PENGUMUMAN: Dibuka pendaftaran bakal calon anggota DPRD Kabupaten Tegal, mulai 1 Januari s/d 28 Februari 2013. Info: Hubungi DPC PPP Kabupaten Tegal, telp.(0283)3275717 | Eko Mahendra Ridho

Follow Us

HEADLINE NEWS

DPC PPP Kabupaten Tegal ©2008-2012 All Right Reserved. Diberdayakan oleh Blogger.
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Baca lainnya »

Reni: Perlu Figur Kuat untuk Wujudkan Koalisi Partai Islam

01 Agustus 2012


Jakarta - Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Reni Marlitawati Amin mengatakan, partainya terus berupaya agar koalisi Islam tercapai. Namun demikian, ia tidak memungkiri sulitnya koalisi tersebut.

"Soal koalisi (Islam) dari dulu pun tetap kita lakukan. Misalnya bagaimana PPP ingin PBB (Partai Bulan Bintang) bergabung kembali," kata Reni dalam diskusi bertajuk Jelang Pilpres 2014: Koalisi Islam, Mungkinkah? di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (31/7).

Ia memaparkan, dalam sejarah, partai Islam selalu mendapatkan hambatan dari internal. "Perlahan tapi pasti, partai Islam itu runtuhnya dari dalam. Ini karena tidak bisa bersatu," kata anggota komisi IX DPR RI tersebut.

Ia menambahkan, PPP terbuka untuk berkoalisi dengan partai berbasiskan Islam manapun di Indonesia. Namun, harus ada figur kuat dan baru untuk mewujudkan hal tersebut.

"Figur ini tidak harus muda. Tapi dia bisa membawa pembaruan untuk Indonesia ke depannya dan menyatukan kembali basis-basis Islam," kata Reni. (Media Indonesia, 31 Juli 2012)

Dua Bupati Hadiri Acara Buka Puasa DPC PPP Pemalang

01 Agustus 2012


Pemalang - Kantor Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan (DPC PPP) Kabupaten Pemalang, Minggu (29/7) lalu ramai dihadiri banyak orang. Kehadiran mereka itu untuk mengikuti  acara buka puasa bersama yang diselenggarakan oleh partai berlambang kabah.

Selain jajaran pengurus partai  DPC, PAC dan MPC, juga hadir pula sejumlah organisasi masa yang ada di Kabupaten Pemalang. Di antaranya banom atau badan otonom NU dari mulai GP Ansor, IPNU, IPPNU, Fatayat, Muslimat, Tanfidziyah, Syuriah, PMII dan HMI. Serta hadir pula Anggota DPR RI Drs Ahmad Muqowam. Bahkan yang membuat acara itu menjadi luar biasa karena dihadiri dua bupati yaitu Bupati Pemalang H Junaedi SH MM dan  Bupati Pekalongan  H Amat Antono.

Ketua DPC PPP Kabupaten Pemalang Khodori SAg mengatakan, acara buka puasa bersama yang diselenggarakan ini merupakan berkah bagi PPP, karena ada dua bupati yang hadir dalam acara tersebut yaitu Bupati Pemalang H Junaedi SH MM dan Bupati Pekalongan  H Amat Antono. Disamping itu acara ini juga untuk melakukan silaturahmi dengan Anggota DPR RI dari  Dapil  X Drs Ahmad Muqowam yang saat itu turut hadir.

“Hadirnya dua bupati dalam acara buka puasa bersama ini, menunjukan bahwa DPC telah mendapat berkah,” katanya.

Menurutnya, acara buka puasa bersama dihadiri kurang lebih ada 150-an orang, dan acara ini merupakan acara rutin yang dilaksanakan setiap bulan puasa. Kegiatan ini juga merupakan bagian kerja partainya dalam upaya melakukan konsolidasi guna menuju kesuksesan pada pemilu 2014  yang akan datang.

Oleh karena itu, dalam rangka meratap pada pemilu 2014, maka semua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh partai, baik sekecil apa pun kegiatannya semua untuk  menuju kemenangan pemilu.

“Sehingga harapan kami, meskipun yang datang ini 150 an orang artinya mereka adalah orang-orang yang memiliki masa karena diundang pimpinan-pimpinan organisasi,” ujarnya.

