Kebijakan Partai
Nasional Demokrat (Nasdem) yang akan memodali Rp 5-10 miliar bagi setiap calon
anggota legislatif yang bertarung di Pemilu 2014, patut dilihat sebagai sebuah
terobosan dan perlu diapreasiasi.
Terobosan tersebut memperlihatkan kejelian
pendiri dan para pengurus Partai Nasdem di dalam menemukan insentif yang
menarik bagi masyarakat. Patut diapresiasi, sebab terobosan itu lahir di kala
gairah berpolitik dan bermain politik agak tergerus. Kelelahan berpolitik mulai
melanda para politisi yang tidak tahan banting.
Itu sebabnya, dalam beberapa bulan mendatang akan
sangat menarik untuk melihat sejauh mana respon masyarakat terhadap gagasan
tersebut. Jika banyak orang tertarik bergabung dengan Partai Nasdem untuk
menjadi caleg DPR-RI, DPD tingkat I dan II dalam pemilu 2014, itu tandanya
kebijakan partai, "nyambung" dengan keinginan masyarakat.
Tetapi yang lebih penting lagi bagaimana hasil
perolehan suara Partai Nasdem dalam Pemilu Legislatif di 2014. Apakah Nasdem
akan langsung melejit sebagai partai peraih suara terbanyak? Sehingga akhirnya
Nasdem mampu menjadi partai yang akan merestorasi bangsa.
Kendati sebuah terobosan positif, harus pula
dikemukakan bahwa peluncuran strategi partai tersebut terjadi pada waktu yang
tidak tepat. Sebab kebijakan itu terjadi di saat situasi politik di Tanah Air
sangat sarat dengan korupsi yang dilakukan oleh para politisi di legislatif
maupun di eksekutif.
Kebijakan itu diperkenalkan di saat kecurigaan
atas maraknya politik uang yang dilakukan oleh anggota legislatif maupun eksekutif,
cukup tinggi. Sehingga bantuan atau insentif itu seakan membenarkan sinyalemen
bahwa kegiatan politik di Indonesia tidak pernah lepas lagi dari pengaruh uang.
"Money Talks", tanpa uang bermiliar rupiah, orang tidak akan bisa
berpolitik.
Oleh sebab itu yang sangat dikuatirkan dari
terobosan Nasdem itu adalah ekses negatifnya. Niat positif Nasdem yang ingin
membantu para caleg agar berkurang beban mereka di dalam perjuangan menuju
gedung perwakilan rakyat, berakibat kontra produktif.
Belum apa-apa mereka sudah menjadi semacam
"The Ten Billion Rupiah Politician". Mereka sudah terbebani. Uang
menjadi segala-galanya. Perjuangan tidak lagi dilandaskan pada idealisme
melainkan atas rangsangan materil. Menjadi politisi harus siap dengan gaya
hidup orang kaya atau miliuner.
Akibatnya insentif ataupun bantuan dari Nasdem
itu justru destruktif bagi kehidupan politik dan politisi Indonesia ke depan.
Para wakil rakyat saat ini melekat stigma bahwa mereka masuk dalam kancah
politik bukan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebaliknya mereka hanya
mengejar uang.
Keadaan ini diperparah dengan berbagai kejadian,
dimana salah satu unit kerja lembaga itu yakni Badan Anggaran (Banggar)
ditengarai sebagai sumber pembuat masalah di dalam bidang keuangan nasional.
Sejumlah anggota Banggar DPR-RI terlibat dalam
pengaturan dana semua proyek berskala puluhan bahkan ratusan milar rupiah. Dan
citra ini telah menurunkan kredibilitas anggota-anggota DPR-RI. Citra negatif
ini belum tentu bisa lenyap dalam waktu dekat. Hingga 2014, diperkirakan citra
negatif tersebut masih akan melekat.
Demikian buruknya citra anggota legislatif,
sampai-sampai peneliti dari CSIS J Kristiadi berpendapat bahwa para anggota
legislatif saat ini sudah sama dengan pejabat di eksekutif. Mereka bekerja
bersama dalam membuat UU. Tapi mereka sadar UU yang mereka buat tidak
menguntungkan rakyat banyak. Hanya untuk kepentingan diri mereka sendiri.
