi terabaikan.

Semakin tinggi angka ambang batas, semakin banyak warga negara yang terdiskriminasi. Selain itu, ambang batas parlemen juga akan mengakibatkan ada selisih persentase perolehan suara dengan persentase perolehan kursi DPR/DPRD. Jumlahnya akan semakin besar dengan meningkatnya angka ambang batas. Halini berarti akan meningkatkan disproporsionalitas atau ketidaksesuaian dan ketidaksamaan antarpeserta pemilu dan antarwarga negara. Ambang batas nol persen juga dapat dimaknai sebagai upaya menjaga prinsip Bhinneka Tunggal Ika: walau berbeda-beda, bersatu jua.

Semua golongan, suku, dan latar belakang diwadahi dalam pemilu secara setara dan adil. N a mu n , bagaimanapun penetapan ambang batas parlemen berada di ruang politik, bukan akademis-ilmiahnormatif. Ada kompromi dan akomodasi terhadap semuaperbedaan pendapat.Apalagi dapat dipahami ambang batas parlemen 3,5% dinilai sebagai ikhtiar mencegah terbentuknya pemerintahan yang tidak didukung oleh parlemen terkait syarat pengajuan bakal calon presiden/ wapres oleh partai atau gabungan partai. Namun, Mahkamah Konstitusi kiranya dapat mengambil putusan terbaik ketika ada warga negara yang menguji materi ambang batas parlemen.

Pemberlakuannya secara nasional hingga ke tingkat DPRD adalah wujud sebagai negara kesatuan hukum. Prinsip negara hukum dalam negara kesatuan itu pula yang mendasari pilihan untuk memakai satu aturan ambang batas parlemen yang berlaku nasional. Pilihan pemberlakuan ambang batas berjenjang seperti PT nasional 3,5%, PT untuk DPRD provinsi 4%, dan seterusnya, akan menghadirkan ketidakseragaman yang tidak dikenal dalam prinsip negara kesatuan.

Efektivitas
Namun, saya sependapat dengan Jeffrie bahwa efektivitas kerja di parlemen dan pemerintahan harus ditingkatkan. Namun, caranya tidaklah dengan menetapkan angka PT yang sangat tinggi. Itu sama saja dengan menghanguskan jutaan suara rakyat, padahal PT 2,5% saja telah menghanguskan sekitar 19 juta suara pemilih. Upaya penguatan parlemen yang lebih baik adalah dengan perubahan syarat pembentukan fraksi.

Saat ini setiap partai yang lolos ke parlemen dapat membentuk fraksi (UU No 27/2009 Pasal 80 ayat 4).Ide saya adalah meningkatkanpersyaratan jumlah kursi minimal semisal 150 kursi.Saya rasa bukan ide yang buruk jika DPR nanti hanya terdiri atas tiga fraksi yakni fraksi pendukung pemerintah, fraksi oposisi,dan fraksi poros tengah (swing faction). Sudah tentu akan terjadi prokontra, namun kehendak untuk mengurangi jumlah fraksi dan menambah anggota tiap fraksi adalah keniscayaanuntukmengefektifkan kerja parlemen. Dengan demikian, pada satu sisi tujuan representasi rakyat tetap terpenuhi karena mereka yang terpilih dapat duduk di DPR/DPRD, namun pada sisi lain tujuan penguatan parlemen dan nanti pemerintahan juga dapat tercapai karena keputusan diambil secara lebih mudah dan didukung fraksi-fraksi beranggota banyak.

Aspirasi rakyat dan partai juga tidak hilang karena dapat disampaikan dalam rapat- rapat pleno fraksi masingmasing. Namun, begitu fraksi telah memutuskan, seluruh anggota fraksi yang bisa jadi dari beberapa partai tersebut harus kompak. Di samping itu, perlu pula restrukturisasi komisi dan alat kelengkapan DPR. Jumlah komisi cukup tiga yang disesuaikan dengan fungsi-fungsi parlemen yakni komisi legislasi, komisi anggaran, dan komisi pengawasan. Pada tiap-tiap komisi dibentuk subkomisi sesuai bidang pembangunan seperti subkomisi pertahanan, subkomisi keamanan, subkomisi hukum, dan sebagainya.

Untuk itu, semua perlu dilakukan perubahan UU No 27/2009. Namun,upaya pembentukan pemerintahan yang kuat juga harus dilengkapi dengan perbaikan UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kita bahkan perlu mempertimbangkan ada UU Lembaga Kepresidenan karena presiden adalah satu-satunya lembaga negara yang belum diatur dengan undang-undang tersendiri. Di samping itu, kapabilitas, integritas, visi misi, program kerja, dan determinasi seorang presiden menentukan pencapaian suatu pemerintahan.

Mengenai Pasal 8 ayat 1 soal lolosnya partai peserta pemilu yang mencapai ambang batas parlemen pada Pemilu 2009 sebagai peserta pemilu 2014 adalah karena kenyataan mereka telah dipilih oleh sekurangkurangnya 2,5% suara sah secara nasional. Jumlah sebesar itu tidak mungkin diperoleh jika partai-partai tersebut tidak mengakar, memiliki kepengurusan dan simpatisan di seluruh wilayah Indonesia.