Dia menambahkan mereka yang hadir itu memiliki keterkaitan dengan PPP, sehingga mereka bisa membawa gerbong untuk kemajuan dan kemenangan PPP pada pemilu 2014 nanti.

Sementara Bupati Pemalang H Junaedi SH MM dalam sambutannya menyampaikan sebuah catatan sekaligus melakukan klarifikasi dengan DPC PPP terkait adanya permasalahan yang membuat sedikit ganjalan pada dirinya.  Yaitu soal penilaian telah melalaikan PPP.

“Seingat saya, setiap kegiatan PPP saya itu hadir dan membantunya, tapi kok saya sering dibilang telah melalaikan, itu tidak benar,” tegasnya.

Bupati mengaku yang mengusung saat Pemilukada juga dari PPP, meskpun secara formalitas yang menandatangani bukan PPP, tapi dalam satu dukungan yang diberikan oleh beberapa parpol yang ada dalam kualisi partainya saat itu. “Yang pasti saya tidak melupakan atau melalaikan PPP,” imbuhnya.

Bupati sendiri dalam memberikan penyataan itu karena kaget seringkali disebut telah melalaikan PPP.  Sehingga dalam forum itu menurut bupati perlu diklarifikasikan agar semua mengerti. Terkait masalah eksistensi partai selama ini sudah berjalan cukup baik dan tidak ada masalah. (Radar Tegal, 31 Juli 2012)

Pilkada Pamekasan: PPP Jadikan Konvensi sebagai Acuan

01 Agustus 2012


JAKARTA - Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Bidang Pemenangan Pemilu Fernita Darwis menegaskan, hasil konvensi menjadi pertimbangan utama partainya dalam mengusung pasangan Achmad Syafi’i-Kholil Asy’ari dalam Pilkada Pamekasan.

Menurut dia, DPP PPP sangat memerhatikan aspirasi dari kader, terutama kalangan ulama. “PPP tidak mungkin meninggalkan ulama karena beliau yang menjadi tulang punggung PPP. Hasil konvensi itu merupakan referensi yang sangat kuat,” tegas Fernita dalam keterangannya, Selasa (31/7/2012).

Sementara itu, anggota Majelis Syariah DPP PPP KH Mohammad Syamsul Arifin, mengaku merestui jika Syafii Yasin maju dan menjadi Bupati Pamekasan. "Saya merestui Syafii jadi Bupati Pamekasan, bergandeng dengan Kholil Asyari," kata KH Muhammad.

Ulama kharismatik ini sudah mengomunikasikan persoalan ini dengan DPW dan DPP PPP. Mengenai kemungkinan rekomendasi tidak turun ke Syafi’i-Kholil Asy’ari, KH Mohammad enggan berspekulasi lebih jauh. Dia hanya menegaskan, pilihannya menduetkan Syafi’i-Kholil Asy’ari berdasarkan hasil istikharah dan aspirasi di akar rumput.

"Yang jelas, saya tetap ingin Syafi’i bergandeng dengan Kholil Asy’ari apapun yang terjadi. Ini sikap saya, dan sudah dikaji secara mendalam,” terangnya.

Dia mengungkapkan, pilihannya itu demi keutuhan PPP di Pamekasan secara khusus dan Madura pada umumnya. Arus bawah PPP mengharapkan Syafi’i maju kembali untuk membangun Pamekasan. Lalu Kholil Asy’ari merupakan salah satu kader terbaik PPP Pamekasan yang punya massa cukup besar. (Okezone, 31 Juli 2012)

Pembantai Muslim Rohingya Harus Diseret ke Pengadilan

01 Agustus 2012


Jakarta - Ketua DPP PPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arwani Thomafi mengatakan warga Rohingya yang lahir dan dibesarkan di Myanmar diperlakukan diskriminatif dan hak asasinya telah dilanggar. Namun, pembantaian yang dilakukan kelompok mayoritas ternyata dibiarkan oleh Pemerintahan Militer Myanmar.

“Terjadi pencabutan hak mendasar warga negara untuk hidup tentram dan damai di negara kelahirannya, sehingga warga Rohingya dianggap bukan warga negara dan diperlakukan selayaknya pengungsi ilegal,” kata Ketua DPP PPP, Arwani Thomafi, Senin (30/7) kepada JPNN, di Jakarta.