Legislatif dan eksekutif tidak peduli dengan
dampak negatif dari UU yang mereka susun. Oleh karenanya oleh Kristiadi mereka
dijuluki sebagai kelompok elit yang terkena penyakit political schizophrenia.
Penyakit yang hanya mementingkan diri sendiri.
Bantuan Partai Nasdem kepada para calegnya itu
memang tidak diberikan dalam bentuk uang tunai. Melainkan hanya dalam bentuk natura.
Tetapi secara nominal Rp5 miliar sampai Rp10 miliar itu merupakan angka yang
cukup besar. Angka bantuan Nasdem akan semakin besar apabila yang dtargetkan
partai baru ini adalah meraih suara sebanyak-banyaknya dari total kursi 560 di
DPR-RI.
Lantas berapa banyak caleg yang akan dibantu
pendanaan oleh Partai Nasdem? Katakanlah Nasdem ingin meraih angka tiga dijit.
Itu berarti minimal 100 kursi. Nah tentu saja caleg yang dibantu Nasdem, tidak
mungkin kalau hanya 100 orang. Sehingga akumulasi dana yang digunakan Nasdem
untuk kegiatan politik ini, jelas sangat besar, triliunan rupiah !
Dan pertanyaan yang tidak kalah pentingnya apakah
untuk merestorasi Indonesia hanya bisa dilakukan dengan uang? Apakah uang
triliunan rupiah yang dikonsentrasikan di DPR itu mampu digunakan untuk
memperbaiki keadaan Indonesia?
Oleh karenanya sebagai sebuah bantuan, terobosan
Partai Nasdem ini, perlu dikritisi. Sebab yang namanya pemberian bantuan uang
seperti itu, juga sudah dipraktekkan dalam berbagai kehidupan masyarakat. Tapi
semakin terbukti, uang bukan solusi satu-satunya untuk merestorasi Indonesia.
Pemilu juga demikian. Sudah terbukti, pemilu yang
menghasilkan seorang presiden yang dipilih mayoritas rakyat, toh tidak mampu
berbuat banyak. Sehingga tidak ada salahnya jika Nasdem betul-betul mengkaji
terobosannya itu.
Patut diingat pula. tidak ada jaminan bahwa
Nasdem akan meraih apa yang ditargetkannya di Pemilu 2014. Segala kemungkinan
bisa terjadi. Nasdem bisa sukses, tetapi juga bisa gagal. Hanya satu hal yang
dapat dipastikan. Dana dalam bentuk natura itu, tidak akan mendorong
terciptanya sebuah roda perekonomian nasional yang sehat.
Akhirnya bantuan itu bisa sama dengan sebuah
pemborosan atau penghamburan dana. Pembelian natura oleh partai dalam jumlah
yang besar, tidak serta merta akan membuat perusahaan yang menjual kebutuhan
fasilitas untuk seorang caleg, akan mampu membuka lapangan kerja baru. Belanja
barang yang dilakukan di semua toko tidak akan menimbulkan multi efek. Tidak
akan terjadi pengurangan jumlah penganggur.
Bahkan bukan mustahil, mereka yang tertarik
mendapatkan bantuan tersebut adalah para politisi oportunis maupun para
penganggur intelek. Maaf beribu maaf. Yang namanya oportunis dan penganggur
intelek, akan tetap mengutamakan kepentingan dirinya sendiri.
Sehingga ketika seorang oportunis atau penganggur
intelek tiba-tiba menjadi Wakil Rakyat pada 2014, kelakuan mereka tidak akan
banyak berbeda dengan para anggota legislatif sebelumnya. Khususnya mereka yang
melakukan pencurian atas hak-hak rakyat.
Sehingga jika tujuan DPP Partai Nasdem menjadikan
anggota DPR-RI dari Nasdem, periode 2014-2019, lebih baik dari yang sekarang,
kelihatannya hal itu masih merupakan sebuah utopi.
Demikian pula jika Nasdem ingin melakukan restorasi,
perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan yang ada pada tubuh bangsa, dengan cara,
memberi bantuan sejak dini kepada para calegnya, maka keinginan ini, bisa jadi
baru akan sampai pada tingkat retorika. Kendati begitu kepada Partai Nasdem
yang sudah menjadi aset bangsa, tetap kita harapkan untuk terus mencari
terobosan-terobosan baru. (Inilah, 12 Juni 2012)