Demi menghormati suara rakyat dan kedaulatan pemilih serta efisiensianggarannegara, sembilan partai tersebut diloloskan.Andai pun diverifikasi ulang,mereka tetap lolos. Lebih baik biaya triliunan rupiah dialokasikan bagi rakyat miskin,pembangunan infrastruktur perdesaan,dan pengembangan ekonomi umat.

Meskipun tidak sempurna, UU Pemilu telah mendorong partisipasi politik lebih tinggi dari setiap warga negara yang memenuhi syarat memilih.

Para penyusun UU Pemilu telah berupaya maksimal untuk menutup setiap celah kemungkinan seorang warga negara kehilangan hak pilih karena persoalan administratif, baik dengan mempercepat pelaksanaan tahapan pemilu maupun menambah instrumen penjamin kedaulatan pemilih. Sekurang-kurangnya terdapat tujuh lapis atau tujuh instrumen pemilu untuk menjamin pelaksanaan kedaulatan pemilih.

Pertama, data kependudukan yang berasal dari data agregat kependudukan per kecamatan yang harus tersedia 16 bulan sebelum hari pemungutan suara, data penduduk potensial pemilih pemilu,dan data WNI di luar negeri. Kedua, pendaftaran pemilih.Ketiga, pemutakhiran data pemilih. Keempat, penyusunan daftar pemilih sementara,termasuk dua kali perbaikan daftar pemilih sementara.

Kelima, penyusunan dan rekapitulasi daftar pemilih tetap,termasuk daftar pemilih bagi pemilih di luar negeri. Keenam, daftar pemilih tambahan bagi mereka yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap,tetapi memilih di TPS lain.Ketujuh,pemilih yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap atau daftar pemilih tambahan dapat memberikan suara dengan kartu tanda penduduk atau paspor. Selain mempercepat tahapan pemilu melalui data kependudukan, UU Pemilu juga mengamanatkan percepatan tahapan pemilu agar mutunya lebih baik melalui penetapan partai peserta pemilu lebih awal dan pengajuan bakal calon anggota DPR/DPRD.

Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran persyaratan partai sebagai peserta pemilu harus selesai selambat-lambatnya 15 bulan sebelum hari pemungutan suara. Dengan demikian, penetapan partai politik peserta pemilu juga diharapkan berada pada kisaran waktu tersebut. Pengajuan daftar calon anggota DPR/DPRD juga dipercepat menjadi 12 bulan sebelum hari pemilu.Namun, diperlukan waktu yang lebih banyak bagi KPU/KPU provinsi/ kabupaten/kota untuk memverifikasi kelengkapan dan kebenaran persyaratan tiap bakal calon anggota legislatif setiap partai di semua tingkatan.

Pada pemilu sebelumnya alokasi waktu diberikan sekitar tiga bulan sehingga dirasa tidak memadai bagi KPU/KPU daerah untuk memeriksa semua berkas secara akurat. Akibatnya, tidak sedikit kasus anggota DPR/ DPRD yang lolos meski ijazah atau berkas lainnya tidak memenuhi syarat.Diharapkan untuk Pemilu 2014 KPU/KPU daerah mempunyai waktu sekitar enam bulan sehingga dapat menetapkan dan mengumumkan daftar calon anggota DPR/DPRD sekitar enam bulan sebelum hari pemungutan suara.

Sungguhpun penetapan daftar calon tetap anggota DPR/DPRD baru dilakukan enam bulan sebelum pemilu atau sama dengan pelaksanaan Pemilu 2009, karena diajukan dua belas bulan sebelumnya, rakyat mempunyai waktu lebih panjang untuk menilai mereka.Termasuk kesempatan memberi masukan kepada partai dan KPU/KPU daerah sekiranya terdapat persoalan khusus seperti ijazah, latar belakang narapidana, pelanggaran etika dan moral.

Pada sisi lain, setiap bakal calon anggota legislatif juga mempunyai waktu lebih banyak untuk menyosialisasikan partainya dan dirinya, termasuk visi misi, program, dan kemungkinan kontrak politik yang bisa disusun antara dirinya dan konstituen (daerah pemilihan). Hal ini akan meningkatkan derajat representasi setiap calon wakil rakyat serta menaikkan kinerja artikulasi anggota Dewan setelah terpilih.

Selain itu, rakyat dapat lebih mudah mengenali setiap calon anggota legislatif, terutama visi misi dan programnya, serta tidak sekadar mengenal nama dan foto mereka. Akibatnya, para caleg tidak hanya bisa dikenal lewat program bantuan sosial saja.Pada akhirnya, ini akan dapat meningkatkan kualitas pemilu dan parlemen.

Proporsional Terbuka
Upaya meningkatkan representasi dan fungsi artikulasi parlemen inilah yang mendasari putusan pemerintah untuk tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka. Sistem inilah yang memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk menentukan siapa yang paling pantas mewakilinya. Sistem ini tidak menafikan peran partai karena para calon anggota legislatif disusun sepenuhnya oleh partai.