Dijelaskan Arwani, PPP juga melihat bahwa krisis kemanusiaan yang menimpa warga Rohingya telah mencapai proporsi yang mengkhawatirkan dan telah diliput oleh berbagai media internasional. Oleh sebab itu, PPP sebagai sebuah partai yang berideologikan Islam yang rahmatan lil’alamin menyatakan sikap mengutuk pemerintahan Myanmar yang telah membiarkan tindakan melakukan penganaiyaan dan pembunuhan massal secara sistematis kepada kaum minoritas Muslim Etnis Rohingya. “Dimana hal ini mengindikasikan sebuah pembantaian etnis (ethnic genocide) dan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa,” papar Arwani.

Sekretaris Fraksi PPP di DPR itu juga mengatakan, PPP juga mendesak pemerintah Republik Indonesia dan negara lain khususnya negara muslim untuk membantu menyelamatkan kaum minoritas muslim Rohingya dengan berbagai cara diplomatik maupun non-diplomatik.

“Dan berusaha untuk membawa pelaku-pelaku pembantaian tersebut ke pengadilan internasional,” kata Arwani.

PPP juga mendesak Persatuan Bangsa Bangsa (United Nation) untuk segera membuka akses bantuan kemanusiaan dari negara-negara tetangga di ASEAN, seperti NKRI dan lainnya agar dapat masuk memberikan bantuan ke Myanmar.

“PPP juga mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat memberikan bantuan baik secara materiil maupun moriil sehingga kaum minoritas muslim Rohingya dapat terlepas dari kezaliman pemerintahan Myanmar,” ujar Arwani.

Anggota Komisi V DPR itu menegaskan, PPP juga mendesak agar negara tetangga, Bangladesh membuka diri untuk menampung para pengungsi kaum minoritas Rohingya yang terus dibantai secara sistematis oleh pemerintahan Myanmar. “Jangan menolak masuknya pengungsi dari negara Myanmar,” imbuh Arwani.

PPP juga menyerukan kepada PBB, khususnya UNHCR untuk meningkatkan dan memperlancar proses dukungan dan merehabilitasi para pengungsi tanpa kewarganegaraan yang melarikan diri ke negara tetangga. Selain itu, karena PBB sendiri telah mengakui Rohingya sebagai salah satu kaum minoritas yang paling teraniaya di dunia, sebuah panel internasional dari pengamat perlu dibuat untuk terus memantau dan memastikan penganiayaan penganiyaan selanjutnya tidak terjadi lagi.

Di satu sisi, memang ada yang memuji perkembangan terakhir dalam kemajuan demokrasi di Myanmar. Tetapi di sisi lain PPP melihat bahwa nasib kaum Muslim Rohingya, tidak mendapat perhatian sepadan seperti kaum atau etnis lain yang telah mendapatkan Hak Asasi Manusia yang layak oleh pemerintahan Myanmar.

“PPP merasa prihatin dimana isu pembantaian kaum minoritas muslim Rohingnya ini dianggap isu yang tidak signifikan di negara Myanmar sendiri dan tidak menjadi agenda politik utama,” kata Arwani. (JPPN, 31 Juli 2012)

Sukron: Mutlak Bagi Partai Islam Berkoalisi untuk Mengusung Satu Nama Capres

01 Agustus 2012


Jakarta - Pasca pemilu 1999, eksistensi partai-partai Islam dan partai-partai yang berbasis masa Islam cukup menonjol. Peran partai-partai inipun terus diperhitungkan ketika Amin Rais, yang merupakan tokoh Muhammadiyah dan berkiprah di Partai Amanat Nasional (PAN) menggagas poros tengah.

Artikulasi politik dari poros tengah ini mengantarkan tokoh NU, yang juga pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), KH Abdurrahman Wahid menduduki kursi presiden. Sementara Amien Rais, yang merupakan tokoh Reformasi, menduduki kursi MPR. Sementara kalangan pun menilai periode ini sebagai kebangkitan politik Islam. Atau tepatnya, bila meminjam polarisasi daru Clifford Geertz, periode ini sebagai kebangkitan politik santri. Apalagi saat itu, Ketua DPR juga diduduki Akbar Tanjung, yang merupakan tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Bila menegok pada hasil Pemilu 2009, ada dua partai yang berasaskan Islam dan dua partai yang berbasis massa Islam. Yaitu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKS).

Menurut Direktur Eksekutif Segitiga Institute, Muhammad Sukron, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Selasa, 31/7), potensi keempat partai ini sangat luar biasa bila ada kemauan untuk sama-sama mengusung satu calon presiden yang merepresentasikan dan mewakiliki politik Islam. Dan ini menjadi pekerjaan rumah bagi partai Islam itu untuk tampil kembali dan memegang kendali politik di Indonesia.

"Tentu saja untuk hal ini mesti diimbangi dengan persyaratan yang disepakati yang diikuti pula oleh intensitas komunikasi politik dari parpol Islam itu sendiri. Oleh karena itu koalisi partai Islam mutlak harus dilakukan untuk memunculkan kader dan diikutkan pada kontestasi pemilihan presiden tahun 2014 mendatang," demikian Sukron. (RMOL, 31 Juli 2012)

Reni: PPP Terus Jaring Nama-nama Bakal Capres

01 Agustus 2012

Jakarta - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah partai politik yang berazaz Islam. Selain berazaskan islam, PPP juga berbasis massa Islam.

"Ini yang selalu kita jaga. Tidak seperti partai lain sudah menjadi partai terbuka," ujar anggota anggota DPR Fraksi PPP Reni Marlinawari dalam acara diskusi publik 'Jelang Pilpers 2014: Koalisi Islam, Mungkinkah?' di Galery Cafe TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta, Selasa, (31/7).

Sebagai partai yang berideolagi Islam, PPP kini menjaring tokoh-tokoh untuk dicapreskan. Figur tersebut harus bervisi pembaharu. "Tidak hanya yang muda, tapi harus bervisi pembaharu," ungkapnya.

Untuk itu, PPP sudah menjaring capres melalui dua jalur, jalur internal dan dan eksternal. Dari jalur internal, dihasilkan keputusan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali sebagai bakal capres. Dari jalur eksternal partai, terjaring tokoh seperti; Hatta Rajasa, Prabowo Subiyanto dan Aburizal Bakrie.

Selain itu, PPP juga memantau tokoh non partai seperti; Jusuf Kalla, Mahfud MD, Anis Baswedan dan Khofifah Indra Parawansa.

"2013 akan kita tetapkan (capres), kuncinya kita ingin capres itu membawa pembaharuan," paparnya. (RMOL, 31 Juli 2012)

Elviana: Perempuan PPP Jangan Gentar Hadapi Pemilu 2014

30 Juli 2012


Jakarta - Wakil Sekjen DPP PPP Hj Elviana berharap kader PPP dari kalangan wanita untuk menetapkan target raihan suara dalam Pemilu 2014 nanti, yang diprediksi bakal berlangsung keras. Sistem pemilihan umum Indonesia yang menjadi kapitalis,  menuntut kader politik memiliki dana besar untuk meraih banyak suara.

"Saya berharap kader PPP tak gentar di Pemilu 2014. PPP akan menerjunkan kader tangguh, termasuk para wanitanya yang tahan banting," ujar Elviana di Jakarta,  Jumat (22/6).

Menurut Elviana, Perubahan sistem politik tersebut selain menjadikan sulit mencari kader militan, tapi di sisi lain, justru akan memperoleh kader mata duitan. Meski demikian Elviana meyakini, kader dengan kondisi ekonomi lemah atau dengan tampilan biasa-biasa saja, juga bisa mendulang suara maksimal. Sebaliknya, banyak calon anggota legislatif pada Pemilu 2004 dan 2009, yang stress karena tak memperoleh kursi di legislatif. Padahal mereka sudah mengeluarkan biaya yang sangat banyak. "Perlu disadari juga bahwa faktor taqdir dan garis kehidupan yang sudah ditetapkan oleh ALLAH SWT, jangan sampai dilupakan," katanya.

Elviana meyakini  meskipun kader atau caleg itu tidak punya banyak duit tapi  bisa mendulang suara tinggi di Pemilu 2014 nanti, karena yang bersangkutan mau bekerja keras. "Tunjukkan kepada masyarakat sejak dari sekarang bahwa kita bisa memberi peran memfasilitasi masyarakat untuk memenuhi harapan-harapannya. Masyarakat Jambi masih banyak yang rasional dan akan memilih wanita-wanita tangguh dan tidak melupakan konstituentnya," ujar anggota DPD RI dari provinsi Jambi & korwil Sumbagsel DPP PPP ini.