Meski begitu, selama tahap pengajuan daftar calon anggota legislatif hingga penetapan daftar calon tetap, partai dapat memperbaiki daftar antara lain berdasarkan masukan rakyat. Upaya mempertahankan sistem proporsional juga dijalankan dengan tidak diubahnya besaran alokasi kursi,yakni 3–10 kursi untuk DPR RI, dan 3–12 kursi untuk DPRD. Bahkan, dalam lampiran UU Pemilu terlihat tidak ada perubahan jumlah daerah pemilihan (dapil), yaitu 77 dapil.

Guna memenuhi Pasal 22 ayat 4, pemerintah dan DPR sepakat memasukkan 26 kabupaten/ kota hasil pemekaran yang belum dimasukkan dalam Lampiran UU Pemilu No 10/2008 seperti Kota Gunung Sitoli untuk dapil Sumatera Utara II, Kabupaten Kepulauan Meranti untuk dapil Riau I,Kabupaten Mesuji untuk dapil Lampung II, dan Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten Maybrat untuk dapil Papua Barat. Bila alokasi kursi diperkecil, seperti menjadi 3–6 atau 3–8, sistem pemilu akan menjadi tidak proporsional.

Mereka yang terpilih kebanyakan hanya karena mendapat limpahan suara secara tidak langsung akibat beberapa partai tidak memperoleh kursi karena terlalu sedikitnya alokasi kursi tiap-tiap dapil. Semakin sedikit alokasi kursi, akan semakin tidak proporsional sistem pemilu tersebut. Dengan demikian, sistem distrik yang berprinsip “the winner takes all”di mana partai peraih suara terbanyak di suatu dapil akan merebut semua kursi adalah bertentangan dengan sistem proporsional yang dianut UUD RI Tahun 1945.

Akan halnya penentuan pembagian kursi, yang terbaik dan paling mampu memberikan keadilan dan mendekati prinsip proporsional terbuka adalah sistem pembagian sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak yang pernah diterapkan dalam Pemilu 2004. Pada pemilu saat itu,tidak ada kasus sengketa pemilu terkait penetapan kursi.Hal ini karena sistem yang juga disebut “the last remainder method” atau sistem kuota Hare, ini mudah dipahami oleh banyak orang, termasuk yang hanya berpendidikan dasar sekalipun.

Hal ini akan memudahkan setiap orang mengontrol pelaksanaan pemilu serta memperkecil ruang untuk melakukan manipulasi dan penyimpangan. Semakin mudah dan sederhana suatu sistem, semakin baiklah pelaksanaannya dan semakin sedikitlah kemungkinan rekayasanya. Hal itu berbeda dengan sistem divisor, apakah itu subvarian d’Hondt,Wesbter, dan sebagainya. Varian Webster misalnya yang diusulkan oleh sebagian kawan-kawan anggota DPR mempunyai kelemahan mendasar.

Oleh karena bilangan pembaginya adalah bilangan berangka ganjil,hasil baginya hampir selalu bilangan pecahan.Akibatnya,dibutuhkan simulasi pembagian untuk menghasilkan bilangan bulat. Hal ini dapat mengundang potensi kecurigaan dan kemungkinan rekayasa, terutama di tingkat kabupaten/ kota karena tidak pastinya bilangan pembagi yang ditetapkan. Bisa saja seseorang dari suatu partai menghitung dengan bilangan ganjil tertentu dan hasilnya dia dapat kursi, tetapi dengan penghitungan bilangan ganjil yang lain hasilnya akan berbeda.

Apa pun,varian Webster ini akan terpaksa memakai sisa suara untuk menentukan alokasi kursi, terutama jika daerah pemilihan mengalokasikan kursi lebih dari 5 kursi.Padahal, kita sudah sepakat alokasi kursi DPR RI adalah 3–10 kursi dan 3–12 kursi untuk DPRD.Artinya, sebagian kursi akan dibagikan berdasarkan sisa suara terbanyak. Jadi, varian ini tidak konsisten dan mengundang potensi konflik. Mengenai calon anggota legislatif, UU Pemilu tetap memberikan langkah afirmatif bagi kaum perempuan.

Para politikus perempuan mendapatkan kesempatan lebih besar,mulai dari alokasi minimal untuk kepengurusan partai hingga daftar calon yang harus memuat minimal satu calon perempuan dari setiap tiga calon.Namun,keadilan harus tetap ditegakkan sehingga para politikus perempuan tetap harus berjuang meyakinkan rakyat agar dipilih. Akhirnya, UU Pemilu adalah produk politik yang harus memerhatikan realitas politik dan dinamika aspirasi rakyat.

Sekalipun demikian, UU Pemilu, sebagaimana undangundang lainnya dibuat oleh pemerintah dan DPR dengan selalu merujuk pada konstitusi. (Sindo, 18 Mei 2012)

* Wakil Ketua FPPP DPR RI/Mantan Anggota Pansus RUU Pemilu.
Bagikan:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright 2008-2013 DPC PPP Kabupaten Tegal | Design by Eko Mahendra Ridho | Powered by Blogger.com.