Terkait hal tersebut, Elviana berharap kader PPP harus meneladani kiai dan ulama. Pasalnya dengan segala keterbatasannya, pewaris Nabi itu mampu mendirikan pondok pesantren dan kini melahirkan tokoh-tokoh besar."PPP juga ingin rasional untuk mendapatkan suara terbanyak,"katanya.

PPP Minta Kadernya Tingkatkan Nasionalisme

30 Juli 2012


Makassar — Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Sulsel meminta kadernya meningkatkan rasa kebangsaan.

Hal itu diungkapkan melalui dialog kebangsaan dengan tema “Peran Parpol dalam Menjaga Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kegiatan itu digelar di Losari Resto & Cafe, baru-baru ini. Tampil sebagai narasumber, akademisi Prof Aswanto, Ketua Bappilu DPP PPP Fernita Darwis, dan Ketua DPW PPP Sulsel Amir Uskara.

Ketua Bappilu DPP PPP Fernita Darwis, menjelaskan tentang upaya-upaya parpol dan kondisi negara setelah orde baru dan setelah penetapan otonomi daerah (Otoda). Pasca orde baru dan penetapan otoda, rasa kebangsaan masyarakat mulai menurun. Bahkan, muncul berbagai persoalan bangsa yang dihadapi masyarakat.

“Saya melihat realitas politik lokal setelah otoda, muncul berbagai persoalan. Diantaranya, munculnya raja-raja kecil di pemerintahan dan masyarakat, munculnya konflik-konflik di daerah, meluasnya korupsi, serta kompetensi pejabat di daerah semakin berkurang,” ucapnya.

Untuk itu, dibutuhkan penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang memadai serta perlunya peningkatan kapasitas dan akuntabilitas sebagai aktor lokal. Dalam hal ini, pemimpin dan pelaksana baik pemerintah dan swasta.

“Saya kira kita perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola dan mengalah demi kekuatan yang dimiliki. Manfaatkan peluang, serta atasi kelemahan dan ancaman,” jelasnya.

Selain itu, kader PPP harus mampu meningkatkan perannya di masyarakat. Khususnya, untuk terciptanya persepsi positif terhadap upaya pembangunan dan pemupukan sikap kreatif, inovatif, disiplin dan kerja keras, yang menjadi tujuan membangkitkan rasa kebangsaan tersebut.

Sementara, Ketua DPW PPP Amir Uskara, mengungkapkan, dialog digelar untuk membangkitkan kembali rasa kebangsaan kader-kader PPP terutama kepada para tokoh masyarakat.

“Kegiatan ini dilakukan untuk mengisi pengetahuan tokoh-tokoh masyarakat dan pengurus partai dalam meningkatkan kembali rasa kebangsaannya,” katanya.
 
Pasalnya, saat ini rasa kebangsaan masyarakat di Indonesia, khususnya di Sulsel sudah semakin menipis. Terbukti, banyaknya konflik-konflik horizontal yang terjadi di masyarakat. 

Selain Fernita, dialog juga dihadiri Wakil Sekjen Korwil Sulawesi, Maryam Tawil, pengurus partai kabupaten/kota, tokoh masyarakat dan anggota DPRD Sulsel dan Kabupaten/Kota asal PPP.

KPU Tetapkan 9 April Hari Pencoblosan Pemilu 2014

30 Juli 2012


Jakarta – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 9 April 2014 sebagai hari pencoblosan pemilihan umum untuk anggota legislatif. KPU juga memutuskan untuk memulai mempercepat pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu. 

“Kita meminta seluruh satuan kerja KPU di seluruh Indonesia bergerak mempersiapkan diri memulai rangkaian tahapan penyelenggaraan Pemilu 2014 ini,” kata Ketua KPU Husni Kamil Manik saat launching Tahapan Penyelenggaraan Pemilu 2014 di Jakarta, Jumat (8/6).

Ia menyebutkan, diharapkan seluruh pihak terkait untuk menyiapkan secara optimal seluruh aspek penyelenggaraan pemilu ini seperti program, jadwal, anggaran, program, dan regulasi. “Termasuk juga aspek strategis lain yang menyangkut manajemen pemilu,” ujarnya.

Dijelaskan, KPU juga tengah menyiapkan sejumlah regulasi penyelenggaraan Pemilu 2014. Husni menegaskan, sebelum regulasi diberlakukan, pihaknya terlebih dulu berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR.

“Kita harap proses konsultasi ini tidak menjadi hambatan bagi KPU, namun sebagai upaya untuk membangun sinergi agar pemilu bisa lebih berkualitas,” jelasnya.

Pergeseran Paradigma Kekuasaan di Indonesia

29 Juli 2012


Oleh: Lukman Hakim Saifuddin*

Setelah sekitar setengah abad menjalankan sistem ketatanegaraan dengan berpedoman UUD 1945, bangsa Indonesia menuntut perubahan konstitutsi tersebut. Atas dasar desakan dan aspirasi yang kuat dari berbagai kalangan, pada akhir 1999 bangsa Indonesia melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) secara resmi memulai perubahan hingga 2002.

Perubahan UUD 1945 pada hakekatnya merupakan wujud dari perubahan paradigma dan perubahan sistem nilai masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini seiring dengan gerak perubahan sistem bernegara yang berlangsung di berbagai belahan dunia: dari sistem teokrasi ke sistem monarki; dari sistem monarki ke sistem negara demokrasi; dan dari sistem negara demokrasi ke sistem negara demokrasi nomokrasi.

Kelahiran konstitusi sebuah negara tidak lain merupakan hasil kesepakatan warga bangsa itu sendiri (social contract). Dan dalam proses penyusunan kesepakatan tersebut tidak bisa menghindar dari pengaruh situasi, cara pandang, dan pengalaman sejarah yang terjadi pada masa tersebut. Begitu juga dengan proses terbentuknya UUD 1945 di Indonesia, baik sebelum dan sesudah perubahan. Dengan demikian, UUD 1945 merupakan ekspresi atau wujud dari paradigma dan sistem nilai bangsa Indonesia, termasuk para penyusunnya (pendiri bangsa), yang berkembang pada masanya.

Pada waktu para pendiri bangsa yang tergabung dalam BPUPKI menyusun UUD situasi dan pengalaman sejarah yang terjadi pada masa itu tampak sangat berpengaruh. Pada waktu itu, bangsa Indonesia masih berada kekuasaan penjajah Jepang dan incaran bangsa Belanda yang sebelumnya menguasai selama 3,5 abad. Selain itu, bangsa Indonesia sendiri juga belum memiliki pengalaman menjalankan sistem pemerintahan kecuali berbentuk kerajaan (monarki) dan sistem yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Meski demikian, sebagian para pendiri bangsa merupakan orang-orang yang sudah mengenal dan memahami sistem pemerintahan modern, khususnya yang berkembang di Eropa masa itu.

Dengan situasi dan latar belakang yang terjadi pada masa itu, tidak mengherankan apabila pada saat pembahasan tentang bentuk pemerintahan ada yang mengusulkan kerajaan dan republik. Begitu juga usulan dan perdebatan mengenai mekanisme kepemimpinan Indonesia setelah merdeka: ada kelompok yang menginginkan agar negara yang baru lahir ini dipimpin oleh Dewan Pimpinan Negara yang terdiri atas tiga orang; ada yang usul dipimpin oleh seorang Pimpinan Besar; ada juga yang usul dipimpin oleh Maharaja; dan ada pula yang menginginkan negara Indonesia dipimpin oleh seorang Perdana Menteri dan/atau Presiden.

Kepemimpinan Kuat
Dari seluruh usulan tersebut tampak bahwa sistem kekuasaan yang dibutuhkan pada saat itu lebih berorientasi pada sosok kepemimpinan atau manusia yang kuat dalam rangka mempercepat pembangunan bangsa dan negara yang baru ini. Hal ini juga dimungkinkan karena kepercayaan masyarakat terhadap sosok pemimpin sangat tinggi, sehingga diberi kewenangan yang sangat besar karena prinsip yang berkembang pada saat itu adalah “Baik buruknya suatu negara tergantung pada seseorang”.

Walaupun dalam UUD yang dihasilkan tersebut tampak sudah ada pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi kewenangan presiden berada di atas ketiga cabang kekuasaan tersebut. Selain presiden diberi kekuasaan pemerintahan (eksekutif), presiden memiliki kewenangan membentuk undang-undang (legislatif), dan presiden juga memiliki kewenangan untuk mengangkat hakim agung (yudikatif).

Dalam bidang eksekutif, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4), kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10), kekuasaan untuk memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi (Pasal 14), kekuasaan untuk menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12), kekuasaan mengangkat duta dan konsul (Pasal 13), kekuasaan untuk memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lain (Pasal 15), dan lain sebagainya.

Dalam bidang legislatif, Presiden memegang kekuasaan penuh membentuk UU dengan persetujuan DPR (Pasal 5 ayat 1). Dengan kondisi tersebut, pada era Orde Baru, DPR seakan menjadi tukang stempel saja, karena DPR hanya bertugas menyetujui UU yang diajukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan penuh pembentukan legislasi.

Dalam bidang yudikatif, UUD 1945 memerintahkan agar kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut UU. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan UU (Pasal 24). Karena yang mempunyai kekuasaan penuh membentuk UU adalah Presiden dengan persetujuan DPR, Pemerintah Orde Baru berhasil melahirkan UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kekuasaan kepada Presiden sebagai Kepala Negara untuk mengangkat dan memberhentikan hakim, baik itu hakim Pengadilan Negeri, hakim Pengadilan Tinggi, atau hakim Mahkamah Agung. Hanya dengan sebaris ketentuan dalam Pasal 31 UU No. 14/1970 yang berbunyi: “Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara”, maka kemudian Presiden sebagai Kepala Negara juga memunyai kekuasaan yang besar di biang yudikatif, sebagaimana kekuasaan besar di bidang legislatif dan tentu saja di bidang eksekutif.

Dengan memahami latar belakang pembentukan UUD 1945 dengan pemberian kekuasaan presiden yang sangat besar tersebut tampaknya para pendiri bangsa menginginkan bahwa presiden diharapkan mampu menjaga keutuhan NKRI dan memajukan bangsa Indonesia secara cepat. Meskipun pada perkembangannya, pemberian kekuasaan yang sangat besar kepada presiden tersebut memicu terjadinya penyelewengan-penyelewengan. Sebagaimana ungkapan Lord Acton, power tend to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak juga akan disalahgunakan secara mutlak, karena tidak ada kekuatan yang bisa mengimbangi (checks and balances).

Menyeimbangkan Kekuasaan
Berangkat dari penyalahgunaan kewenangan akibat pemberiaan kekuasaan kepada presiden yang berlebihan oleh konstitusi tersebut, pada 1998 bangsa Indonesia menuntut adanya reformasi, termasuk perubahan konstitusi. Pada saat pembahasan perubahan konstitusi tersebut, suasana dan pengalaman bernegara bangsa Indonesia sudah jauh berbeda dibandingkan dengan pada masa pembentukan UUD tahun 1945. Para anggota PAH III dan PAH I MPR RI, 1999-2001, yang bertugas mengubah UUD melakukan telaah kritis dan juga menyerap aspirasi dari berbagai kalangan mengenai konstitusi yang selama itu dipergunakan sebagai dasar menjalankan negara.

Dari berbagai masukan yang ada, tampak pandangan mayoritas masyarakat tentang kekuasaan telah berubah jauh dibanding dengan pandangan masyarakat pada 1945. Prinsip-prinsip dasar yang dijadikan pijakan oleh para perumus perubahan pun pada akhirnya berbeda dengan para pendahulunya. Jika pada periode awal kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pada periode perubahan ini kedaulatan tetap berada di tangan rakyat, namun dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar [Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3)]. Dari sini tampak kekuasaan yang semula diserahkan sepenuhnya  kepada MPR beralih kepada hukum dan konstitusi.  

Selain itu, pada periode perubahan ini para perumus mempertegas batas-batas antar cabang kekuasaan eksekutif, legilatif, dan yudikatif. Masing-masing lembaga menjalankan kekuasaannya sesuai bidangnya. Kekuasaan presiden yang semula mencakup pembentukan undangan-undang dan pengangkatan hakim agung, misalnya, diubah sesuai dengan porsinya. Kekuasaan pembentukan undang-undang diserahkan kepada DPR (legislatif), sedangkan ekskutif berada dalam posisi memberi persetujuan secara bersama-sama dengan DPR terhadap setiap undang-undang. Di sini presiden selaku pimpinan eksekutif berhak menolak suatu rancangan undang-undang jika presiden tidak menyetujuinya [Pasal 20 ayat (3)].

Begitu juga dengan kekuasaan kehakiman. Dalam UUD 1945 setelah perubahan, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan [Pasal 24 ayat (1)], tanpa ada pengaruh kekuasaan dari eksekutif atau legislatif. Karena itu, hakim agung selaku pimpinan di kekuasaan yudikatif ini tidak dipilih dan diangkat oleh presiden secara langsung, tetapi diseleksi oleh Komisi Yudisial untuk disetujui DPR dan ditetapkan oleh Presiden.

Dengan demikian, kalau dilihat pada pergeseran kekuasaan tersebut tampak bahwa “bandul” kekuasaan bukan berubah dari kekuasaan presiden (eksekutif) ke DPR (legislatif), tetapi “bandul” kekuasaan berada di tengah dengan semangat saling mengontrol dan mengimbangi (checks and balances). Saat ini tidak ada lembaga negara yang benar-benar memegang kekuasaan sepenuhnya sebagaimana sebelum perubahan. Bahkan MPR sendiri telah memangkas kekuasaannya sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara seperti lembaga-lembaga negara lainnya.

Kekuasaan Presiden Masih Sangat Besar
Meski demikian, banyak orang berpandangan bahwa kekuasaan Presiden Indonesia terlampau kecil untuk menjalankan fungsinya. Padahal jika dibandingkan dengan delapan negara maju (Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Afrika Selatan, Kuwait, Jepang, RRC, dan Australia), sebagaimana tesis yang ditulis Abdul Ghoffar (2009), menunjukkan bahwa kekuasaan presiden di Indonesia masih sangat besar.

Hanya saja, presiden tidak mempergunakan semua hak konstitusionalnya sebanyak sepuluh pokok kekuasaan secara maksimal. Kesepuluh kekuasaan tersebut  adalah: kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, bidang peraturan perundang-undangan, bidang yudisial, dalam hubungan luar negeri, menyatakan keadaan bahaya, sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, memberi gelar dan tanda kehormatan lainnya, membentuk dewan pertimbangan presiden, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, serta mengangkat, menetapkan atau meresmikan pejabat negara tertentu lainnya.

Pertimbangan Vs. Persetujuan
Beberapa hal yang sering disalahpahami banyak kalangan adalah kata “pertimbangan” dari DPR atau Mahkamah Agung dengan kata “persetujuan”. Padahal kewenangan presiden yang dibatasi dengan kata “persetujuan” hanya ada pada beberapa hal yang bersifat sangat penting, antara lain:
1.    menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain [Pasal  11 ayat (1)];
2.    membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang [Pasal 11 ayat (2)];
3.    pembuatan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang jika ada hal ihwal kegentingan yang memaksa [Pasal 22 ayat (1) dan (2)];
4.    pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Yudisial [Pasal 24B ayat (3)].

Dalam hal pembentukan undang-undang memang sejak awal rancangan harus mendapat persetujuan bersama dari pihak legislatif dan eksekutif. Jika salah satu pihak menyatakan tidak setuju dengan suatu rancangan undang-undang tersebut, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu [Pasal 20 ayat (3)]. Adapun di ayat (5) yang menyatakan bahwa “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan” juga sering disalahpahami sebagai kasus yang mengecilkan kekuasaan presiden. Padahal dalam ayat tersebut jelas dinyatakan “yang telah disetujui bersama” yang berarti sejak awal presiden terlibat bersama DPR.

Jika kata “persetujuan” yang melekat pada kewenangan presiden bersifat “memaksa” atau membatasi kekuasaan presiden, maka hal ini berbeda dengan kata “pertimbangan” yang juga melekat pada beberapa kewenangan presiden. Kata “pertimbangan” tersebut bukan merupakan suatu pembatasan kekuasaan presiden, sebab sifat “pertimbangan” boleh dilaksanakan atau diabaikan oleh presiden.

*Penulis adalah Wakil Ketua Umum DPP PPP
Baca lainnya »
 

© Copyright 2008-2013 DPC PPP Kabupaten Tegal | Design by Eko Mahendra Ridho | Powered by Blogger.com.